SEBUAH LAGU UNTUK HAFIDH
Karya Siti Mariyam
Krrriiinnnggg..
Suara bel panjang yang mengambarkan jam masuk sudah nyaring terdengar, juga membuatku harus terpaksa menyudahi alam mimpi yang gres beberapa ketika saja kudatangi. Berat sekali kumengangkat kepala yang sedang terbenam di atas meja dengan beralaskan tas alasannya yaitu mataku masih ingin terus terpejam untuk melanjutkan alam mimpiku itu. Tapi, sentuhan tangan seseorang yang menyentuh bahuku dengan lembut mengharuskanku membuka mata dan mengangkat kepalaku.
"Sepertinya kau mengantuk sekali. Memangnya tidur jam berapa semalam?" Bibir merah mudanya yang tipis bergerak pelan ketika mengatakan itu supaya saya bisa mengetahui apa yang ia ucapkan alasannya yaitu saya tidak bisa mendengar suaranya.
Sejak lahir saya Tuli. Aku tidak bisa mendengar bunyi orang-orang yang kusayangi dan yang menyayangiku yang ada di sekelilingku, terutama bunyi ayah dan ibuku. Sebenarnya saya bisa mendengar, tapi hanya mendengar suara-suara tertentu ibarat bunyi bel tadi. Sementara bunyi ucapan insan saya tidak bisa mendengarnya alasannya yaitu suaranya lebih kecil dari bunyi bel yang keras, dan dengan cara membaca gerak bibir seseorang ibarat itulah saya bisa mengetahui apa yang orang lain katakan padaku.
"Semalam saya tidak bisa tidur. Aku mencoba mengerjakan PR Matematika dengan sendiri, namun tidak bisa. Aku kesulitan." Aku menjawab melalui goresan pena yang kutulis di buku catatan yang biasa kugunakan untuk menjawab setiap ucapan orang lain padaku alasannya yaitu saya juga tidak bisa berbicara sepertinya dan yang lain. Aku sulit berbicara, membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menjelaskannya.
"Kenapa tidak mengatakannya padaku, saya pasti akan membantumu." Ia berkata sambil menduduki bangku yang ada di samping kiriku yang merupakan kawasan duduknya.
"Aku tidak mau terus menerus meminta bantuanmu, kau sudah terlalu banyak membantuku." Aku kembali menjawab dengan menuliskannya di buku catatan.
"Kamu ini bicara apa sih? Kita berteman, saya pasti membantumu alasannya yaitu teman, kan, saling membantu." Untuk yang kesekian kalinya ia berkata demikian. Ya, ia selalu mengatakan itu setiap kali saya merasa tidak enak jikalau dibantu olehnya.
Semenjak kehadirannya sebulan yang lalu di kelas ini ia yang selalu membantuku di ketika saya mengalami kesulitan dalam belajar. Aku bersekolah di sekolah ragular, bukan di Sekolah Luar Biasa untuk bawah umur yang berkebutuhan khusus sepertiku alasannya yaitu sekolah yang kutempati ini sekolah inklusi.
Sekolah inklusi itu yaitu sekolah yang menggabungkan layanan pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan, di mana siswa berkebutuhan khusus menerima pendidikan khusus sesuai dengan potensinya masing-masing dan yang siswa regular menerima layanan khusus untuk menyebarkan potensi mereka. Sehingga, baik siswa yang berkebutuhan khusus ataupun siswa regular dapat gotong royong menyebarkan potensi masing-masing dan bisa hidup eksis dan harmonis di dalam masyarakat.
Di kelas, hanya saya sendiri yang merupakan siswa Tuli. Dengan keadaanku yang ibarat itu saya hanya bisa menyendiri di setiap harinya alasannya yaitu saya tidak bisa bergabung dengan yang lain untuk sekedar mengobrol dan bercanda. Aku tidak bisa mendengar mereka, mereka pun tidak mengerti dengan caraku yang memberikan kata-kata melalui isyarat. Tapi, itu dulu. Di semester dua kini ada ia yang selalu mengajak dan yang mau kuajak untuk mengobrol. Bagiku, ia bagaikan bulan yang menerangi gelapnya malam dan bagaikan burung yang selalu bernyanyi di pagi hari untuk meramaikan dunia ini.
"Lain kali kalau kau kesulitan mengerjakan PR katakan padaku, saya siap membantumu. Jika ibarat ini balasannya kau menyiksa diri sendiri. Lihat, tuh, kantung matamu menghitam!" Ia menunjuk ke arah kantung mataku yang tanpa kusadari menghitam alasannya yaitu kurang tidur semalam. Aku hanya menganggukan kepala menjawabnya sambil menawarkan seulas senyum untuknya.
Indah, begitulah namanya. Nama yang cantik untuk seorang gadis cantik juga baik hati sepertinya. Selain itu, ia juga pintar. Ia selalu membantu yang lain, ibarat halnya membantuku ketika mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh para guru. Dengan tabah ia menuntun kami berguru tanpa pernah merasa capek dan hal lainnya. Gigi gingsulnya yang putih menambah manis senyum di bibirnya. Rambut panjangnya yang berwarna hitam berkilau selalu terurai dengan pita merah muda di sisi kiri rambutnya. Ia merupakan perempuan tercantik dan terbaik yang kutemui selain ibu.
Selain mengobrol di sekolah yang membuat relasi kami semakin dekat, saya dan Indah juga selalu mengobrol melalui pesan singkat ketika di rumah ketika malam hari atau saat-saat kami berdua mempunyai waktu untuk itu. Seperti halnya dengan malam ini. Ia memberitahuku untuk menonton di bab paling depan ketika ia tampil bernyanyi di program ulang tahun sekolah esok hari.
"Aku pasti menontonmu di bab paling depan, bahkan saya yang lebih dulu menduduki bangku penonton." Dengan sedikit berlebihan saya menjawabnya.
Seminggu yang lalu, di mading sekolah terdapat informasi mengenai ulang tahun sekolah. Di sana tertulis bahwa sekolah akan merayakannya dengan mengadakan pentas seni atau pensi. Setiap kelas diwajibkan beberapa muridnya untuk unjuk gigi berpartisipasi dalam program itu, dan salah satunya yaitu Indah, bahkan ia sendiri yang mengajukan diri untuk itu.
Dan sekarang, ketika ini, tepat pukul sepuluh pagi Indah sudah bangun di tengah-tengah panggung yang tidak terlalu megah yang berada di lapangan sekolah. Ia terlihat sangat cantik dan anggun dengan pakaian yang ia kenakan. Tak lupa ia memakai pita merah muda yang biasa terpasang di sisi kiri rambutnya yang juga menambah cantik penampilannya.
Beberapa ketika kemudian Indah mulai membuka mulut. Meski saya tidak bisa mendengar suaranya, bisa melihat dirinya saja itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak tahu ia menyanyikan lagu apa, tapi saya tercengang ketika ia membawakan lagu itu sambil dengan menggunakan bahasa isyarat. Sejak kapan ia bisa bahasa isyarat? Jadi, ini maksudnya ingin tampil berbeda dari yang lain?
"Oh Tuhan..
Kucinta dia, kusayang dia
Rindu dia, inginkan dia
Utuhkanlah rasa cinta di hatiku
Hanya padanya, untuk dia."
Sebuah Lagu untuk Hafidh Karya Siti Mariyam |
Begitulah yang kuketahui dari lagu yang ia bawakan yang menggunakan bahasa isyarat. Sesekali ia melihat ke arahku yang sedang tercengang, tak percaya bahwa ia bisa berbahasa isyarat, bahasa yang kugunakan ini, bahasa yang memudahkanku untuk berkomunikasi dengan yang lain.
Indah mendapat banyak tepuk tangan setelah ia final tampil dari para penonton yang merupakan warga sekolah, begitu juga denganku. Kali ini saya mengganti tepuk tanganku yang biasanya menggunakan bahasa arahan dengan mengibas-ngibaskan kedua tangan di depan telingan menjadi tepuk tangan biasa ibarat yang lain.
"Sejak kapan kau bisa bahasa isyarat?" Aku bertanya dengan menggunakan bahasa arahan ketika kami beristirahat di kantin sekolah seusai pensi tanpa perlu lagi melalui tulisan.
"Sejak saya mengenalmu." Indah menjawab sambil kedua tangannya bergerak-gerak mengisyaratkan apa yang diucapkan olehnya.
Aku masih tak percaya ia bisa berbahasa isyarat. Tapi, saya tidak bisa memungkirinya bahwa ia benar-benar bisa bahasa isyarat.
Kemudian, kami memakan makanan dan meminum minuman yang sudah tersedia di atas meja sambil sesekali mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu hingga hari mulai gelap. Kamipun pulang ketika makanan yang kami makan dan minuman yang kami minum sudah habis tak tersisa sedikitpun.
Kami pulang dengan berjalan kaki alasannya yaitu jarak antara rumah dan sekolah kami tidak terlalu jauh. Ketika mengeluari gerbang sekolah kami berpapasan dengan yang lain yang juga ingin pulang ke rumahnya masing-masing. Kami kembali mengobrol-ngobrol ketika dipertengahan jalan menuju rumah. Karena terlalu asyiknya mengobrol, lagi dan lagi kami tak sadar bahwa kami sudah tiba di rumah. Aku mengantarkan Indah terlebih dahulu pulang ke rumahnya, setelah itu barulah saya pulang ke rumah.
Ponselku yang sedang berada di saku celanaku tiba-tiba bergetar ketika gres beberapa langkah saja meninggalkan rumah Indah. Aku menghentikan jalanku sejenak untuk mengeluarkan dan melihat ponselku. Satu pesan masuk yang ternyata itu darinya.
"Hafidh, berbalik badanlah!" Begitulah isi pesannya. Aku eksklusif membalikan badanku ibarat perintahnya itu. Terlihat ia masih bangun di depan pintunya sambil bibirnya mengukir senyum kepadaku.
Kemudian, kedua jemari tangannya mulai membentuk karakter 'H A F I D H'. Lalu, ia mulai kembali mengatakan sesuatu melalui bahasa arahan dengan memegang dadanya yang berarti 'aku', membentuk kedua tangannya ibarat karakter X atau menyilang kemudian ditempelkan di dadanya yang berarti 'cinta' dan menunjuk ke arahku yang berarti 'kamu'.
Mataku terbelalak dan mulutku menganga alasannya yaitu terkesiap mengetahui apa yang ia katakan yang membuatku terpaku. 'Aku cinta kamu, Hafidh, saya cinta kamu!' Indah kembali mengatakan itu hingga berulang kali hingga matanya yang rupawan itu berkaca-kaca. Semakin lama semakin banyak air mata yang membendung di kelopak matanya yang sedetik kemudian tumpah alasannya yaitu tidak bisa tertahan lagi.
Aku berjalan menghampirinya yang tanpa kusadari ia juga bersegera berjalan menghampiriku. Ketika kami sudah saling berhadapan, saya memeluk tubuhnya yang mungil itu dengan erat yang tingginya hanya sedadaku, ia membalas pelukkanku dengan erat pula.
"Aku juga cinta kamu, Indah!" Untuk yang pertama kalinya saya berkata eksklusif dengan menggunakan mulutku tanpa dengan bahasa isyarat. Mendengarku berkata begitu tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia menumpahkan tangisnya di dalam pelukanku.
"Jangan menangis, Indah!" Aku berkata sambil menghapus air matanya setelah kumelepas pelukannya.
"Maaf, saya tidak eksklusif mengatakan ini padamu. Sebenarnya, saya mencicipi hal yang sama sepertimu. Tapi, saya terlalu takut kau tidak akan mencicipi hal yang sama sepertiku alasannya yaitu keadaanku ini." Tambahku yang kembali menggunakan bahasa isyarat.
"Tidak, Fidh, tidak. Kamu salah. Aku mencicipi hal itu ketika pertama kali saya melangkahkan kaki menuju bangku yang ada di sampingmu yang akan menjadi kawasan dudukku di kelas yang baru. Kamu bisa melihat, kan, bagaimana sikap saya ke kamu? Bagaimana saya melihat kamu? Apa saya pernah menyinggung wacana keadaanmu? Tidak, kan?!" Indah juga menggunakan bahasa arahan untuk menjawab.
"Jujur, saya memang sempat terkejut ketika berkenalan denganmu lalu mengetahui keadaanmu. Kamu yang terlihat sempurna, ternyata memiliki kekurangan juga. Tapi saya tidak mempedulikan itu, alasannya yaitu cinta tidak ibarat itu. Cinta yaitu perasaan seseorang yang menyanyangi seseorang yang dicintainya dengan nrimo tanpa memandang kelebihan dan kekurangannya dia." Tambahnya.
"Tapi kau terlalu sempurna, Indah. Kamu bisa mendapat laki-laki yang lebih tepat dariku."
"Apa yang tepat harus berpasangan dengan yang tepat juga? Tidak, kan, Fidh?! Aku tidak sesempurna yang kau bayangkan, saya juga memiliki kekurangan sama sepertimu. Kekuranganku memang tidak dari segi fisikku, tapi saya mempunyai kekurangan alasannya yaitu insan terlahir tidak ada yang sempurna, pasti memiliki kekurangan juga kelebihan. Kekurangan dan kelebihan itu ada supaya insan bisa saling membantu dan melengkapi. Aku mencintaimu bukan alasannya yaitu dari kesempurnaan dirimu, tapi alasannya yaitu hatimu!" Indah menepuk dadaku dengan lembut.
"Kamu tahu lagu yang kubawakan tadi itu untuk siapa? Itu untuk kamu, Fidh, untuk kamu. Aku berguru dengan keras bahasa arahan dari awal saya mengetahui bagaimana cara berkomunikasimu supaya saya bisa mengobrol denganmu dan mengetahui apa yang kau ucapkan. Aku tidak mau kau lelah jikalau terus menerus menjawab ucapanku dengan goresan pena dan membaca gerak bibirku untuk mengetahui apa yang kukatakan."
"Biarkan saya mencintaimu, biarkan saya menjadi pendengaran dan mulutmu, biarkan saya menjadi sahabat dan penyempurna hidupmu. Aku mencintaimu, Hafidh!"
Air mata kembali jatuh membasahi pipinya yang mulus. Melihatnya menangis ibarat itu saya kembali memeluknya dengan cita-cita ia bisa damai setelah menumpahkan tangisnya padaku.
"Maafkan aku, Ndah, maafkan saya sudah mengecewakanmu. Karena keadaan yang ibarat ini saya jadi menyia-nyiakan cintamu. Maafkan aku, saya mencintaimu. Kamu mau, kan, menjadi sahabat hidupku?!" Aku berkata setelah melepas pelukannya. Indah hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai jawabannya.
Lagi dan lagi saya memeluknya alasannya yaitu bahagia mengetahui ia juga mempunyai rasa yang sama sepertiku. Aku pikir cintaku ini hanya bertepuk sebelah tangan, ternyata tidak. Bahkan, ia yang lebih dulu mengungkapkan perasaannya itu padaku. Seharusnya saya yang melaksanakan itu, tapi saya terlalu takut untuk melakukannya alasannya yaitu sadar bagaimana keadaanku ini.
Satu, dua, tiga hari berlalu, relasi kami berjalan dengan baik tanpa ada yang membuatnya berantakan. Setiap hari kami selalu pulang sekolah bersama, menghabiskan waktu hanya berdua. Teman-teman di sekolah sudah mengetahui akan relasi ini alasannya yaitu melihat kami yang semakin hari semakin dekat.
Mereka selalu meledekku dan Indah ketika kami sedang mengobrol berdua, ibarat halnya dengan pagi ini ketika kubaru tiba di sekolah. Mereka menarikku menuju mading lalu menunjuk-nunjuk salah satu goresan pena yang ada di sana dan menyuruhku untuk membacanya. Ternyata goresan pena itu yaitu sebuah puisi wacana cinta.
"Aku yaitu kamu
Kamu yaitu aku
Aku dan kau bersatu
Bersatu saya dan kamu
Aku dan kau bersatu di dalam kata cinta
Di dalam kata cinta saya dan kau bersatu
Tak kan terpisahkan selamanya
Selamanya tak kan terpisahkan"
Aku tersenyum lebar ketika mengetahui nama pembuat puisi tersebut yaitu Indah. Tanpa disadari ia sedang memperhatikanku dari kejauhan sana sambil juga tersemyum padaku.
Kemudian ia mengatakan sesuatu melalui arahan di jemari tangan kanannya. Membentuk karakter 'I' dengan telunjuknya, karakter 'L' dengan telunjuk ditambah ibu jari, dan karakter 'U' dengan telunjuk ditambah kelingking yang jikalau disatukan bermakna 'i love you'. Aku kembali tersenyum lebar ketika mengetahui ia mengatakan itu. Akupun membalasnya dengan menawarkan arahan yang sama sepertinya yang berarti 'i love you too'.
Profil Penulis: -