Olegku Tambulilinganmu Karya Ari Widiastuti

OLEGKU TAMBULILINGANMU
Karya Ari Widiastuti

Gemercik air mengingatkanku akan seseorang yang membuatku mengerti akan hidup dan kesempatan, membawaku ke masa lalu yang saya lewati dengan tawa bersamanya.  Ya! Disini di sanggar ini, kita bertemu, saya ingat betul ketika saya diantar oleh ibuku ke sanggar tari Laksmi yang sangat terkenal itu.  Aku juga masih sangat ingat ketika saya merengek tidak ingin ditinggalkan oleh ibuku, tapi ibuku tetap pergi dan menitipkanku pada tanteku yang sekaligus yaitu ibu dari Bagus.  Bagus yaitu tetanggaku yang konon katanya waktu kelahirannya bertepatan denganku, tapi saya merasa belum dekat dengannya bahkan saya marasa ia sangat asing bagiku.  Alisnya yang tebal, bibirnya yang merah sungguh pertanda bahwa ia meledekku, apalagi ditambah dengan giginya yang ompong, saya merasa sangat kesal melihat semuanya, di tengah kesedihanku bisa-bisanya ia tertawa. 

“Jegeg, jangan nangis kenapa kau tetap menangis? Kan sudah sama tante, sama Bagus juga. ” Tanya Tante Ayu sambil memegang tanganku dan menghapus air mataku. 
Dengan mata yang sembab dan air mata yang masih mengalir deras, sederas keran di kamar mandiku.  Akupun menjawab Tante Ayu. 
“Nggak mau tante, Geg mau pulang sama mama saja, Geg ga mau berguru nari, Geg mau pulang tante”. 
“Aduh kau ribut sekali Jegeg, nggak tahu apa sanggar ini bagus, jadi sini sama saya saja”, kata Bagus seraya meraih tanganku. 

Tante Ayu bergegas memegang tangan kami dan memakaikan kemben untuk kami berdua.  “Ayo pakai dulu, Jegeg harus berhenti menangis ya! Lihat tu, banyak teman-teman yang lain, mereka senang kok, Bagus juga senang” hibur tante Ayu. 

Aku mulai berhenti menangis tapi wajahku tetap saja murung, saya berfikir saya seharusnya bisa menulis ataupun bermain boneka di kamarku.  Ugh saya kesel ditambah lagi melihat tingkah Bagus yang sok pintar. 

“Ayo bawah umur berkumpul dulu disini” Ujar Bu Dayu guru sanggarku ketika menyuruh bawah umur sanggarnya memulai latihan. 

Tiba-tiba “ Hey kau anak gres ya? kenalin namaku Galuh, udah ayo sini sama saya sekarang kita berguru dasar saja dulu” ujar seseorang yang belum pernah saya lihat, sosoknya putih, cantik berambut panjanng hitam dan lurus, umurnya sih kayaknya sama denganku, tapi kenapa ia tidak menanyakan wacana namaku? 

Dia mulai melenggok dengan halusnya, mengagem, nyeledet, malpal, semua sudah dikuasai, sedangkan saya hanya bisa melamun tanpa berbuat apa.  Sampai kemudian kak Siska mengajariku wacana agem yang benar dan bagaimana cara menguasai sebuah tarian melalui lisan dan gerakan yang mantap.  Sejak ketika itu saya berfikir bahwa menari bukanlah hal yang buruk malah acara ini sangat bermanfaat untuk kita.  

“Jegeg ayo pulang” kata Bagus mengagetkan
“Mana tante Ayu, saya nggak mau pulang sama kau aja, dasar anak tengil” bantahku
“Aduhh dasar cengeng, mamaku udah pulang, rumah kita kan dekat jadi ga usah takut kenapa-kenapa, sini tanganmu saya rasa kau belum bisa menyebrang dengan baik dehh” katanya meremhkanku seraya meraih tanganku. 

Sejak ketika itu saya sering berlatih bersama bagus, apalagi semenjak ia dibelikan sepeda saya sering dibonceng ketika pergi ke sanggar, ya mungkin alasannya kita lahir pada waktu dan daerah yang bersamaan jadi ada sedikit keakraban yang walaupun kadang sangat asing yang selalu saya rasakan ketika bersamanya.

Enam bulan berlatih akibatnya saatnya saya tampil, tubuhku yang lumayan tinggi dengan muka tirus membuatku menjadi orang yang cocok untuk menarikan tarian Oleg.  Lagi-lagi Bagus yang menjadi tamulilingan untukku.  Malam pementasanpun datang, pakaian berkelip, bunga emas yang menghiasi rambut dan makeup tebal menjadi saksi pementasan pertamaku.  Hatiku degdegan ketika keluar dari langse dan melihat ramainya penonton, saya bisa melihat Ibu, tante Ayu dan Kakaku dari kejauhan, ketenganganku bertambah ketika Bagus masuk ke panggung dan menari denganku, entah perasaan asing apa yang muncul ketika itu.  Bagus terlihat berbeda, berwiwabawa tanpa gigi ompong dan tampangnya yang kayak Sunoe dalam kartun jepang Doraeomon seketika musnah.  Setelah pementasan saya dan Bagus mulai berfoto-foto, giginya yang omppong kembali terlihat, uuucccchhhh pengentak cubit diaa. 

“Jegeg, akibatnya sukses juga kita, tapi menurutku penonton sangat terpukau padaku ketika saya keluar semuanya bersorak, sial saya keren banget” kata Bagus dengan padanya. 
“Jadi menurutmu saya ga penting gitu dalam pementasan ini?” labrakku. 
“Ya iya deh penting, dasar nenek sihir” katanya. 

Aku mencubit pipiya dan kita tertawa bersama.  Sejak ketika itu saya sering mengisi program dengan menari, entah tari klasik ataupun tari kreasi saya pasti selalu berpasangan dengan makhluk bergigi ompong itu, tapi semua pementasan selalu berkesan hingga ketika saya SMP saya pernah menari tarian Galang Bulan bersamanya, ketika pementasan orang bilang ada yang asing dengan pementasanku ternyata Bu Ayu lupa memakaikanku badong, dan ternyatanya lagi bagus yang menyembunyikan badong itu sungguuhhh saya kesel dengannya.  

Tak terasa waktu berjalan sangat cepat, saya dan bagus mulai bernajak dewasa, saya memilih utuk kuliah kedokteran dan ia lebih memilih membuatkan bakat seninya dan melanjutkan study di ISI (Institut Seni Indonesia), tapi kami tetap sering menari bersama, Oleg Tamulilingan yaitu tarian yang paling sering kami tarikan.  Tak ada lagi Bagus kecil dengan gigi ompongnya, tak ada lagi Bagus yang tengil dan sok pinter.  Kini ia benar-benar tumbuh menjadi pria ganteng yang bahwasanya saya kagumi, entah mengapa saya tidak bisa jauh darinya walaupun saya selalu berusaha menyembunyikan perasaanku. Suatu ketika ketika kota daerah tinggal kami berulang tahun saya dan bagus menerima anjuran untuk pentas dalam pementasan tari kreasi.  Aku dan bagus kembali menjadi pasangan sebagai Oleg dan Tamulilingan.  Kami berlatih sangat keras setiap malamnya bahkan terkadang hingga jam 10 atau 11 malam, saya yang membawa motor sendiri terkadang sangat takut hingga motorku mogok diperempatan dekat balai kota.  

Olegku Tambulilinganmu  Karya Ari Widiastuti

“Adduuuuhhh apa-apaan nih, motor kau ngapain berhenti ayo hidup lagi dong, mama saya mau pulaang” ketika itu waktu telah menujukan pukul 11. 30 malam, konon katanya di perempatan itu memang agak sedikit angker.  Tiba-tiba sesuatu meraba bahuku. 
“Ampun jangan ngganggu saya, saya tau ini tempatnya tuan, jangan ganggu saya ya taun, biarin saya lewat yaw.  Jangan minum darah saya, sumpah deh darah saya oahit sekali, apalagi saya kurus begini tidak punya daging, besok akan saya bawakan sesuatu untuk tuan, Om Santih-Santih-Santih Om” ocehku panik sambil berusaha berlari, namun sesuatu itu malah memegang  tanganku erat dan tidak membiarkanku pergi. 
“Jangan minum darah saya, saya mohon”
“Dasar penakut, ini saya Bagus, dari dulu ga pernah berbubah ya cewek satu ini, bangkit neng Jegeg” terdengar seuara yang tidak asing lagi untukku, dan saya mulai membuka mata perlahan
“Bagus, ini kau kan bukan siluman, saya takut banget” kataku sambil meraba-raba muka dan tanganya. 
“Ini saya udah deh” ia meraih tanganku, tiba-tiba perutku berbunyi, maklumlah sedari sore saya belum makan. 
“Ih apaan tuh” kata Bagus sembari mencari sesuatu  yang berbunyi. 
“Hehehehe” saya pun nyengir. 

Dia bertanya padaku dengan pandangan yang meledek “Pasti belum makan ya, ya udah makan di Melati aja ya, oh ya inget ngisi bensin ya jangan ampe mogok tengah jalan kaya gini, untung saya yang ngeliat, kalo yang ngeliat beneran siluman gimana?” 

“Kok kau perhatian sih sama aku?” tanyaku menunduk. 
“Ya cantik, saya kan peduli sama kamu” 

Deg hatiku tiba-tiba berdegup kencang, sangat kencang bahkan lebih  kencang dari kendang yang di pukul oleh pak Made ketika pementasan barong.  

“Lho kok bengong, lama ya kita nggak latihan bersama, pulang bersama dan jajan bersama, lama juga saya nggak liat tingkah konyolmu itu” 
“Kamu kangen ya sama aku, ah nggak mungkin, abaikan” 
“Kok kau jawab sendiri pertanyaanmu? Aku mau jawab.  Iya saya kangen sama Jegeg yang cengeng, penakut, lucu, ceriwis semuanya” matanya berbinar melihatku. 
“Ah kau ngerjain  aku ya?” Ini betul-betul aneh, saya tak menyangka akan menjadi menyerupai ini, Bagus benar-benar menunjukan sikap yang berbeda padaku.  Aku masih ingat dulu ia sangat mementingkan dirinya sendiri, selalu membagi upah pentas dengan tidak rata.  Tapi sekarang ia sangat berbeda. 
“Nggak kok, saya benar-benar merindukanmu Geg, saya menyadari kaberadaanmu disampingku yaitu kebahagiaanku” ia mulai meraih  tanganku. 
“Ini semua maksudnya apa?” tanyaku. 
“Aku mencintaimu Olegku” bisiknya padaku. 

Aku tak bisa berkata apapun, saya hanya bisa terdiam dan detak jantungkupun semakin keras, jauh semakin keras dan  keras.  Bagus memang orang yang saya dambakan tapi semua ini membuatku shok dan sama sekali tidak menyangka. 

“Kenapa diam, apa kau masih tetap menganggapku sebagai seorang bagus kecil yang ompong?”
“Tidak, saya tak pernah menganggapmu menyerupai itu”
“Maukah kau menjadi kekasihku, menjadi oleg untukku, dan saya menjadi tamulilingan untuk mu?”
“Aku akan berikan jawabannya di tamat pementasan nanti”

Hari pementasanpun tiba, saya menari dalam suasana yang sangat berbeda dari biasanya, menari bersama seseorang yang saya kangumi dan sekaligus mengagumiku.  Senyum manisnya, semuanya membuat semangatku bergelora, tiba-tiba ditengah pementasan saya terjatuh pingsan.  Aku terbangun di ruangan hambar dan sangat dingin, kata ibuku saya menderita kanker sumsum tulang belakang dan sangat sulit untuk menyembuhkannya kecuali ada orang yang rela menyumbangkan sumsum tulang belakangnya untukku.  Keadaanku terus memburuk, tapi Bagus tak pernah mengunjungiku, saya berfikir apa  yang dikatakannya malam itu hanyalah sebuah bercandaan saja, hingga saya ada pada saat-saat kritis bahkan sangat kritis, umurku mungkin akan segera berakhir, dokter sudah pasrah dan hanya bisa menolongku dengan membantu pernafasanku.  

Saat dokter memutuskan untuk mencabut alat bentu pernafansan untuk perawatanku, tiba-tiba ada kabar bahwa seseorang yang umurnya sebaya denganku rela menyumbangkan sumsum tulang belakangnya untukku.  Siapapun orang itu saya sangat berterima kaih padanya, ia yang telah menawarkan hidup kedua padaku.  Operasi sumsum tulang belakang sangatlah  menyakitkan, dokter sukses memntransfer sumsum tulang belakang orang itu padaku. 

Dua ahad setelah perawatan akupun pulang, saya sangat ingin bertemu dengan Bagus dan bertanya padanya mengapa ia tidak pernah menjengukku, bahkan sekalipun tidak ketika saya terpuruk bahkan hampir mati menyerupai itu.  Sekaligus saya ingin menjawab pertanyaannya malam itu.  Aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Bagus. 

“Tante Ayu, ada Bagus gak” tanyaku pada  Tante Ayu setelah  Tante Ayu membukakan pintu untukku.  Tapi bukan tanggapan yang saya dapatkan Tante Ayu malah menangis dan memelukku.  
“Tante kanapa kok tante nangis, Bagus dimana tante?”
“Jegeg, perlu kau tau, Bagus sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanaya”, rasanya langit mau runtuh mendengar hal itu, saya tak percaya. 
“Nggak mungkin, ia di dalamkan tante, ia masih ada disini dan sedang membersihkan kendang kesayanganya” tanyaku panik sambil mencarinya kedalam rumah. 
“Nak Bagus yaitu anak melik, yang bisa meninggal kapan saja, ia pergi sempurna sehari setelah pementasan terakhir bersamamu berkahir” air mataku menetes ketika itu, tangisanpun tak bisa ku bendung. 
“Kenapa tidak ada yang memberitaukannya padaku tante, setidaknya Jegeg bisa nemenin ia di saat-saat terakhir, Bagus jangan tinggalin Jegeg, jangan tinggalin olegmu ini” rontaku sambil terus memanggil namanya. 
“Sudah lah nak, ia telah pergi meninggalkan kita untuk selamanya, ia telah damai di alam sana dengan semua kenangan rupawan bersama kita.  Sebelum ia pergi ia menitipkan sesuatu padamu” kata tante Ayu sambil menyerahkan sebuah kotak kado padaku. 

Saat saya buka, sebuah miniatur patung Oleg Tamulilingan yang dibawahnya terukir namaku dan namanya, dan sebuah surat yang mengatakan bahwa, ia akan selalu mencintaiku hingga kapanpun, sekarang dan selamanya, di dunia ini ataupun di keabadian sana.  Dia memang melik, dan dialah orang yang merelakan sumsum tulang belakangnya untukku.  Saat itu pula tangisanku pacah lagi, saya merasa bahwa akulah penyebab kepergiannya, walaupun Tante Ayu sudah meyakikan bahwa kepergiannya memang sudah takdir dari yang kuasa.  

Kini saya hidup dalam bayang-bayang masa lalu bersamanya, hidup dengan adegan dari raganya, sebagain anggota badan dari tamulilingku.  Dengan begitu saya bisa menari bersamanya selamanya, menari dengan tamulilingan yang lahir memang untuk melengkapi segala kekurangku.  Aku bertekad untuk tetap menari dan menari, kini akupun menjadi pelatih menari di sanggar yang membesarkan saya dan Tamulilinganku.  

Profil Penulis:
Nama : Ari Widiastuti
Alamat : Jl.  Nakula Sulahan, Susut, Bangli, Bali
Sekolah : SMAN Bali Mandara/ Wilson High School, Portland OR USA
 Hobby : Menari, menggambar, masak dan membadaca buku

Previous
Next Post »