Khitbah Cinta Karya Karlina Yasri

KHITBAH CINTA
Karya Karlina Yasri

Hari di ketika saya merindukannya lagi ialah sekarang. Ya, hari ini. Aku menyukainya sebab kebodohanku, saya menyayanginya sebab kekhawatiranku, dan kini saya mencintainya sebab kepayahanku untuk melupakannya. Aku patah hati, tetapi tidak berusaha untuk melupakannya. Tak terasa empat tahun berlalu sudah. Selama empat tahun saya hidup dengan membiarkan rasa ini terus terbelenggu olehnya. Bahkan seiring berjalannya waktu, perasaan itu semakin bertambah dan terus bertambah. Padahal tidak ada kenangan bagus yang ia tinggalkan untukku, melainkan hanya kekecewaan yang begitu dalam dan amat membekas dalam benak. Tetapi hati bodohku ini tidak bisa lepas darinya. Dan ketika ini saya merindukannya lagi yang entah ia masih mengingatku atau tidak walaupun sekejap…

Cklek, krieet… (suara pintu terbuka)

“Astagfirullahal’adziim, Faat! kau ini ngapain sih dari tadi ngelamun aja?!” Tanya sahabatku Nana dengan nada sedikit kesal. Seketika lamunanku buyar karenanya. Nana ialah sahabatku semasa kuliah hingga sekarang. Dia sahabat yang baik, perhatian, dan ceriwis pastinya. Fat, begitulah dia dan orang-orang memanggilku. Nama panjangku ialah Fatimah Az Zahra. Nama yang menurutku sangat indah, seindah putri tercinta Baginda Rasulullah SAW. Saat ini saya bekerja di salah satu Sekolah Menengah sebagai seorang guru honorer di tempat pinggiran kota. Dan Nana pun juga demikian sama sepertiku, hanya saja tempat kerja kami berbeda tetapi masih di tempat yang sama. Aku dan Nana memutuskan untuk ngekos saja ketika itu, mengingat tempat kerja kami yang lumayan jauh dari perkotaan…
“Kamu tahu nggak, ini udah jam berapa?” tanya Nana.
“Emm, jam tiga… emangnya kenapa sih Na?” tanyaku singkat.
“Tuh, kan… saya udah yakin pasti kau bakalan lupa lagi sama kesepakatan kita yang kemarin. Huuh, pasti ini gara-gara kau mikirin lelaki yang nggak terang itu lagi.” Jawab Nana ketus.
“Mikirin siapa sih, Na? Aku lagi nggak mikirin si Fadhil kok.”  Jawabku pelan.
“Aku kan nggak pernah bilang kau lagi mikirin si Fadhil. Kamu aja yang tiba-tiba jawab menyerupai itu. Aku heran aja, hingga kapan sih, kau bisa berhenti untuk nggak mikirin dia lagi? Padahal dia belum tentu mikirin kau di luar negri sana. Dia itu di luar negri lho, Fat. Di Jepang, bukan di Indonesia. Ayolah Fat, stop! Mikirin si Fadhil lagi. Toh dia juga pasti udah lupa sama kamu. Kalaupun dia ingat, mungkin itu hanya sekilas saja, hanya sebatas dia pernah suka sama kamu.” Balas Nana panjang lebar.
“Aku tahu, Na. Mungkin semua yang kau bilang itu ada benarnya juga. Tapi rasa itu masih ada, Na… bahkan hingga sekarang. Entah dia masih mengingatku atau melupakanku, itu semua hanya Yang Mahakuasa SWT yang tahu,” Jawabku dengan wajah sok kuat. 
“Jangan terlalu berharap pada insan lah Fat… saya ngerti banget gimana perasaanmu ke Fadhil. Tapi kau juga jangan begitu larut dalam cinta semu. Karena cinta yang bekerjsama bakalan hadir ketika seorang lelaki datang untuk mengkhitbahmu dengan mantap dan penuh kesungguhan di hadapan kedua orang tuamu. Insya Allah…” balas Nana dengan penuh nasihat.
“Iya, iya, Ibu Nana yang bijak…” balasku sambil tersenyum menarik hati Nana.
“Hemmm… terkadang sifat bijak kita lahir dengan sendirinya disaat kondisi kita sedang…
“Galauu, kaan???” sahutku memotong kalimat terakhir Nana.
“Yupzz, bener banget! Hahaha….” jawab Nana sambil tertawa. “Kalau begitu, kau harus sering galau, Fat… supaya saya bisa jadi orang bijak teruuss.” sambung Nana dengan nada bercanda.
“Yeee.. itu mah enaknya di kamu, Na.” Jawabku.
“Makanya supaya gak galau, jangan mikirin si Fadhil lagi donk…” sahut Nana.
“Insya Allah, yaa…” sahutku lagi.
“Huuhhh…kamu ini kekeuh banget di bilanginnya, Fat.” Balas Nana ketus.
“Oh iya Na, bukannya tadi kau bilangnya kalau kita ada rencana ya sore ini? Emangnya rencana apa?” tanyaku heran.
“Kamu ini pelupa banget sih, Fat. Kita kan kemaren rencananya mau pergi ke kota untuk ikutan workshop penulis idola kita itu lho, Fat.” Jawab Nana.
“Astagfirullaah… saya lupa, Na.” Jawabku cengengesan.
“Makanya, kau sih mikirin si Fadhil mulu! Ya udah, buruan gih siap-siap.” Ujar Nana sedikit kesal.

Kemudian kami berdua bergegas berangkat ke lokasi workshop. Sungguh, rasanya menyerupai menang undian ketika tahu bahwa si penulis favorit akan mengadakan workshop di kota kami. Lalu akupun memberitahu Nana perihal info menggembirakan itu. Sontak saja si Nana hampir teriak kegirangan kala tahu bahwa si penulis novel religi favoritnya akan datang. Yah, untungnya saya dan Nana menyukai penulis yang sama, jadi saya tidak perlu repot untuk memaksanya pergi menemaniku. Sesampainya di lokasi, Nana mengomel lagi sebab kami berdua telat. Alhasil, kami kebagian tempat duduk paling belakang.

“Ini gara-gara kau sih, Fat. Jadinya kita malah duduk di barisan paling belakang. Lagian yang kasihin info workshop ini ke saya kan kamu, kok malah kau yang lupa sih, huuh!” gerutu Nana.
“Hehehe… iya deh, sory ya Nana sayaaang, yang penting kan materinya, Na.” Jawabku sambil berkilah.
“Fat, bahan aja buat saya tuh nggak cukup. Yang paling penting itu wajahnya, Fat!” seru Nana dengan semangat. “Aku penasaran banget sama…
“Ssssttt, acaranya udah mulai tuh.”Balasku memotong kalimat Nana. “Aku mau fokus dengerin materinya, Na.”

Tak heran jikalau Nana sepenasaran itu ingin melihat wajah si penulis. Sebab, si penulis terbilang tidak pernah eksis di media. Waktu itu, akupun secara tidak sengaja menemukan karangan novel miliknya di toko buku. Lalu saya membeli novel si penulis. Akupun terkesima pada setiap episode yang ku baca dalam novel. Karena, sebagian besar isinya membahas perihal dakwah dan cinta. Seperti apa indahnya menjalin kekerabatan dengan Sang Pencipta, bagaimana insan harus tetap bersyukur kepada Yang Mahakuasa SWT, bagaimana seseorang harus tetap bersabar dalam penantian… yah, penantian. Entah hingga kapan harus ku nantikan sosok semu itu menjadi kasatmata dalam hidupku. Selama ini saya masih menginginkan Fadhil sebagai sosok semu itu. Tetapi, masih ada keraguan dihatiku apakah dia bisa membimbingku dan menjadi imam yang baik untukku? sebab jujur saja, hatiku ini memang masih mencintainya, tetapi diri ini tak begitu mengenal menyerupai apakah sosok Fadhil sesungguhnya. Saat kuliah dulu Nana mengatakan bahwa Fadhil bukanlah pria yang tepat untuk wanita polos sepertiku. Dia salah satu pria yang populer di kampusku dulu. Tetapi, si Fadhil tiba-tiba mendekatiku. Akupun heran, dari sekian banyak wanita cantik di sekitarnya, kenapa malah mendekati saya yang biasa saja begini?. Banyak yang terkejut ketika mereka tahu bahwa si pria populer menyukaiku, termasuk salah satu sobat kelasku yang semenjak semester satu sudah mengidolakan Fadhil, sebut saja namanya Risa. Jujur saja, saya tidak tahu bahwa Fadhil ialah pria populer di kampus. Bahkan saya gres melihatnya ketika saya dan Fadhil berada dalam satu kelompok yang sama sewaktu KKN (Kuliah Kerja Nyata). Tak pernah kubayangkan bahwa suatu hari nanti saya akan menyukainya, bahkan mencintainya dalam waktu yang lama menyerupai ini. Karena terkadang saya hambar saja ketika Fadhil mencoba mendekatiku. Tentu saja kepopulerannya membuat Fadhil selalu didekati banyak wanita, dan dia pun menanggapinya. Itulah yang membuatku ragu apakah dia benar-benar menyukaiku atau tidak. Dan itu yang membuatku selalu bersikap hambar padanya. Dia menyukaiku, tapi pada ketika yang sama dia juga dekat dengan wanita lain. Saat itu, dia sempat menyatakan perasaannya kepadaku sambil memegang tanganku. Seketika itu, saya menepis genggaman tangannya. Dia bukanlah mahromku, wajib bagiku untuk menjaga jarak dan tidak bersentuhan dengannya. Aku jadi semakin ragu kepadanya, sebab banyak yang berkata bahwa Fadhil jarang sholat, padahal jebolan pesantren. Aku juga ragu apakah itu benar-benar pernyataan cinta yang tulus dari hatinya. Aku tak menerimanya sebab semua itu ku anggap hanya candaan saja. Perlahan sikapnya berubah, tak menyerupai Fadhil awal KKN dulu. Akupun sedih, dan berfikir sebatas itukah perasaannya padaku?. Tak mengapa jikalau dia tidak mengerti bagaimana perasaanku, tetapi cukuplah dengan dia menjaga hatinya untukku. Ketika KKN usai, saya mendengar kabar bahwa Fadhil telah menjalin kekerabatan dengan wanita lain. Dan wanita itu Risa. Glekkk!!! Tak ayal dadaku terasa sesak, batinku meringis dan hatiku… ya Allah, hati ini telah jatuh kepadanya, tapi kenapa dengan begitu mudahnya dia pergi ke hati yang lain? Astagfirullahal’adziim…

Tanpa sadar air mataku menetes…

“Fat, kau nangis???” Tanya Nana berbisik. “Inget Fadhil lagi?”
“Nggak, Na… eemm..ini, ke..kelilipaan.” jawabku terbata.
“Huuh, alasanmu aja tuh. Pasti gara-gara mikir Fadhil lagi kan?” gerutu Nana.
“Nggak, Nanaa…udah ah introgasinya, saya mau fokus dengerin materi.” Balasku.
“Materi apaa’an? Sekarang tuh lagi sesi tanya jawab, Faat. Materinya udah kelar dari tadi. Tuh, si akhi penulis udah ngomong panjang lebar, bahasannya perihal pelatihan kepenulisan, terus dia juga membuatkan sedikit pengalamannya dalam hal menulis. Tadi ada selipan dakwahnya juga lho Fat di sela bahasan perihal pengalamannya menulis. Aku yakin kau pasti nggak dengerin itu semua.” Bahas Nana sambil mendongakkan kepalanya.
“Ooh, sepertinya dia emang agamis banget ya, Na” sahutku lantas ikut sekilas mendongakkan kepala. 
“Iya Fat…lihat aja tuh, dagunya berjanggut, lumayan banyak sih. Terus dia juga pakai kopiah yang sepadan dengan baju takwanya, berkaca mata pula. Kaprikornus nggak keliatan gimana wajah aslinya. Hmm…tapi ini juga sebab kita kebagian tempat duduk paling belakang sih, jadi makin samar wajahnya. " Gerutu Nana sambil melirikku.

Aku hanya membisu saja mendengar celotehan Nana. Wajah si penulis memang terlihat samar dari barisan tempat duduk kami. Hanya saja, wajahnya terlihat begitu familiar... haah, lupakan saja, ini pasti efek dari ngelamun tadi, jadi gagal fokus di buatnya. Huufft!

Suara mikerofon kembali terdengar…

“Silahkan, Siapa lagi yang ingin bertanya pada Ustadz Abid?” tanya moderator workshop.

Ooh, ternyata si penulis memang seorang ustadz. Batinku

Seketika beberapa akseptor workshop wanita dan pria mengacungkan tangan dengan antusias, tak terkecuali sahabatku Nana. Aku hanya tersenyum saja melihat tingkah Nana yang tiap ada kesempatan mengacungkan tangan tapi tak terpilih menjadi penanya.
“Huuhh, masih nggak ditunjuk juga.” Keluh Nana.
“Sabar, Na… kau hanya kurang cepet aja dari mereka.”  Hiburku.

Lalu kami fokus kearah si penanya…

“Assalamu’alaikum ustadz…
“Wa’alaikumsalaam warohmatullaahi wabarokatuh…
“Begini ustadz, bagaimana caranya supaya bisa menjadi penulis yang andal menyerupai Ustadz Abid?
“Masya Allah, ukhty… di bilang andal juga nggak, sebab hingga sekarangpun saya masih dalam tahap berguru bagaimana cara saya untuk mengembangkan wangsit dalam sebuah dongeng supaya nggak monoton dan isinya nggak menyerupai itu melulu. Saya sendiripun masih dalam proses dan nggak tahu apakah akan bisa mencapai kata andal itu.”

Subhanallah, bijak sekali kata-kata Ustadz Abid… batinku.

Lalu penanya selanjutnya malah mengorek profil si ustadz, pertanyaan iseng yang menggelitik rasa penasaran akseptor workshop. Khususnya bagi kau hawa…

“Assalamu’alaikum Ustadz Abid, boleh nanya gak? Kira-kira sekarang umur ustadz berapa? Terus udah nikah atau belum? Hehehe
“Wah, waah… Alhamdulillah ketika ini usia saya masuk 25 tahun, dan Insya Yang Mahakuasa akan menikah jikalau Yang Mahakuasa SWT telah mempertemukan saya dengan jodoh saya... tapi, jikalau ada yang membuka lowongan jodoh, saya mau tuh ikutan daftar juga.“ Jawab Ustadz Abid tersenyum sipu.

Sontak semua akseptor workshop tertawa mendengar tanggapan kocak si ustadz penulis. Ternyata si ustadz penulis bisa bercanda juga.

“Yang bener aja Fat, ternyata Ustadz Abid seumuran dengan kita dan belum nikah!” seru Nana.
“Iya tuh, sama kayak kau belum nikah juga.” Jawabku menarik hati Nana.
“Heeyyy,yang bener itu “kita” kali Fat, hahahaa….”
“Iya bener, hahahaa…”

Khitbah Cinta Karya Karlina Yasri


Sejenak, terlintas dipikiranku alangkah bahagianya wanita yang nantinya akan berjodoh dengan si penulis. Prilakunya yang santun, agamis, dan tutur bahasanya yang bernafaskan dakwah membuatku yakin bahwa Insya Yang Mahakuasa dia bisa menjadi pembimbing yang tepat untuk istrinya kelak. Tapi, siapa ya wanita beruntung itu?

Haah… lelaki sholeh menyerupai dia, pastinya mendapatkan wanita yang sholeha. Sedangkan saya masih jauuuh dari kata sholeha. Sebagai muslimah yang bukan dari kalangan pesantren, saya harus lebih banyak berguru lagi untuk bisa ke tahap sholeha. Itu semua ku awali dengan memanjangkan hijabku hingga menutupi seluruh episode atas tubuhku dan hanya menyisakan telapak tangan saja. Akupun membiasakan diri untuk selalu memakai gamis yang tak membentuk badan kemanapun saya pergi. Yah, begitulah awal hijrahku dua tahun silam. Keinginan terbesarku hanyalah menjadi seorang istri sholeha dan di imami oleh suami yang sholeh. Dan,,,Semoga di negri sakura itu, Fadhil juga bisa berubah…

Puk! Puk! Puk! Sadar Fatimaah, jangan inget Fadhil lagi!” gumamku sambil memukul pelan pipiku.

“Fat, ayo pulang.” Panggil Nana.
“Lho, kau nggak jadi minta tanda tangan ustadz penulis Na?” tanyaku.
“Nggak jadi deh, Fat. Tuh liat, banyak banget antriannya. Lagi pula, sejam lagi kan maghrib.” Jawab Nana.
“Hmm…Oke deh, yukk.” Balasku sambil beranjak dari tempat duduk.

Kami pun hingga di kos setelah menempuh perjalanan sejam lamanya. Sesampainya di kos, saya dan Nana eksklusif beranjak mandi lalu bersiap pergi ke masjid. Sesaat kumandang adzan maghrib terdengar menyeru kaum muslimin dan muslimat untuk menyegerakan sholat. Alhamdulillah, sholat maghrib berjalan dengan penuh hikmat. Dan sekarang saatnya untuk mendengarkan kajian Kyai Khalid. Beliau ialah seorang pendiri pesantren yang letaknya tidak begitu jauh dari kos kami. Terkadang saya dan Nana juga sesekali mengikuti pengajian di pesantren beliau. Kajian kali ini di awali dengan lantunan bacaan surah Ar-Rahman oleh seseorang yang katanya anak dari Kyai Khalid. Suaranya sangat merdu dan indah. Sayangnya saya tak bisa melihat menyerupai apa wajahnya sebab di batasi tirai yang memisahkan antara shaf pria dan shaf wanita.  Tema kajian kali ini membahas perihal misteri dan belakang layar jodoh menurut pandangan islam. Wah, ini merupakan isi kajian yang banyak ditunggu para jomblowers. Yah, termasuk saya wanita jomblo yang sama sekali tak 
pernah mengenal dunia pacaran. Akupun mendengarkannya dengan khusyuk, berharap bisa tetap istiqomah menanti apa yang telah di tetapkan Yang Mahakuasa SWT padaku…

Tak terasa telah masuk waktu sholat isya. Kajianpun akan di lanjutkan kembali ba’da sholat isya.

Usai mengerjakan sholat isya, saya dan Nana masih tetap di masjid untuk mendengarkan lanjutan kajian yang tadi tertunda. 

“Masalah jodoh, memang belakang layar ilahi. Seperti disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, di ketika insan masih berada dalam perut ibunya, “Kemudian diperintahkan malaikat untuk menuliskan rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, kebahagiaan atau kesengsaraannya…”
“Jodoh termasuk rezeki seseorang. Kaprikornus memang sudah ditentukan oleh Yang Mahakuasa semenjak insan belum diciptakan, dan sudah tertulis di Lauh Mahfuzh. Dalam hal ini, kita tidak diperintahkan untuk memikirkan perihal takdir tersebut, tapi hanya diperintahkan untuk berusaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beramallah, masing-masing akan dimudahkan melaksanakan apa telah dituliskan baginya.” (HR Muslim).

Seperti itulah penggalan kajian yang disampaikan Kyai Khalid. Kajianpun usai. Lalu saya dan Nana bergegas untuk pulang. Saat hendak keluar dari masjid, tiba-tiba saja Kyai Khalid menghampiriku dan Nana…

“Assalamu’alaikum, Nak.” Sapa Kyai.
“Wa’alaikumsalaam, Kyai.” Jawabku dan Nana.
“Boleh bapak bicara sebentar dengan Nak Fatimah?” Tanya Kyai kepadaku. “Ditemani oleh Nak Nana juga boleh.” Sambung beliau.
“Tentu saja boleh, Kyai…” jawabku.

Ada apa ya? Kok tumben banget Kyai Khalid eksklusif menghampiriku menyerupai ini. Batinku.

Kemudian kami kembali duduk.

“Begini Nak, jikalau Nak Fat bersedia bapak ingin menta’arufkan Nak Fat dengan anak bapak.” Tutur Kyai Khalid secara tiba-tiba.
“Ta’aruf??? dengan saya???” tanyaku dengan hati yang tiba-tiba berdegup kencang saking kagetnya!
“Iya, dengan Nak Fatimah.” Jawab Kyai sambil tersenyum.

Nana yang duduk di sampingku pun ikut kaget dan menoleh ke arahku. 

“Kenapa saya Pak Kyai? Maaf, bukannya saya menolak… tapi saya ialah wanita yang memiliki banyak kekurangan dan rasanya saya tidak cocok untuk berdampingan dengan anak Pak Kyai.” 
“Hemm.. perlu Nak Fat tahu bahwa tidak ada insan yang tepat di dunia. Dan impian yang terlalu tinggi terhadap calon pasangan, justru akan memunculkan peluang kekecewaan bertambah besar. Nak Fat hanya tidak menyadari kelebihan yang ada dalam diri Nak Fatimah. Sudah menjadi kehendak Yang Mahakuasa kenapa saya memilih Nak Fat. Bapak tidak menginginkan calon yang tepat untuk anak bapak, Karena anak bapak jugalah bukan insan yang sempurna. Sedikit tidaknya bapak juga sudah mengenal siapa Nak Fat. Dan anehnya, anak bapak malah berkata kalau dia sudah lebih dulu mengenal Nak Fat, dialah yang meminta bapak untuk menta’arufkanmu dengannya, Nak…” jawab Kyai panjang lebar.
“Anak Pak Kyai sudah mengenal saya?” tanyaku heran. Tapi saya sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak Pak Kyai…”
“Entahlah Nak,,, anak bapak tidak menceritakan apapun perihal bagaimana dia bisa mengenalmu. Dia hanya bilang kalau Nak Fat ialah wanita yang memotivasinya untuk bermetamorfosis lebih baik lagi.

Ya Allah… ada belakang layar apa di balik semua kejadian ini?

Aku tak mengenal siapa lelaki itu, tetapi kenapa dia bisa mengenalku?

“Ini Nak…” kata Pak Kyai sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
“Ini surat buat saya, Pak Kyai?” tanyaku lantas mengambil surat itu.
“Iya, surat itu dari anak bapak. Dia ingin Nak Fat membacanya, katanya untuk menghilangkan rasa penasaran Nak Fat terhadapnya. Jika ragu, istikharahlah, mohon padaNya supaya diberikan petunjuk yang sebaik-baik petunjuk.”
“Terima kasih atas nasihatnya, Pak Kyai… Insya Yang Mahakuasa akan saya lakukan.”
“Baiklah, bapak pulang dulu Nak, assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”

Ketika hingga di kos, saya tak lantas membaca surat itu. Ku letakkan surat itu di atas meja rias kamarku sambil memandanginya dengan rasa heran yang mendalam. Hey, siapa kamu? Kenapa hanya memberiku sepucuk surat saja?

Ya Allah, jikalau saya bersedia melaksanakan ta’aruf dengan anak Pak Kyai, apakah hati ini akan bisa melupakan sosok Fadhil?

Lalu, kuputuskan untuk membaca isi dari surat itu…

“Bissmillahirrohmaanirrohiim.” Ucapku lantas membuka sepucuk lipatan kertas berwarna ungu…

Assalamu’alaikum, Fatimah…
Mungkin saja sekarang kau bertanya-tanya dan merasa heran perihal semua ini…
Ku lakukan ini semua sebab saya masih merasa aib untuk bertemu dan berhadapan eksklusif denganmu. Apalagi jikalau saya mengingat perihal segala hal yang membuatmu kecewa kepadaku. Aku takut kau akan menghindar jikalau saya eksklusif menemuimu… saya sudah berubah Fat sekarang, ini semua ku lakukan sebab saya ingin menjadi sosok pria yang layak untukmu dan saya ingin menjadi imam yang bisa membimbingmu menuju jalan cintaNya…
Setelah empat tahun lamanya, apakah kau masih mengingatku Fat?
Apakah hingga ketika inipun kau masih ragu bahwa pernyataan cintaku yang dahulu benar-benar tulus kepadamu?
Maaf Fat… sebab empat tahun yang lalu saya ialah seorang pria yang ceroboh dan menganggap bahwa semua wanita pasti mudah untuk ku taklukkan. Aku juga pria yang jauh dari Yang Mahakuasa ketika itu. Perintah Allah, kerap kali tak ku jalani. Ku sepelekan permintaan adzan yang memanggilku untuk sholat, padahal saya ialah anak dari seorang Kyai. Lingkunganku ialah lingkungan pesantren. Dulu saya merasa bosan sebab terus berada di pesantren. Jadi, saya memutuskan untuk kuliah di tempat yang tidak berbau pesantren. Ya, tempat itu ialah kampus kita dahulu. Semenjak itu, saya menjadi pria yang malas beribadah. Aku merasa bebas sebab tak ada yang mengaturku di sini. Saat pembagian kelompok KKN, disitu pertama kali saya melihatmu. Kamu yang biasa saja ketika melihatku membuatku heran sebab semua wanita di kampus mengenalku, tetapi kau sama sekali tidak mengenalku bahkan mengabaikan pandanganku. Dari situlah awal ketertarikanku padamu, Fat… dan ternyata kita berada dalam satu kelompok. Lalu saya mulai  mendekatimu dengan segala cara. Tapi kau tetap saja cuek. Malah kau terlihat lebih dekat dengan pria lain ketika itu. Aku cemburu Fat, jadi kuputuskan untuk menyatakan perasaanku dan menjadikanmu pacarku. Tak di sangka, pernyataan cintaku kau tolak dan menepis genggaman tanganku. Aku malu, sedih dan kecewa.
Kemudian saya mengetahui bahwa Risa menyukaiku. Akupun menjalin kekerabatan dengan Risa ketika KKN usai. Itu semua ku lakukan untuk membuatmu cemburu padaku, Fat. Tetapi kau tetap membisu dan biasa saja, hingga selesai masa-masa perkuliahan kau dan saya menyerupai dua orang yang tidak pernah saling mengenal…
Enam bulan setelah wisuda, saya memutuskan untuk bekerja di Jepang. Tak ku sangka perpisahan kita akan berakhir dengan kebisuan. Selama bertahun-tahun saya masih belum bisa melupakanmu, Fat. Terkadang saya melihatmu dalam akun media social milikmu sekedar untuk mengobati kecaman rindu. Saat melihatmu, akupun terkesima sebab penampilanmu telah bermetamorfosis lebih islami. Aku semakin mencintaimu dan ingin menjadikanmu muwarah terakhirku. Tetapi, apakah saya pantas untuk wanita sepertimu?
Maka dari itu kuputuskan untuk menjadi lelaki yang pantas di cintai oleh wanita sholeha sepertimu. Aku harus berubah. Karena sudah menjadi kehendakNya bahwa wanita yang baik ialah untuk lelaki yang baik. Sejenak saya berpikir, bahwa dulu Yang Mahakuasa SWT tak mengizinkanku bersamamu sebab saya belum menjadi seorang pria yang baik untuk menjadi pendampingmu. Aku juga tidak peka ketika kau menepis genggaman tanganku. Padahal telah dijelaskan bahwa dalam islam, pria dan wanita tidak boleh bersentuhan kecuali pada mahromnya. Maafkan atas kebodohanku Fat…
Alhamdulillah, di Jepang saya di pertemukan oleh ustadz yang sangat faham perihal islam. Aku berguru banyak dari beliau. Ku fokuskan diri ini untuk menimba ilmu padanya. Ku titipkan rindu ini pada Yang Mahakuasa SWT untuk satu nama yang tertulis di hati, sebab saya tidak berpengaruh untuk menanggungnya, menanggung kerinduan yang tak halal ini kepadamu Fat…
Akupun menyibukkan diriku dengan memperdalam agama Islam dan  menulis. Dan kini saya menjadi seorang penulis novel yang alhamdulillah karyaku banyak diminati orang. Saat kurasa telah layak, saya memutuskan untuk kembali ke tanah air dan melanjutkan karier sebagai penulis di ibu kota. Kemudian saya mendapatkan undangan untuk menjadi narasumber workshop penulis di kota kita. Lalu saya pulang ke kota ini…
Tak kusangka saya akan bertemu denganmu di rumahku sendiri. Aku yang masih pengecut ini, tidak berani untuk menyapamu. Ku tanyakan tentangmu pada Abi. Beliau hanya mengatakan bahwa kau ialah wanita baik yang sedang menimba ilmu padanya…
Subhanallah, begitu indahnya jalan dongeng yang Yang Mahakuasa SWT takdirkan untukku. Bisa bertemu kau lagi dengan cara yang tak terduga…
Lalu saya meminta kepada Abi untuk menta’arufkanku denganmu Fat…
Jika kau bersedia, saya ingin segera mengkhitbahmu… saya mengkhitbahmu disaat rasa cinta ini sudah tidak bisa untuk ku bendung…
Aku ingin menjaga fitrah cinta yang Yang Mahakuasa SWT berikan melalui khitbah cintaku padamu, Fat…
Wassalamu’alaikum
, Abid Fadhil Sufyan ,

Tak terasa butiran Kristal perlahan menetes dari kedua mataku. Semakin lama semakin menjadi dan tangisku pun pecah. Ya Allah, dadaku terasa sesaak, hatiku sakit dan tenggorokanku rasanya menyerupai tercekat tak bisa berkata-kata. Aku tak berpengaruh untuk membendung rasa yang berkecamuk dalam hatiku kini. Aku sedih, terharu dan bahagia… air mataku semakin deras kala mengingat rasa pilu akan kerinduanku pada Fadhil, dan ternyata di Negri Sakura itu Fadhil pun mencicipi hal yang sama menyakitkannya menyerupai diriku, memendam cinta dalam penantian panjang yang kami tidak tahu bahwa dia dan saya saling mencintai. Aku mencintainya dalam diamku, dan dia pun mencintaiku dalam diamnya… 

Lalu Nana menghampiriku ke kamar dengan penuh khawatir,

“Astagfurullahal’adziim…kamu kenapa, Fat??? Tanya Nana khawatir.
“Naa, i..ii..ini surat dari Fad..dhil…” jawabku terbata dan penuh isak.
“Dari Fadhil??? Bagaimana bisa, Fat?” tanya Nana heran, lantas mengambil surat yang ku genggam dan membacanya…
“Subhanallah Fat, ternyata si penulis Ustadz Abid dan anak Pak Kyai itu ialah Fadhil!?”
“I..iya Na..” jawabku sambil sesenggukan.

Nana pun memelukku dan menenangkanku…

Keesokan paginya, saya mendapatkan telpon dari ayah. Beliau menyuruhku untuk pulang. Aku rasa ini waktu yang tepat untuk memberitahu orang tuaku bahwa ada seseorang yang ingin mengkhitbahku. Ketika hingga di rumah, ayahku berkata bahwa nanti akan ada yang datang untuk mengkhitbah. Akupun terkejut. Kenapa sekarang? Kenapa ketika Fadhil kembali ya Allah?... saya tak bisa membantah kedua orang tuaku. Apa yang harus ku lakukan sekarang?

Saat rombongan itu datang, saya hanya terduduk membisu di dalam kamar sambil menangis. Baru saja saya bertemu dengannya, kini akan berpisah lagi. Rasa sakit itu terulang lagi, bahkan rasanya lebih sakit sebab sekarang tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk berjodoh dengan pria yang ku cinta. Kemudian, ibu menuntunku menuju ruang tamu untuk bertemu dengan para rombongan itu, khususnya calon suamiku yang entah siapa. Aku hanya tertunduk saja dengan pandangan kosong. Aku tidak peduli menyerupai apa wajah calon suamiku, sebab yang terpikir di benakku ketika itu ialah Fadhil. Bisakah dia lapang dada mendapatkan bahwa saya akan dinikahkan dengan orang lain? Tanpa sadar air mataku menetes…

“Assalamu’alaikum, Fat…” sapa seorang lelaki dengan bunyi yang familiar.
“Wa’alaikumsalam…” jawabku dengan wajah yang masih tertunduk.
“Tidakkah kau ingin melihatku, Fat?

Perlahan ku angkat wajahku untuk melihat sosok pria yang dengan dekat memanggilku, Fat.

Sesaat saya terkejut, pria itu ialah Fadhil. Ternyata Fadhil datang untuk mengkhitbahku bersama para rombongannya, tak terkecuali Kyai Kholid yang sedari tadi duduk disamping Fadhil. Lalu saya kembali menundukkan wajah.

“Aku, Abid Fadhil Sufyan. Dengan kemantapan hati datang kemari bermaksud ingin menjadikanmu istri duniaku dan bidadari surgaku kelak, Insya Allah… apakah kau bersedia Fat?” Tanya Fadhil dengan lirih.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil menyeka air mata yang tak berpengaruh membendung haru, dan ku lihat wajah Fadhil yang juga menyeka air matanya. Kami berdua menangis haru…

Penantian panjangku memanglah menyakitkan…
Tapi Yang Mahakuasa SWT menggantinya dengan takdir dan dongeng yang indah…
Misteri sosok semu jodohku hanya Yang Mahakuasa SWT yang tahu…
Kini dia yang kurindukan selama bertahun-tahun telah menjadi Imamku…
Sungguh, belakang layar Yang Mahakuasa tak bisa tertebak…
Karena atas kehendakNya, saya dan dia dipertemukan kembali dalam Khitbah Cinta…

, SELESAI ,

Profil Penulis:
Nama   : Karlina Yasri 
Umur   : 25 Tahun
Alamat : Jalan Planet Raya, BTN BHP Telaga Waru, Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat NTB
Facebook : Karlina Yasri
Previous
Next Post »