Dua Teman Baruku yang Luar Biasa Karya Siti Mariyam

DUA TEMAN BARUKU YANG LUAR BIASA
Karya Siti Mariyam

Di zaman sekarang jarang sekali bersaing dalam hal berguru untuk memperebutkan atau menjadi juara di kelas. Yang ada menjadi juara di hati seorang laki-laki atau perempuan karena kita berhasil bersaing dan merebutnya dari perempuan atau laki-laki lain, sama ibarat halnya yang kualami sekarang. Tapi, di sini saya bersaing dalam hal belajar, bukan dalam hal percintaan yang menurutku tidak penting bagi seorang pelajar sepertiku ini yang tugasnya berguru untuk bekal masa depan nanti. Penting, sih. Tapi, kan, nanti akan ada waktunya. Iya gak?

Tanggal dua puluh lima bulan Juli lalu, seminggu setelah hari pertama masuk sekolah di tahun aliran baru, ada murid gres yang datang ke sekolahku. Murid pindahan dari SMA yang ada di Tasikmalaya yang menjadi temanku, sekaligus menjadi tentangan belajarku di kelas dua belas ini. Kenapa bisa menjadi saingan? Karena, ternyata beliau luar biasa pintar, kepintarannya melebihi aku, ini serius.

Aku gres mengetahui itu, bahwa ia pintar, setelah beberapa hari kami berguru bersama di kelas. Ternyata, ia cendekia dalam pelajaran Matematika. Pelajaran yang saya tidak sukai, pelajaran yang membuatku selalu berteriak "aaarrrggghhh" dan memukul-mukul meja, "buk, buk, buk" seusai berguru karena geregetan akan pelajaran itu.

Dari kelas satu hingga kelas dua belas sekarang ini saya masih tetap tidak suka dengan pelajaran Matematika. Aku bodoh banget dengan itu. Aku sudah mencoba membuka hatiku untuknya, tapi gagal. Sekalinya bisa, itu pun hanya di ketika materinya yang mudah. Alhasil, saya selalu mendapat nilai bagus, eh, maksudnya jelek setiap kali ujian semester karena saya belum bisa mencintai pelajaran itu.

Katanya sih kalau kita mau bisa menguasai setiap pelajaran, baik itu Matematika atau pun yang lain, kita harus bisa menyukainya terlebih dahulu, ibarat kita menyukai seseorang. Eh, kenapa jadi membahas dilema cinta lagi sih? Cinta, saya berguru dulu ya! Kalau sudah selesai kau boleh datang lagi, bahkan saya yang akan mencari kau bila kau tidak datang.

Saat ulangan harian Matematika, si sahabat baruku ini bisa menyelesaikan pertanyaan-pertanyaannya dalam waktu setengah jam, tidak ibarat saya yang dua kali lebih lama dibandingkannya. Hasilnya pun lebih bagus beliau yang hanya menghabiskan waktu segitu. Dia mendapat nilai seratus, sementara saya jeblok. "Astaga, beliau makan apa sih sampai-sampai otaknya pintar banget?" Begitulah kata teman-temanku mengenai dirinya.

Ia juga cendekia dalam pelajaran bahasa Inggris. Ia mendapat benar sebanyak dua puluh sembilan dari tiga puluh lima soal ketika ulangan harian, sementara saya hanya dua puluh. Jujur, saya lebih memilih bahasa Arab dibanding bahasa Inggris. Tapi, masih mending bahasa Inggris daripada Matematika. Walau tidak sepenuhnya menguasinya, tapi sedikit demi sedikit bisa lah.

Dulu, ketika di SMP ada pelajaran bahasa Arab, karena saya masuk ke Madrasah Tsanawiyah, atau sekolah Islam yang sehari-harinya berguru ihwal agama dan termasuk itu bahasa Arab. Jujur, dulu saya bodoh banget dengan pelajaran itu. Setiap kali ada PR saya selalu menyontek dengan teman, begitu juga setiap kali ujian semester.

Aku benar-benar buta dengan pelajaran itu. Jelas saja, saya yang SD-nya dari sekolah umum masuk ke SMP Islam yang pelajarannya sangat berbeda. Meski perbedaannya tidak semua, tapi saya belum bisa menerimanya secara langsung, membutuhkan proses.

Tapi, itu dulu. Kini, di SMA, saya bisa dengan pelajaran itu. Kebiasaan menyontek dengan sahabat setiap kali ada PR atau ujian semester pun sudah tidak kulakukan, yang ada teman-temanku yang menyontek denganku karena kelabakan ketika mengisinya.

Nilai ujian semester yang biasanya mendapat tujuh kini menjelma sembilan, bahkan hampir mendapat nilai tepat yang hanya saya yang mendapatkannya di kelas. Ternyata, bahasa Arab itu sangat mudah, saya gres menyadarinya sekarang.

Aku fikir di SMA umum itu tidak ada bahasa Arab, ternyata ada. Alasan kenapa saya memilih melanjutkan ke SMA umum dibanding ke SMA Islam atau Madrasah Aliyah itu untuk menghindari pelajaran bahasa Arab, tapi ternyata saya salah, saya bertemu juga dengan pelajaran itu lagi sekarang.

Niat untuk menghindar dari pelajaran itu, kini malah mendekat. Tapi tak jadi masalah, saya sudah bisa dengan pelajaran itu. Sayangnya, di kelas dua belas ini kami tidak berguru bahasa Arab lagi. Kami fokus berguru ke pelajaran yang akan diujiankan nanti.

Sudah bicara panjang lebar hingga lupa mengenali sahabat baruku ini. Nafilatun Nafi'ah atau yang dipanggil Nafil, begitulah namanya. Perempuan berkacamata yang berpenampilan saleha dengan jilbab syar'i yang menutupi dadanya. Perempuan yang sudah membuat belum dewasa laki di kelas terpikat olehnya, dan yang sudah membuatku jadi memiliki suplemen tentangan dalam belajarku di kelas.

"Hai, Nafil. Apa kabar? Makin cantik aja!" Begitulah yang mereka katakan padanya ketika ia gres tiba di kelas. Padahal, di antara mereka yang mengatakan itu sudah memiliki pacar. Tapi, mereka masih saja menarik hati perempuan lain, yaitu dia. Huh, dasar laki-laki.
"Kamu pasti pintar ya? Yang namanya Maryam, kan pintar-pintar, sama kaya temanku!" Tukasnya setelah berkenalan waktu itu.
"Ah.. gak juga, kok!" Aku menjawab dengan santai. Padahal, beliau yang lebih pintar dari aku.

Ia bercerita banyak padaku ihwal dirinya dan ihwal di sekolahnya dulu, karena ia duduk sebangku denganku. Padahal, sebelumnya saya tidak duduk berdua dengannya. Tapi, setelah ia datang, saya meminta sahabat sebangkuku untuk berpindah tempat padanya. Karena, ia suka kesulitan melihat goresan pena di papan tulis ketika sedang berguru walau sudah menggunakan kacamata yang membantunya melihat dengan terang goresan pena yang ada di sana.

Ia kini tinggal di asrama sekolah, alasannya tempat tinggalnya yang bergotong-royong sangat jauh, di Kendal. Sekolahku terdapat asrama untuk para murid yang bertempat tinggal jauh sepertinya. Ada yang dari Bandung, Bogor, Cirebon, Sumatera, bahkan ada yang dari Papua. Aku bingung, kenapa mereka semua pada memilih bersekolah di sini, di tempat tempat tinggalku, padahal di tempat mereka juga ada sekolah? Sudahlah, tak usah dipikirkan.

Seperti petikan lagu sekolah kami yang selalu dinyanyikan ketika upacara bendera setiap hari Senin yang berbunyi, "Dari Sabang hingga Merauke, satukan perbedaan. Munculkan persamaan berbineka tunggal ika." Dari lagu itu bermakna bahwa sekolah kami menyatukan para murid yang berbeda-beda tempat menjadi satu. Dari kesatuan itu muncullah persamaan dan menghilangkan beragam perbedaan yang ada sebelumnya.

Bukan hanya muridnya, guru-gurunya pun berasal dari aneka macam daerah. Seperti guru Ekonomi yang hanya mengajar di kelas dua belas berasal dari Bima, Nusa Tenggara Timur dan guru Biologi berasal dari Papua yang merupakan lulusan terbaik di sana. Tapi, guru Biologi ini hanya mengajar setahun (kelas sebelas kemarin) karena tak berpengaruh dengan perilaku anak murid yang ia ajarkan. Parah!

"Maryam itu baik, pintar, cantik, juga saleha, dan beliau jadi anak emas atau murid kesayangan di sekolah karena beliau selalu memenangkan setiap perlombaan antar sekolah. Pokoknya beliau tepat banget deh!" Nafil bercerita padaku ihwal sahabat perempuannya yang berjulukan Maryam, sama ibarat namaku.

Aku hingga "wow" mendengarnya. Meski belum pernah melihat dirinya saya juga mengatakan ia begitu sempurna. Baik, pintar, cantik, saleha lagi. Pokoknya semuanya diborong sama dia. Arrgghh, andai saya yang ibarat itu. Andai Maryam itu yaitu Maryamnya aku, tepat banget aku. Sudah, ah, jangan berandai-andai.

Nafil juga bercerita padaku bahwa ia pernah bertelekinesis, yaitu gerak atau pemindahan tempat suatu benda tanpa disentuh atau tanpa penggunaan peralatan dengan cara melihat benda itu terus menerus dan memfokuskan atau mengonsentrasikan pikiran kita pada benda tersebut. "Jatuh, jatuh, jatuh!" Benda itu akan jatuh.

Ia pernah mencoba melaksanakan itu dengan menggunakan kertas kecil, dan hasilnya kertas itu bergerak sendiri tanpa disentuh atau digerakkan oleh alat aktivis ibarat tangan. Karena adanya kekuatan atau energi ketika kita memfokuskan pikiran kita pada benda itu, sehingga benda tersebut dapat bergerak sendiri.

"Aku ibarat orang linglung mencoba itu!" Ujarnya padaku setelah pengalamannya berbulan-bulan mencoba melaksanakan itu.

Ternyata bertelekinesis itu membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak hanya dalam beberapa menit atau jam saja eksklusif bisa melakukannya. Aku pernah mencobanya dalam waktu satu atau dua menit untuk menggerakkan pintu. Aku pikir telah berhasil melaksanakan itu, ternyata gagal. Bukan pintunya yang bergerak, tapi pandangan mataku yang menjelma dua atau berbayang.

Jarak dan berat pada benda juga menghipnotis keberhasilan kita dalam bertelekinesis. Semakin erat jarak benda yang ada dipandangan kita, semakin besar energi itu. Dan semakin ringan benda itu, semakin mudah kita untuk menggerakkannya.

"Aku berhasil bertelekinesis, loh!" Ucapku bohong padanya ketika ia gres tiba di sekolah waktu itu. Sehari sebelumnya saya mengatakan padanya bahwa saya akan mencoba melaksanakan itu.
"Serius kamu?" Dengan sedikit terkejut ia menjawab.
"Iya serius, tapi di dalam mimpi. Hahaha."
"Ah.. kamu, saya pikir beneran!"

Dua Teman Baruku yang Luar Biasa Karya Siti Mariyam

Jujur, saya hingga terbawa mimpi hanya karena berkeinginan untuk bisa bertelekinesis. Dalam mimpiku itu, saya bisa menggerakkan juga memantulkan ke atas dan ke bawah kertas kecil yang sudah dibulatkan sebagai bendanya. Ada-ada saja aku.

Telekinesis itu bukan sulap, yaitu pertunjukkan berbuat sesuatu yang menakjubkan, ibarat mengadakan atau mengubah sesuatu dengan cara yang ajaib. Tidak semua benda yang bergerak dengan sendiri itu dinamakan sulap, tapi manusianya saja yang beranggapan itu sulap. Padahal, itu tidak benar atau palsu.

Aku pernah melihat video orang-orang yang bertelekinesis di youtube. Luar biasa hebatnya mereka bisa menggerakkan benda-benda tanpa disentuh atau digerakkan dengan tangan, bahkan ada yang bisa mengangkat insan hingga ke atas hanya dengan mengarahkan tangannya pada orang tersebut. Jika tangannya mengarahkan ke atas, maka orang itu akan ke atas, begitu juga sebaliknya. Jika mengarahkannya ke bawah, maka orang itu akan ke bawah.

Aku sempat berpikir jahat, bila saya bisa bertelekinesis, saya akan menjahili teman-temanku. Ketika belajar, saya akan mengambil barang-barang mereka yang ada di sekelilingnya. Seperti pensil, pulpen dan buku, atau bahkan membuatnya jatuh dari tempat duduknya. Tapi sayang, saya tidak bisa melaksanakan itu.

Selain Nafil yang bercerita ihwal dirinya padaku, saya juga bercerita ihwal diriku padanya. Aku yang ketika kelas sepuluh aktif dikegiatan ekstrakulikuler juga osis kini di kelas dua belas sudah tidak lagi karena daya tahan tubuhku yang menurun. Aku suka sakit bila mengalami kelelahan yang berarti.

Padahal, dulu saya tidak pernah sakit bila terkena panas atau banyak bergerak karena kegiatan ekstrakulikuler yang saya ikuti yaitu pramuka dan paskibra. Dalam seminggu, saya berlatih paskibra sebanyak dua kali dan sekali untuk pramuka. Kamu yang mengikuti kegiatan itu pasti bisa mencicipi bagaimana lelahnya, sama saya pun begitu. Aku tidak tahu kenapa saya menjadi lemah ibarat itu, ibarat perempuan pada umumnya yang daya tahan tubuhnya tidak sekuat laki-laki.

Sudah banyak kegiatan yang saya ikuti dari ektrakulikuler dan osis, salah satunya ketika ekspedisi pramuka, yaitu melaksanakan perjalanan menuju ke suatu tempat yang di setiap jalannya ada aneka macam macam rintangan yang menantang.

Seperti melewati sungai, berjalan di lumpur dengan bertiarap dan semua rintangan yang menantang lainnya yang menguras tenaga. Juga ada kegiatan osis, yaitu LDKS. Kegiatan yang saya sukai, kegiatan yang melatih diri kita untuk disiplin menjadi seorang pemimpin.

"Nggak sakit? Yang lain pada sakit!" Ucap salah satu sahabat laki-lakiku ketika melihat saya hadir di kelas sehari sesudah LDKS.

Benar, yang lain memang pada sakit sepulang LDKS, bahkan ada yang sakit ketika LDKS berlangsung karena kelelahan dengan kegiatannya. Atau mungkin fisik mereka yang tidak berpengaruh dengan kegiatan yang kami jalani.

"Nggak, dong. Aku, kan, kuat!" Aku menjawab sambil memperlihatkan kekuatan fisikku.

Tapi, tak disangka keesokkan harinya saya jatuh sakit. Aku demam, tubuhku terasa pegal-pegal dan sakit, juga bibirku pecah-pecah karena kekurangan cairan. Bayangkan saja, yang biasanya minum air sebanyak 8 gelas sehari, ketika LDKS hanya satu gelas.

"Lain kali jangan ikut LDKS lagi, kalau udah sakit ibarat ini tahu sendiri, kan, rasanya?!" Marah ibu padaku ketika itu.

Ibu sudah melarangku untuk ikut LDKS, tapi saya bersikeras untuk tetap mengikutinya. Aku suka dengan kegiatan itu, dari SMP kelas satu hingga sembilan saya selalu mengikutinya. Selain berguru disiplin untuk menjadi seorang pemimpin, alasanku mengikuti LDKS yaitu tempatnya.

LDKS kelas sembilan waktu itu dilaksanakan di Bogor selama tiga hari. Tempat berlangsung LDKS-nya itu berdekatan dengan gunung Salak, gunung yang pernah dijatuhi atau ditabrak oleh pesawat Sukhoi pada waktu itu. Jika kau melihat informasi itu di televisi, kau pasti tahu akan hal tersebut pada waktu itu.

Di sepanjang perjalanan menuju sana banyak sekali perempuan dan laki-laki yang sedang berduaan, atau yang biasa disebut dengan pacaran. Huh, begitulah anak zaman sekarang. Padahal, pacar belum tentu menjadi suami atau istri kita. Tapi, suami dan istri sudah tentu menjadi pacar kita.

Udara di sana dingin, sangat masbodoh ketika di malam hari. Aku hingga menggigil karena kedinginan, ibarat LDKS kelas sepuluh waktu itu yang bertempatkan di Bogor juga, namun lain lokasi. Tapi, ketika pagi tiba, matahari mulai muncul, rasa masbodoh itu pun menghilang. Kehangatan datang. Meski tidak berkeringat terkena matahari, badan terasa hangat pun sudah cukup.

Masih banyak lagi kegiatan yang sudah kuikuti lainnya. Aku tidak bisa menceritakannya di sini, bisa-bisa menjadi sebuah novel, bukan cerpen. Terlalu tinggi bila saya bisa membuat novel, cerpen aja masih belum baik. Eh, kenapa jadi membahas LDKS-ku dulu? Di sini kan saya mau bercerita ihwal sahabat baruku, Nafil. Bukan ihwal kisah-kisah yang sudah kulalui atau yang disebut dengan pengalaman.

Nafil juga bercerita ihwal prestasi belajarnya di sekolahnya dulu. Ia yang bersaing dengan keras untuk memperebutkan posisi juara di kelas dari sahabat laki-lakinya yang merupakan tentangan terberat dirinya.

"Dari kelas sepuluh beliau terus yang dapat peringkat satu. Susah banget buat mengalahkannya!" Ucapnya setelah panjang lebar bercerita ihwal sahabat laki-lakinya itu.

Nafil sama ibarat denganku yang bersaing melawan sahabat laki-lakiku di kelas. Tapi, saya tidak dari kelas sepuluh, gres di kelas sebelas waktu kemarin. Aku yang mengetahui sekelas dengannya merasa akan kalah bersaing karena ia selalu menjadi juara di kelas sepuluh.

Tapi, ternyata saya salah. Aku bisa mengalahkannya di semester dua kelas sebelas kemarin, saya yang menjadi juara di kelas dengan perjuangan keras yang saya lakukan. Dia yang dari kelas sepuluh tidak ada yang bisa mengalahkannya terkalahkan olehku di kelas sebelas. Sombong banget, ya, aku.

"Kebohongan gak akan pernah menang melawan kejujuran!" Aku berkata sambil menajamkan mata padanya waktu itu karena kesal dengannya. Kesal akan perbuatan curangnya ketika ujian semester.

Aku pikir ia mendapat hasil bagus murni usahanya sendiri, ternyata saya salah. Ia sama saja ibarat yang lain yang suka menyontek ketika ujian semester, yang tidak mau menggunakan otaknya untuk berpikir. Jujur, saya paling tidak suka dengan orang yang berbuat curang atau menyontek ketika ujian semester. Buat apa mereka berguru bila ujiannya masih menyontek? Buat apa juga mereka bersekolah untuk di didik menjadi seseorang yang baik bila tindakannya sama ibarat orang yang tidak mendapat pendidikan?

Siapa sih yang tak pernah menyontek ketika ujian semester? Semuanya pasti pernah, begitu juga denganku. Jujur, ketika di SMP saya memang suka menyontek ketika ujian semester. Tapi, saya sadar perbuatan yang saya lakukan itu salah. Aku tidak akan maju bila terus bergantung dengan orang lain. Aku mau berubah, hingga hasilnya saya berkomitmen untuk tidak menyontek lagi ketika ujian semester ketika di SMA nanti. Aku akan berusaha sekuat tenaga dan sebisaku untuk mengerjakannya sendiri meski sesulit apa pun. Bagaimana negara kita mau maju bila penerus bangsanya saja tidak berlaku jujur.

Aku bisa mencicipi perubahan setelah melaksanakan komitmenku di SMA ini, yaitu prestasi belajarku meningkat. Biasanya tidak pernah masuk tiga besar ketika di SMP, kini di SMA masuk dan bahkan naik menjadi dua, hingga hasilnya menjadi juara di kelas. Aku menyesal ketika dulu selalu menyontek, padahal hasilnya lebih bagus hasil sendiri daripada itu. Arrgghh, bodoh banget aku. Tapi, eh, tuh, kan, lagi-lagi membahas ihwal diriku. Gak apa-apa, deh, kita balik lagi ke sahabat baruku ini.

"Ketua osis di sini siapa?" Tanya Nafil setelah dua ahad kami bersekolah.
"Ketua osisnya Herman!" Jawabku.
"Hah, serius kamu?"
"Iya serius, gak percaya ya?!"

Nafil seakan tak percaya dengan jawabanku itu. Herman yang terlihat biasa saja ternyata luar biasa, sama sepertiku yang awalnya tidak mengetahui kemampuan yang ia miliki karena dari kelas sepuluh dan sebelas tidak sekelas dengannya, gres di kelas dua belas ini.

Tak kusangka, Herman memiliki bunyi yang merdu ketika mengumandangkan adzan dan ketika melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Aku yang bertanya-tanya siapa yang sedang mengumandangkan adzan ketika waktu Maghrib tiba ketika LDKS tahun lalu tercengang melihat dirinya sedang berdiri memegang mike sambil mulutnya melafalkan bacaan adzan.

"Suara saya merdu kaya Muzammil, kan?!" Ia selalu berkata padaku bahwa suaranya yang merdu itu sama ibarat Muzammil.
"Merduan Muzammil daripada kamu!" Aku juga selalu berkata demikian bila ia mengatakan itu.

Muzammil, yang berjulukan lengkap Muzammil Hasballah yaitu perjaka dari Aceh yang berkuliah di salah satu Institut, yaitu Institut Teknologi yang berada di Bandung atau yang disingkat dengan ITB Bandung mulai dikenal oleh masyarakat ketika bulan Ramadhan lalu karena kemerduan suaranya ketika melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an.

Ketika ia menjadi imam di sebuah masjid, para jama'ah yang ada di belakangnya menangis mendengar kemerduan suaranya itu. Terbayangkan, kan, bagaimana merdunya suaranya sehingga orang-orang menangis mendengarnya?!

Aku selalu meminta pada Herman untuk mengajariku membaca Al-Qur'an dengan bernada sama sepertinya. Bacaan Qur'anku masih biasa-biasa saja, belum luar biasa ibarat dirinya. Aku ingin bisa membaca Al-Qur'an dengan berirama, supaya bunyi yang keluar ketika kumembaca terdengar merdu.

"Aku ingin deh jadi hafiz Qur'an!" Aku berkata padanya waktu itu ketika kami sedang membicarakan ihwal hafiz Qur'an atau orang yang menghafal Al-Qur'an.

Seperti Wirda Salamatul Ulya, kata Herman, sih, nama lengkapnya begitu, putri dari Ustadz Yusuf Mansyur yang ia sukai. Selain kelebihannya yang hafal Al-Qur'an, ia juga memiliki paras yang cantik dan ibarat mirip ayahnya. Juga hafiz Qur'an yang luar biasa yang berasal dari Mesir, yaitu Mu'adz Al-Hafiz.

Mu'adz berbeda dengan yang lainnya, ia terlahir dengan keadaan mata yang tidak bisa melihat. Tapi, kekurangannya itu tidak menghalanginya untuk menghafal Al-Qur'an. Ia mulai menghafal Al-Qur'an ketika usianya enam tahun. Dan di usianya yang kesebelas tahun ia berhasil menghafal tiga puluh juz Al-Qur'an. Ia hingga tidak bermain dengan teman-teman sebayanya kala itu hanya karena berguru untuk bisa menghafal Al-Qur'an.

"Dalam shalatku, saya tidak pernah meminta kepada Tuhan supaya Tuhan mengembalikan pengelihatanku." Tuturnya mengenai kebutaan yang ia alami, ia hanya mengharap ridho sang Illahi.

Ia lebih luar biasa mahir dari orang-orang yang bisa bertelekinesis yang sudah kuceritakan di atas. Bagaimana tidak, dengan keadaan mata yang tidak bisa melihat saja ia bisa menghafalnya, tidak ibarat saya yang bisa melihat tidak bisa menghafalnya. Aku jadi malu dengan diriku. Aku yang sudah besar kalah dengannya dan dengan hafiz Qur'an lainnya yang usianya masih dini.

Contohnya ibarat Musa, hafiz cilik yang berasal dari negara kita, Indonesia, hafal tiga puluh juz Al-Qur'an di usianya yang masih sangat kecil, yaitu lima tahun. Bahkan beliau meraih juara tiga hafiz dunia yang diselenggarakan di Mesir. Kamu pasti tahu ihwal Musa itu, seorang anak kecil yang luar biasa yang mengaharumkan nama bangsa dan negara.

Lagi dan lagi melantur ke mana tahu pembicaraannya. Sudah, kita kembali lagi ke dongeng ihwal sahabat baruku, Nafil.

Ia selalu bersedia bila saya meminta padanya untuk mengantar ke toilet ketika ingin buang air kecil karena kedinginan di kelas. Sekolahku termasuk sekolah yang elite, tapi bagi para muridnya. Semua ruang belajarnya terdapat dua AC meski biaya perbulannya tidak hingga dua ratus ribu.

Merasakan, kan, bagaimana dinginnya ketika berguru dengan dua AC yang menyala ditambah ruang kelasnya tertutup tanpa ada celah yang terbuka? Norak banget, ya, aku?! Ketahuan banget yang di rumahnya gak pakai AC sampai-sampai kedinginan karena tidak biasa, sehingga menjadikan selalu buang air kecil.

Bukan hanya aku, sahabat perempuanku yang lainnya juga sama, selalu ingin buang air kecil ketika kedinginan. Tapi, ketika AC-nya tidak dinyalakan, semuanya merasa kepanasan. Sementara dinyalakan, semuanya merasa kedinginan. Begitulah manusia, gak bisa bersyukur.

Tapi, walaupun begitu saya lebih memilih ketika SMP dibanding SMA ini. Meski ruang belajarnya tidak ber-AC hanya berkipas angin, meski tidak pernah berfoto selfie ibarat kebanyakan anak sekolah lakukan sekarang, karena kami dilarang membawa telepon saya masih tetap memilih ketika SMP dibanding SMA ini.

Yang biasanya bertadarus selama lima belas menit sebelum masuk, yang biasanya shalat berjama'ah dengan yang lain ketika waktu shalat Dhuha dan Zuhur tiba, dan semua apa pun itu yang membuatku rindu akan hal tersebut yang di SMA ini tidak dilakukan. Sudah ah, jangan mengungkit masa lalu.

"Belajar kamu, mau ujian. Jangan cerpen aja!" Nafil menasehatiku ketika saya lebih mementingkan hobiku yang membuat cerpen dibandingkan belajar. Aku bercerita padanya bahwa saya memiliki hobi itu. Tak terduga sebelumnya, ia juga memiliki hobi yang sama.
"Gak bisa, saya terlalu cinta sama nulis!" Aku menolak dinasehati olehnya dengan berkata demikian.

Jujur, saya benar-benar cinta dengan menulis. Aku merasa ada yang hilang dari diriku ketika tidak melaksanakan itu, sama halnya dengan membaca. Tapi, membaca cerita, bukan pelajaran. Meski semalam dan sengantuknya apa pun saya tetap meneruskan membaca sebelum dongeng itu selesai. Benar-benar deh aku, menyiksa diri sendiri. Giliran membaca dongeng saja saya berpengaruh hingga semalaman, sementara membaca Al-Qur'an tidak. Parah!

Oiya, saya hampir lupa. Selain Nafil, saya juga memiliki sahabat baru, yaitu Muhammad Abizar Ferdiansyah atau yang dipanggil Abizar. Ia pindahan dari pesantren yang ada di mana ya? Aku lupa. Pokonya pesantren, deh. Ia juga luar biasa ibarat Nafil, tapi luar biasa lucu. Ia bukan menjadi tentangan dalam belajarku, tapi menjadi penghiburku dan yang lainnya. Setiap hari ia selalu membuat kami tertawa melihat tingkah lucunya itu.

Abizar bisa menirukan bunyi binatang jangkrik. Ketika keadaan kelas sepi ia selalu, "krik, krik, krik!" yang membuat kami tertawa mendengarnya dan juga membuat suasana kelas menjadi ramai karena bunyi tawa kami yang tiba-tiba membeludak.

Ia pernah bercerita padaku dan yang lainnya ihwal pengalamannya dalam mengajari anak yang keterbelakangan mental mengaji, karena ia menjadi seorang guru di sebuah TPA milik ibunya.

"Kalau lagi ngamuk, beliau suka ngebanting-banting pintu, terus gue mau dilempar dingklik sama dia. Gila!" Begitulah ceritanya ihwal anak murid yang ia ajari sambil memperagakan apa yang ia ucapkan. Terbayangkan, kan, bagaimana mengajari anak yang keterbelakangan mental mengaji? Butuh kesabaran dalam mengajarinya.

Kami tertawa terbahak-bahak mendengarnya karena lucu melihatnya ibarat itu. Jangankan dari cara ia bercerita, melihat wajahnya dan mendengar ketika ia tertawa saja sudah membuat kami tertawa. Dasar Abizar, ada-ada saja.

Awalnya saya tidak percaya bahwa ia menjadi seorang guru, karena di wajahnya tidak terlihat tampang seorang guru, ditambah dengan perilakunya yang pecicilan. Jangankan aku, yang lainnya juga sama. Bahkan di antara mereka ada yang berkata..

"Emangnya lo bisa ngajar? Anak orang di ajari apa?" Begitulah kata-katanya yang sedikit meremehkannya.
"Bisalah, gue gitu!" Ia menjawab sambil memukul-mukul dadanya.

Dua sahabat baruku yang luar biasa. Yang satu luar biasa pintar, dan yang satu luar biasa lucu. Sudah cukup ceritanya kuselesaikan hingga di sini. Benar kata Nafil, saya harus memfokuskan belajarku dibandingkan dengan yang lain untuk persiapan ujian nasional nanti. Aku tidak ingin pikiranku terganggu ketika ujian nanti yang membuatku tidak berkonsentrasi mengerjakannya. Aku ingin menunjukkan yang terbaik untuk semuanya, terutama untuk ayah dan ibuku.

Aku harus rajin berguru supaya bisa menjadi pintar ibarat Nafil yang dapat menguasai pelajaran-pelajaran yang menurutku sulit. Ia saja bisa menguasainya, kenapa saya tidak?! Aku juga bisa menguasainya, asalkan saya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Jangankan menguasai pelajaran, menguasai dunia pun bisa. Asalkan tadi, saya rajin berguru dengan sungguh-sungguh, karena tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Contohnya ibarat Mu'adz, tidak bisa melihat saja bisa hafal tiga puluh juz Al-Qur'an. Karena, ia bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya.

Semoga setiap impian baik kita bisa tercapai dengan mudah. Seperti impian sahabat laki-lakiku yang berjulukan Budi yang ingin memperbaiki perekonomian negara dan saya yang akan menyadarkan para koruptor yang memakan uang negara untuk keperluannya sendiri, untuk mengisi perutnya dari hasil uang yang ia korupsi tersebut. Padahal para koruptor itu sudah mendapat gajih besar, tapi masih saja korupsi. Memangnya kebutuhan mereka seberapa banyak sih, hingga harus korupsi? Huh, benci para koruptor.

Semoga para koruptor bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu tidak baik, perbuatan yang hanya menunjukkan dampak buruk pada negara kami tercinta Indonesia ini, supaya negara kami menjadi sejahtera ibarat yang kami inginkan. Tidak ada kemiskinan, semua anak yang ada mendapatkan haknya untuk bersekolah supaya bisa membangun negara Indonesia menjadi maju dan lebih baik lagi.

Profil Penulis: -
Previous
Next Post »