Pangeranku Karya Siti Mariyam

PANGERANKU
Karya Siti Mariyam

'Ya robbibil musthofa baliqmankoo shidanaa wagfirlanaa mamadho ya waa shialkarokmii.'

Itulah shalawat yang menerangkan shalat Tarawih di hari pertama ini telah selesai. Aku melipat mukenah dan sajadah lalu bersalam-salaman dengan yang lain. Seperti biasanya sepulang shalat Tarawih, saya berjalan secepat mungkin ketika melewati daerah yang gelap dan ditumbuhi oleh pohon besar. Pasti kau sudah tahu mengapa saya berlari ketika melewatinya? Ya, takut, sebab takut. Jelas saja saya takut, saya melewati daerah itu sendiri tanpa ada yang menemani.

Entah mengapa, perasaan takut itu selalu datang. Padahal, di bulan suci Ramadhan menyerupai sekarang ini semua hantu dikurung sama Allah, supaya mereka tidak menggangu insan termasuk aku. Tapi, kenapa perasaan takut itu selalu menghantuiku? Mungkin sebab saya perempuan jadinya penakut. Saking cepatnya dan tidak melihat di sekeliling, sampai-sampai saya menabrak seseorang.

'BRRRUUUKKK'
"Aaawww!" Teriakku kesakitan sebab pantatku mendarat di jalan. Mukenah dan sajadah yang sedang kupegang pun ikut terlempar, tapi tidak terlalu jauh dariku.
"Adek, gak apa-apa?" Tanya orang yang kutabrak tadi dengan lembut.

Aku tidak menjawab pertanyaannya itu, saya sibuk membersihkan tangan dan baju yang sedikit kotor, serta mengambil mukenah dan sajadah yang ikut jatuh terlempar, setelah itu gres saya melihat wajah orang tersebut. 

Subhanallah, rupa orang tersebut sangat tampan. Aku hanya bisa menganga tanpa berkata apa-apa. Kupandangi wajah orang yang tepat berada di hadapanku dengan peci dan baju putih lengan panjang serta kain sarung yang ia kenakan membuatnya terlihat menyerupai lelaki yang saleh.

"Dek, adek gak apa-apa?" Ia kenbali bertanya sambil melambaikan tangan kanannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku yang sedari tadi sedang memandangi wajahnya.
"Eh, iya. Aku gak apa-apa, kok!" Jawabku sembari bangkit.
"Kenapa kau jalannya cepet-cepet gitu, Dek?"

Adek? Masya Allah, saya gres menyadari bahwa ia lebih tinggi dariku, dan sudah pasti ia lebih cukup umur dariku. Pantas saja ia memanggilku dengan sebutan 'adek'.

"Aku.. aku.. saya takut, Kak!" Jawabku. Ia tertawa mendengar jawabanku yang mungkin lucu baginya.
"Kenapa takut, Dek? Sekarang, kan, bulan Ramadhan. Kamu ini lucu banget sih! Hehehe."
"Yeee, Kakak. Coba Kakak melewati daerah yang kulewati tadi sendiri, berani tidak?" Tanyaku menantang. Sudah pasti ia berani, lelaki saleh, kan, rajin ibadah, setan-setan pun tidak berani mendekatainya.
"Memangnya kau sendirian?" Bukannya menjawab, ia malah berbalik tanya padaku. Aku hanya mengangguk sambil merapikan jilbabku yang berwarna merah muda sebab ada beberapa rambut yang keluar.
"Teman-temanmu?" Tanyanya lagi sambil menatapku.
"Ya, kakak tahu sendirilah,  remaja zaman sekarang, kan, pada malas pergi ke masjid. Ada sih beberapa, tapi arah rumah kami berbeda." Jawabku yang menatapnya balik.

Oh Allah, kenapa hatiku berdebar-debar ketika bertatapan dengannya? Apa saya menyukainya? Ah, tidak mungkin. Aku masih siswi SMA, sedangkan ia mungkin sudah berkuliah. Jika memang benar saya menyukainya, mana mungkin ia menyukaiku juga.

"Yaudah, ayo Kakak antar pulang!" Ucapnya yang mau mengantarkanku pulang.
"Jadi gak enak nih aku, hehehe." Kataku sambil tertawa kecil.

Sekitar lima menit berjalan, jadinya hingga juga di rumahku.

"Di sini rumah kamu?" Tanyanya.
"Iya, ini rumahku." Jawabku.
"Wah, berarti kita tetanggaan dong. Tuh, rumah Kakak di sana." Katanya sambil menunjuk ke arah rumah berwarna putih yang tidak jauh dari rumahku.

Apa, itu rumahnya? Kenapa saya gres melihatnya sekarang, padahal rumah kami berdekatan?

"Kalau gitu Kakak pulang, ya! Assalamu'alaikum." Pamitnya.
"Wa'alaikumsalam. Makasih ya, Kak!" Aku menjawab salamnya sambil berterima kasih padanya sebab sudah mengantarkanku pulang. Dia hanya mengangguk dan tersenyum padaku, lalu berjalan menuju rumahnya.

Kemudian, saya membuka pintu gerbang lalu masuk ke dalam rumah dengan hati yang berbunga-bunga. Aku berlari memasuki kamar, lalu melempar mukenah dan sajadah ke atas kasurku yang di selimuti oleh sprey Hello Kitty berwarna merah muda dan eksklusif melihat wajahku ke cermin. Kupandangi wajahku di sana sambil tersenyum sendiri menyerupai orang gila sebab mengingat pertemuanku dengan orang tersebut.

Mimpi apa saya hingga bisa bertemu orang sepertinya, dengan wajah yang ganteng bagaikan pangeran. Tapi, tunggu, tunggu, tunggu, siapa nama orang itu? Kenapa saya tidak menanyakan namanya? Aaarrrggghhh, semoga saja saya bisa bertemu dengannya lagi, supaya saya bisa mengetahui siapa namanya.

Puasa Ramadhan ketika ini sudah memasuki hari ketujuh. Setelah saya mengetahui di mana rumahnya berada, saya jadi selalu memperhatikan rumahnya setiap kali berangkat sekolah, berharap saya bisa bertemunya lagi. Namun, rumahnya selalu tertutup, menyerupai tidak berpenghuni. Pantas saja saya tidak pernah melihatnya sebelumnya, sebab rumahnya selalu begitu. Seusai berbuka, saya berpamitan kepada Ibu untuk pergi Tarawih menyerupai biasanya.

"Ibu, saya pergi Tarawih dulu ya! Assalamu'alaikum." Kataku dengan sedikit berteriak.
"Wa'alaikum salam. Hati-hati ya sayang!" Sahut Ibu yang sedang mencuci piring-piring kotor sehabis berbuka didapur.

Aku eksklusif mengeluari rumah dengan hati yang berharap bisa bertemu lagi dengan orang tersebut. Aku benar-benar ingin bertemu dengannya lagi setelah pertemuan pertama kita satu ahad yang lalu.

"Pergi kemasjid bareng yuk, Dek!?"  Tiba-tiba terdengar bunyi seseorang dari belakangku ketika kusedang menutup pagar rumah. Suara itu? Sepertinya saya mengenali bunyi itu? Orang itu? Pasti dia.

Aku menoleh ke arah bunyi yang ku dengar itu.  Ternyata benar ia orangnya. Peci putih yang ia kenakan menyerupai ketika pertama kubertemu dengannya, ditambah baju putih lengan panjangnya yang polos dan kain sarung berwarna merah bergaris hitam membuatnya terlihat sangat tampan. Hatiku kembali berdebar-debar. Sepertinya memang benar saya menyukainya. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta? Hatiku selalu berdegup kencang setiap kali melihatnya.

"Kakak!" Kataku dengan sumringah, sebab senang bisa bertemu dengannya lagi.
"Iya, ini Kakak yang kemarin pulang Tarawih bareng kamu. Ayo berangkat!" Katanya sambil berjalan pelan, lalu saya mengikutinya dari belakang, hingga jadinya saya jalan berdua dengannya.
"Waktu itu kita belum berkenalan ya? Nama kau siapa?" Tanyanya yang memulai pembicaraan
"Namaku Zahra, Kak, kakak sendiri namanya siapa?" Jawabku sambil mendongak ke atas untuk melihat wajahnya, sebab tinggiku setengah dari badannya yang cukup tinggi itu.
"Nama Kakak terlalu bagus, panggil saja Kak Azam. Hehehe.." Katanya yang tertawa seraya melihatku juga.
"Iya, iya. Aku akui nama Kakak bagus. Hehehe.." Aku pun ikut tertawa.
"Nama kau juga bagus, Kok. Oiya, kau sekolah di mana? Kelas berapa?" Katanya yang menanyakan wacana sekolahku.
"Aku kelas satu di SMA Islam Adzkia." Jawabku.
"Kamu sudah SMA? Kakak fikir masih SMP? Habisnya tubuh kau kaya anak kecil, mungil. Kamu juga masih kelihatan imut." Katanya yang tidak menyangka bahwa saya sudah SMA.

Ya, benar apa yang dikatakan Kak Azam. Walaupun sudah SMA, tapi badanku kecil. Karena badanku yang kecil ini, saya suka dibilang anak kecil terus sama teman-teman di sekolah. Bukan hanya aku, dua sobat perempuanku juga sama, sebab hanya kami yang memiliki tubuh kecil di kelas. Padahal, kan, saya dengan mereka sama, hanya saja tubuh kami yang berbeda.

"Yeee, Kakak, saya sudah besar. Kalau duduk perkara itu, dari lahir saya sudah imut. Hehehe.." Kataku yang membanggakan diri. Ia hanya tertawa mendengarnya. Obrolan kami terhenti ketika hingga di masjid.
"Nanti, kalau mau pulang bareng tunggu saja Kakak di sini." Katanya ketika saya sedang duduk dibeberapa anak tangga sambil merapikan sandalku dan secara belakang layar juga merapikan sandalnya supaya bersebelahan denganku. Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya sebagai tanda mau. Lalu ia masuk ke dalam masjid lewat pintu sebelah kanan untuk laki-laki, dan saya pun masuk ke dalam masjid melewati pintu sebelah kiri untuk perempuan.

Sudah seminggu saya bersahabat dengan Kak Azam. Pergi dan pulang Tarawih selalu berdua. Bukan hanya saya dan Kak Azam yang dekat, orangtua kami pun dekat. Kak Azam dan keluarganya sangat baik denganku dan keluargaku. Kami selalu membuatkan menu berbuka puasa. Selain itu, orangtua kami juga suka mengadakan buka puasa bersama, antara Ayah Ibuku dan Ayah Ibunya Kak Azam.

Aku sangat berharap bisa berbuka puasa berdua dengannya. Harapanku untuk berbuka puasa dengannya terwujud ketika puasa kami sudah memasuki ahad kedua. Kak Azam mengundangku untuk berbuka puasa di rumahnya, dengan alasan ia sendiri berbuka di rumah, makanya ia mengundangku. Tapi, Kak Azam tidak sendiri di rumah ketika saya hingga di sana, ada seorang laki-laki yang menemaninya di rumah.

Setelah saya cari tahu siapa laki-laki itu, ternyata ia yaitu adiknya Kak Azam yang berjulukan Izam. Dia sangat menyerupai dengan Kak Azam, yang membedakan hanya tinggi tubuh dan ia berkacamata. Aku sempat kecewa ketika mengetahui Kak Azam bersama adiknya di rumah, katanya ia hanya sendiri, tapi kenapa ada adiknya di rumah? Tapi, kekecewaanku terganti dengan obrolan-obrolan diselingi candaan yang membuat kami semakin dekat.

Namun sayang, ketika satu ahad sebelum hari raya idul fitri Kak Azam tidak ada kabar sama sekali. Biasa kami selalu berangkat Tarawih bersama, tapi kini tidak. Adiknya yang selalu mengirimi pesan singkat untukku ketika waktu sahur tiba juga sudah tidak lagi, bahkan mereka dan orangtuanya tidak kelihatan sama sekali di rumah. Aku bertanya pada Ibu kenapa Kak Azam dan keluarganya tidak ada di rumah, tapi balasan Ibu tidak tahu. Aku jadi tidak semangat untuk shalat Tarawih kalau tidak ada Kak Azam, sebab ia yaitu penyemangatku untuk melaksanakan itu, dan ia yaitu pangeranku.

Sampai malam di mana orang-orang mengumandangkan takbir sebagai tanda hari idul fitri akan tiba, mereka semua masih belum ada kabar. Mereka hilang begitu saja menyerupai ditelan bumi tanpa saya ketahui di mana keberadaannya. Tapi, ketika hari kemenangan itu tiba, saya mendengar kabar dari Ibu mereka sudah ada di rumah.

Betapa senangnya saya mendengar kabar itu, jadinya saya bisa bertemu dengan Kak Azam lagi. Ibu dan Ayah mengajakku untuk berlebaran di rumah Kak Azam setelah kami berlebaran dengan yang lain. Sampai jadinya kami tiba di rumahnya. Di hari lebaran menyerupai ini pintu rumah Kak Azam terbuka lebar, tidak menyerupai di hari-hari biasanya yang selalu tertutup rapat.

"Assalamu'alaikum!" Ucap Ayah ketika kami hingga di rumahnya.
"Wa'alaikumsalam!" Jawab Ayah dan Ibunya Kak Azam yang menyambut kedatangan kami.

Ayah Ibu eksklusif bersalam untuk bermaaf-maafan menyerupai yang lain dengan Ayah Ibunya Kak Azam, dilanjut juga denganku. Orangtuanya ada, kenapa Kak Azam dan adiknya tidak ada? Ke mana mereka? Ternyata adiknya Kak Azam ada di dalam setelah orangtua mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya.

Melihat kedatangan kami, adiknya Kak Azam juga bersalam dengan Ayah dan Ibu, juga denganku. Ke mana Kak Azam? Kenapa hanya ada adiknya? Pertanyaanku itu dijawab oleh adiknya setelah saya bertanya padanya di mana eksistensi sang kakak. Aku eksklusif menuju kamar Kak Azam, eksistensi ia berada sekarang. Aku sudah tidak tabah bertemu dengannya, semoga saja ia dalam keadaan yang baik.

Aku terkejut melihat seseorang yang memakai kruk atau tongkat penyanggah kaki dikedua tangannya sedang merenung di jendela setibanya di kamar Kak Azam. Dia siapa? Apa ia Kak Azam? Kalau iya, kenapa ia bisa menyerupai itu?

"Kak Azam!" Panggilku pelan. Dia eksklusif menoleh ke arahku setelah mendapat panggilan dariku. 
"Zahra!" Kak Azam tersenyum melihatku. Dia berjalan perlahan menghampiriku dengan tongkatnya itu.

Dia sangat ganteng dengan baju lebarannya hari ini. Bukan hanya hari ini, hari kemarin dan hari selanjutnya akan terus begitu. Mataku terbelalak ketika sadar ketika melihat keadaan kaki sebelah kanannya diperban. Jadi, sebab kakinya sakit yang membuatnya memakai tongkat? Tapi, kenapa ia bisa menyerupai itu? Apa yang telah terjadi padanya?

Pangeranku Karya Siti Mariyam

"Minal'aidzin Zahra!" Ucapnya sama menyerupai yang lain ketika saya berlebaran dengan mereka. Aku tidak menjawab ucapan lebarannya itu, saya masih terus memandangi kakinya yang terlihat besar sebab perban yang membalutinya.
"Kakak kenapa?" Tanyaku yang mengganti ucapan lebarannya itu.
"Kakak gak apa-apa, kok!" Jawabnya sambil tersenyum untuk meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja.
"Kalau kakak gak apa-apa, kenapa kakak kaya gini?" Aku kembali bertanya kenapa keadaannya berubah menyerupai itu.
"Kamu gak suka lihat kakak menyerupai ini?" Seperti biasa, bukannya menjawab, ia malah berbalik tanya.

Pertanyaannya itu membuat tangis yang sedang kutahan memecah. Aku menangis sambil menunduk di hadapannya. Melihatku menangis begitu, ia menenangkanku di dalam pelukkannya. Bukannya senang mendapat pelukan darinya, tangisku semakin menjadi-jadi.

"Jangan menangis bidadari kecilku, kakak gak apa-apa, kok!" Ucapnya sambil mengelus lembut kepalaku yang dibaluti oleh jilbab berwarna merah muda. Aku tidak bisa hening meski sudah ditenangkan olehnya, sebab saya tidak mau melihat keadaannya bermetamorfosis menyerupai itu.
"Maafkan kakak Zahra, kakak gak bisa menjadi pangeran kamu!" Tukasnya yang membuat tangisku berhenti, juga membuat mataku seketika terbelalak mendengar ucapannya itu. Aku melepaskan pelukkannya, lalu menatapnya dalam-dalam. Jadi, selama ini Kak Azam tahu bahwa saya menyukainya?
"Maafkan kakak, Dek!" Lagi-lagi Kak Azam mengatakan 'maaf' padaku.

Aku kembali menangis mendengar ucapannya yang menyatakan tidak bisa menjadi pangeran yang selama ini saya dambakan. Yang selama ini membuatku semangat untuk shalat Tarawih sebab adanya ia yang menemaniku ketika pergi dan pulang Tarawih.

"Kenapa gak bisa, Kak?" Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya mengapa ia tidak bisa menjadi pangerang yang menyerupai saya inginkan.
"Karena kakak bukanlah laki-laki yang terbaik buat kamu, Dek." Jawabnya sambil menatapku.
"Bagiku kakak itu sudah yang terbaik dan yang paling baik!" Aku mengelak perkataannya itu. Bagaimana bisa ia bukan laki-laki yang terbaik untukku sedangkan ia sudah bisa merubah hidupku menjadi yang lebih baik lagi.
"Itu, kan, bagi kau Zahra, di mata orang lain pasti berbeda-beda." Aku hanya termenung mendengarkan ucapannya itu. Benar yang dikatakannya, pandangan orang lain ketika melihat kita memang berbeda-beda, begitu juga dengan Kak Azam.
"Tapi, saya sayang sama kakak!" Aku mengungkapkan rasa sayangku padanya.
"Kakak juga sayang sama kau Zahra, tapi rasa sayang kakak ke kau hanya sebagai adik kakak, bukan yang lain menyerupai yang kau rasakan."
"Apa sebab perbedaan usia kita yang membuat kakak tidak mempunyai rasa yang sama sepertiku dan hanya menganggap saya sebagai adik kakak? Kalau iya, pasangan yang lain banyak yang perbedaan usianya yang lebih jauh dari kita. Kenapa kita gak bisa, Kak?"
"Kakak tahu Zahra, cinta memang tidak dibatasi usia. Tapi, pandangan dan perasaan kakak ke kau tetap sama, hanya menganggap kau sebagai adik kakak." Lagi-lagi  Kak Azam mengucapkan itu.

Kenapa cinta rasanya menyakitkan menyerupai ini? Kenapa tidak menyerupai ketika pertama kali saya mencicipi jatuh cinta, yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga? Kenapa cinta tidak menyerupai yang saya lihat pada kebanyakan orang lain yang bisa tertawa bahagia, bukan malah mengundang air mata menyerupai yang saya alami ini? Apa saya salah memandang cinta? Atau saya yang belum mengerti apa itu cinta? Entahlah, saya tidak tahu itu.

Yang terang saya tidak ingin bermain-main dengan cinta lagi jikalau jadinya menjadi menyerupai ini. Aku tidak mungkin menyalahkan cinta atas apa yang telah terjadi padaku. Karena cinta yaitu perasaan yang tumbuh dari dalam hati ketika kita melihat seseorang yang kita cintai dan cinta itu bisa merubah hidup kita menjadi yang lebih baik lagi

Cinta yaitu anugerah sang Illahi yang patut kita syukuri, sebab tidak setiap insan bisa mensyukuri cinta yang sudah diberikan pada kita. Buktinya masih banyak yang melaksanakan perbuatan yang tidak baik dengan alasan cinta. Kalau ia memang benar cinta, mengapa ia melaksanakan perbuatan itu? Apa itu yang dinamakan cinta?

Karena pada sesungguhnya, cinta itu anugerah, bukan duduk perkara yang dapat membebani hidup kita. 

Cinta itu menjaga seseorang yang kita sayangi, bukan merusaknya dengan cara memperlakukannya secara tidak menyenangkan.

Cinta itu memberi apa yang kita miliki untuk orang yang kita cintai, bukan meminta apa yang ia miliki untuk kesenangan kita sendiri.

Cinta itu memudahkan kita dalam melaksanakan apa yang akan kita lakukan bersama seseorang yang kita sayangi, sebab cinta mempersatukan kita dalam sebuah ikatan yang besar lengan berkuasa berdasarkan perasaan kita masing-masing,  bukan menyulitkan menyerupai apa yang telah kita lihat dan rasakan.

Mendengar ucapan Kak Azam itu, saya ingin segera pergi darinya sebab kecewa ia tidak membalas cintaku. Namun, ia menghentikanku ketika saya hendak pergi darinya.

"Ada yang menyayangi dan mencintai kau dengan tulus, Zahra!"
"Siapa, Kak? Siapa?" Tanyaku agak sedikit kesal.
"Aku Zahra!" Tiba-tiba adiknya Kak Azam yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya menjawab pertanyaanku dan ternyata belakang layar ia memperhatikan kami.
"Izamlah yang menyanyangi dan mencintai kamu, Zahra!" Ucap Kak Azam yang ikut meyakinkan balasan sang adik kepadaku. Mendengar ucapan Kak Azam itu ia eksklusif menghampiri kami.
"Iya Zahra. Dari awal..." ia mulai menceritakan padaku dan Kak Azam bagaimana awal mulainya ia menyukaiku.

Dari awal kami bertemu ketika berbuka puasa waktu itu, ia mulai menyukaiku. Perasaan yang dinamakan cinta itu tumbuh didalam hatinya ketika melihatku. Dia yang menyuruh Kak Azam meminta nomor teleponku untuknya ketika saya dan Kak Azam pulang Tarawih berdua menyerupai biasa sehari sesudah berbuka bersama. Dia juga yang selalu membangunkanku ketika waktu sahur tiba dengan cara mengirimi saya sms.

Meski saya tidak pernah membalasnya, ia tetap saja mengiriminya. Sampai jadinya satu ahad sebelum hari raya ia sudah tidak lagi mengirimi saya sms ketika waktu sahur tiba, dan di waktu yang bersamaan juga mereka sekeluarga tidak ada kabar sama sekali. Ternyata ada petaka yang menimpa pada keluarga mereka yang menjadikan Kak Azam menjadi menyerupai itu.

"Aku mencintaimu Zahra!" Ucapnya yang mengungkapkan perasaannya padaku sehabis bercerita. Aku hanya membisu mendengar ucapannya itu, sebab tidak menyangka ini semua akan terjadi.
"Gimana, Dek?" Tanya Kak Azam yang ingin tahu bagaimana jawabanku atas ungkapan adiknya tadi.
"Aku cintanya sama kakak, bukan sama adik kakak." Jawabku yang masih tetap kokoh dengan perasaanku terhadap Kak Azam.
"Zahra, kakak gak mau kau sakit hati cuma sebab kakak gak bisa mencintai kau juga. Hilangkan rasa suka kau pada kakak, dan coba buka hati kau buat Izam." Ucap Kak Azam.

Setelah di pikir-pikir ucapannya itu memang benar. Mencintainya pasti hanya membuat saya sakit hati, sebab saya mencintai orang yang tidak mencintaiku. Tapi bagaimana saya bisa mencintai orang yang tidak saya cintai, dan bahkan rasa suka sedikit pun tidak ada?

"Kamu pasti bisa mencintai Izam, Dek, asalkan kau mau membuka hati kau buatnya." Tambah Kak Azam.

Aku masih hanya termenung mendengar perkataan Kak Azam. Apa saya harus ikuti sarannya untuk menghilangkan rasa sukaku padanya dan membuka hatiku untuk adiknya? Sepertinya saya harus ikuti sarannya, sebab buat apa mencintai orang yang tidak mencintai kita, sedangkan ada orang lain yang mencintai kita.

"Tapi saya sudah mengecewakan Kak Izam." Kataku yang memberanikan diri untuk membuka bunyi padanya yang saya panggil juga dengan sebutan kakak, sebab ia dua tahun lebih cukup umur dariku. Aku takut ia akan kecewa atas apa yang selama ini saya lakukan padanya, yang tidak pernah membalas smsnya. Sekalipun membalasnya, saya hanya menanyakan bagaimana kabar Kak Azam.
"Aku gak pernah merasa dikecewakan oleh orang yang saya sayangi, begitu juga sama kau Zahra." Katanya yang tidak merasa dikecewakan olehku. Ternyata ia sama menyerupai kakaknya, sangat baik. Meski saya sudah begitu, ia tidak pernah merasa dikecewakan.
"Gimana, Dek? Mau, ya!" Kak Azam kembali bertanya padaku wacana balasan dari ungkapan adiknya tadi. Aku hanya mengangguk sebagai balasan bahwa saya mau untuk mencoba membuka hatiku supaya bisa mencintainya dan menghilangkan rasa sukaku pada Kak Azam yang terbilang salah.

Kakak beradik itu tersenyum bahagia setelah mengetahui jawabanku yang membuat kekerabatan saudara mereka bisa lebih baik lagi, sebab sudah tidak ada yang harus sakit hati di antara salah satu dari keduanya. Meski perasaanku terhadapnya masih biasa saja, setidaknya saya mau mencoba dan berusaha untuk mencintainya.

Setelah beberapa selang waktu saya mencoba menjalin kekerabatan baik dengannya, perlahan-lahan hatiku bisa mendapatkan dirinya sebagai pengganti sang kakak. Walau saya tidak bisa menjadi kekasihnya Kak Azam, tapi saya bisa menjadi adiknya yang sama-sama menjadi adegan dari dalam hidupnya.

Walau Kak Azam juga tidak bisa menjadi pangeranku,  tapi adiknya bisa menjadi pangeran menyerupai sang kakak yang dulu saya damba-dambakan. Yang mempunyai etika yang baik, tutur kata dan tingkah lakunya juga baik, dan yang pasti ia menyayangiku, tidak menyerupai Kak Azam. Kak Azam memang menyayangiku, tapi ia hanya menyayangiku sebagai adiknya, bukan seseorang yang special untuknya, sebab akunya saja yang selama ini terlalu berharap sama dia.

Ternyata dicintai itu lebih baik daripada mencintai. Tapi, kita yang dicintainya juga harus bisa menghargai seseorang yang sudah mencintai kita. Terkadang kita suka menyia-nyiakan orang yang mencintai kita hanya untuk melihat orang lain yang tidak mencintai kita. Cobalah membuka hati untuk orang yang mencintai kita tapi kita tidak mencintainya.

Belajarlah melihat dirinya dengan hati kita jangan hanya dengan mata kita yang hanya bisa melihat bagaimana kesempurnaan dirinya, tapi tidak dengan hatinya. Cinta itu mudah, hanya saja kita yang menganggapnya sulit. Cinta itu tidak sulit, hanya saja kita yang belum mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya.

Profil Penulis: -
Previous
Next Post »