Rasa Yang Dibawa Oleh Hujan Karya Raga Nagori

RASA YANG DIBAWA OLEH HUJAN
Karya Raga Nagori

Aku belum pernah merokok sebelumnya. Karena itu, dikala asap panas yang menyesakkan ini turun melalui teronggokan, mekanisme tubuhku secara otomatis menolaknya dengan keras. Aku terbatuk hingga dada ini terasa ngilu. Namun, di dikala yang sama ada sensasi abnormal yang perlahan menjalar dari pangkal leher, perlahan merambat menuju dada. Sensasi cuek yang begitu ringan dan menenangkan. Sensasi itu kemudian merangkak naik ke kepala, merasuki otakku dengan pijatan-pijatan cuek yang menyenangkan. Kuhirup isapan kedua, dan saya terbatuk lagi. Namun, tak lama, sensasi yang sama kembali merasuki tubuhku, bahkan lebih kuat. Asap itu seakan melumerkan bongkahan-bongkahan kegelisahan yang mendesak di dada dan kepalaku, mensublimasikannya, dan kemudian membawa semua hanyut bersama hirupan nafas yang lain. Dapat kurasakan syaraf-syaraf di sekujur tubuh yang menegang mulai mengendor seiring dengan habisnya batang rokok putih ini.

Saat itu, gerimis mengguyur di langit kotaku. Gerimis itu yaitu jejak-jejak hujan angin yang menerpa kami dua jam terakhir. Aku selalu menyukai hujan, sama seorang penulis Indonesia yang pernah kubaca salah satu karyanya, M Aan Mansyur. Dalam karyanya, Lelaki Yang Terakhir Menangis di Bumi, tokoh utamanya mengatakan bahwa baginya hujan yaitu gadis kecil di langit yang sedang menangis alasannya yaitu kesepian. Sang Tokoh Utama ingin menghibur gadis kecil itu, dan perlahan menyadari bahwa ia jatuh cinta pada hujan, cinta pertamanya.Namun alasanku menyukai hujan agak berbeda dengan penulis itu. Aku menyukai hujan, alasannya yaitu di bawah guyuran air hujan, saya dapat mencicipi rasa sepi yang begitu menyakitkan. Bisakah kalian bayangkan perasaan itu? Rasa sepi yang menyakitimu. Rasa sepi yang membuat dadamu ngilu seolah ada sebilah pisau yang dihujamkan pada dadamu. Rasa sakit yang mebuat jantungmu berdetak lebih lambat, namun degupnya lebih keras seakan hendak merombak tulang rusuk. Ya, cobalah rasakan. Begitulah alasanku menyukai hujan, alasannya yaitu ia bisa menyakitiku dalam sepi.

Dalam gerimispun, masih dapat kucium anyir hujan yang tersisa di sela asap rokok yang masih mengepul dari mulutku. Cukup dengan aroma itupun, rasa sepi yang sakit itu kembali mengiris keberadaanku. Dari mana rasa sakit itu berasal? Begitulah rasa pensaranku membawaku terus hidup dalam bumi insan ini. Kenapa saya bisa menyukai sesuatu yang menyakitiku? Begitu pula tanyaku dikala masih kecil. Aku mencoba bertanya dengan kepolosan anak umur 10 tahun dikala itu pada  orang-orang di sekitarku, namun tak ada satupun dari mereka yang kutanyai mengaku bisa jatuh cinta pada rasa sepi, maupun rasa sakit. Jawaban mereka perihal sumber rasa sakit dari hujanpun mengambang dan tidak jelas. Beberapa dari mereka bahkan memberikan kesan tidak paham pada pertanyaanku. Begitu saja, dan kuakhiri petualanganku mencari tanggapan atas dua pertanyaan sederhana anak kecil usia 10 tahun. 

Namun, entah bagaimana, waktu perlahan menggiringku pada kejadian demi kejadian-yang tak sempat kuceritakan di kisah ini- dan jadinya membawaku pada sebuah hipotesa; alasanku menyukai sepi dan sakit yang di bawa hujan, yaitu alasannya yaitu saya yaitu insan yang berdosa. Hipotesa itu muncul pada pertengahan demam isu hujan Bulan Desember di atap fakultas, di bawah tangga menuju tandon air. Nah, sekarang tinggal satu pertanyaan  lagi.

TRING        !        
Nontifikasi chat ku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Kubuka dan kubaca dua baris kalimat pendek dari Yani, sahabatku dalam organisasi kampus,

Gimana problem Pak Sila? Kapan mau nyelesain problem dengan fakultas? Kita udah dikejar DL loo!!

Kumatikan screen smartphone dan kulempar benda itu ke keranjang cucian di dekatku. Konyol. Kuhirup kembali asap rokok itu; tinggal sisa sedikit, dan kuhembuskan kembali kepulan-kepulan putih ke udara. Kuresapi sejenak sensasi dingin, ringan, dan menenangkan itu semakin menjerat erat kepala dan tubuhku. Kurasa saya mulai mengerti kenapa banyak orang ketagihan dengan benda kecil ini.

“ Hujan itu keren lo...” Suara itu menggema dalam kepalaku : Suaraku. Gerimis itu menembus batas dimensi waktu dan menyeretku di dalamnya. Sepatah waktu dikala bersama perempuan itu, di sebuah senja di tepi Danau Kampus. 
“ Kenapa?”
“ Karena ia mirip pesan yang di sampaikan Langit pada Bumi. Kamu tahukan? Bumi dan Langit. Dua hal yang diciptakan untuk saling melengkapi, namun tak pernah saling menyentuh. Lalu, dengan hujanlah langit memberikan pesan pada Bumi...”
“ Tunggu, bukankah itu berarti komunikasi satu arah? Hanya Langit yang bicara, tidakkah itu egois?”

Aku menggeleng.

“ Bumi pun merespon pesan-pesan Langit, namun dengan bahasa yang berbeda, yaitu dengan kehidupan. Hujan dari Langit akan digunakan oleh Bumi untuk memunculkan kehidupan; hewan, pepohonan, dan kita. “

Perempuan itu membisu sesaat. Mengangguk-angguk seakan mengerti. Sesaat kemudian, ia kembali mengajukan pertanyaan,

“ Bagaimana dua orang bisa berkomunikasi bila menggunakan bahasa yang berbeda?”

Aku ingat, saya tersenyum pada dikala itu,

“ Bahasa apa yang lebih terperinci daripada karya?”

Aku ingat lagi, ia mencubit lenganku setelah itu.

Sejujurnya, saya tidak begitu yakin dengan potongan waktu itu. Entah kenapa, meskipun nyata, rasanya begitu jauh dari jangkauanku. Seakan ada dinding yang membatasi antara diriku dengan ingatan itu. Dan entah bagaimana pula, gerimis ini bisa membawaku padanya.

Setelah puas mencubitiku, perempuan itu bertanya lagi,

“ Kira-kira pesan apa yang disampaikan oleh Langit hingga Bumi meresponnya dengan kehidupan ya...?”

Pada dikala itu, saya tidak pribadi menjawab, kutatap langit yang semakin menua dan matahari yang semakin samar di balik awan. Setelah sejenak tenang dan membiarkannya menunggu, kujawab pertanyaan itu sambil menatap kedua matanya,

“ Rindu...”

Sekerjap, dapat kulihat warna merah menghiasi pipinya. Dia mengalihkan kedua matanya pada gerombolan belibis putih yang tengah asyik berenang di Danau. Setelah itu, keheningan menyesapi kami berdua.

Perempuan itu bukan kekasihku. Kami bahkan berbeda fakultas. Namun, semesta sudah menghimpitkan takdir kami semenjak SMA. Kami berdua juga berbeda angkatan. Tapi entah bagaimana, selalu ada yang bisa membuat kami bertemu. Pertemuan dengannya pun selalu menyenangkan. Paling tidak, di depannya saya merasa nyaman dan tak perlu bermanis-manis untuk sekedar berbicara atau bertingkah. Anehnya, itu semua berjalan begitu saja secara alami. Sejak pertama kali bertemu beberapa tahun yang lalu, dan hanya butuh sebentar untuk bisa membuka diriku padanya. Namun, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk meningkatkan korelasi kami. Mungkin jikalau dipikir-pikir, itu semua alasannya yaitu sesuatu dalam diriku sudah lama tercerabut, dan melenyapkan seluruh kemampuanku untuk mencintai seseorang lagi. Sesekali saya menggenggam tangannya. Ukurannya begitu mungil, terasa lembut, dan seakan rapuh setiap saya menggenggamnya. Sering kukaitkan jemariku dan jemarinya lalu kubimbing tangan mungilnya itu ke saku depan jaketku. Saat ia bertaya kenapa saya suka menggenggam tangannya, kujawab, “ Karena tanganmu mungil.” Begitu saja. Lalu ia diam.

Rasa Yang Dibawa Oleh Hujan Karya Raga Nagori

Kurasa sebaiknya, saya berkata jujur padanya, perihal pandanganku akan makna hujan kala senja itu. Tentang hujan yang memberikan kerinduan pada Bumi, lalu Bumi meresponnya dengan menciptakan karya berupa kehidupan. Kenapa? Karena semenjak senja dan malam ia bertanya alasanku menggenggam tangannya, kami semakin jarang bertemu.

********

Aku hanya bisa mendengar bunyi tangisnya. Suara tangis Yani, yang berderu-deru dari ujung telepon. Aku membisu mendengarkan, tak tahu harus merespon bagaimana. Tangisan perempuan, bahkan dari perempuan setomboy Yani, selalu dapat mengiris hati dan membungkam verbal lelaki. 

“ Aku bingung, kenapa saya bisa selemah ini...” Ujarnya di sela sesenggukan tangis. Saat itu pukul 11 malam. Aku sedang tiduran di kamarku, bersiap tidur. Namun kini, rasa lelah dan kantuk itu hilang sempurna. Kuputuskan untuk membiarkannya bicara terus dan menumpahkan air mata sebanyak mungkin, alasannya yaitu saya percaya, tidak ada yang lebih ampuh menghilangkan rasa duka selain air mata. 
“ Pernahkah kau begitu merasa bersalah pada orang-orang di sekitarmu, hingga membuatmu tak sanggup wajah mereka?”
“Pernah.”

Aku teringat pada delapan sobat yang telah begitu kucewakan. Sebuah kesalahan konyol dari tindakan biadabku. Aku kehilangan mereka semenjak itu, dan saya juga telah kehilangan sebagian diriku. Sebuah lubang besar, jauh didalam diriku. Akupun tersadar semenjak kapan saya begitu rapuh. Dan hingga kini, saya tak memiliki cukup keberanian untuk menemui mereka, dan menambal lubang besar tersebut.

“ Aku tidak tahu apa yang harus saya lakukan.... Aku..aku... bahkan tidak tahu kenapa saya merasa begitu lemah sekarang. Aku hanya bisa berdoa dan memohon ampun, sambil berharap saya memiliki cukup keberanian untuk bertemu dengan mereka...”

Aku masih melongo dikala itu. Baru setelah melihat momen yang tepat untuk bicara, saya mencoba angkat bicara.

“Kuatlah. Puaskan air matamu. Aku yakin kau cukup berpengaruh menghadapi itu...”

Setelah itu, kami saling mengucapkan salam, dan ia menutup telponnya. Saat itu masih bulan September, dan anyir demam isu hujanpun bahkan belum tercium. Namun, saya sudah bisa merasa hawa cuek dan bunyi gerimis yang membawaku pada sepi yang sakit.

Kuhembuskan hisapan terakhirku ke udara. Gerimis masih mengguyur lembut, namun kelabu mulai berkembang menjadi putih di langit. Kumatikan rokok dengan menggesek-gesekkannya pada paving halaman belakang. Kupejamkan mataku, dan kucoba meresapi semua hal tidak beraturan yang kualami selama ini. Kejadian-kejadian acak yang silih berganti datang.

Tidak.

Mendadak mirip ledakan sebuah bom, seberkas cahaya kecil yang mendadak muncul dari kegegelapan diriku dengan cepat membesar dan berkembang menjadi menjadi sebuah suar besar dengan cahaya putihnya, memenuhi kegegelapan dengan terangnya. Mendadak, seiring dengan ledakan cahaya dalam diriku, gerimis kembali berkembang menjadi menjadi hujan, dan rasa sepi yang menyakitkan itu kembali menjalari diriku. Tanpa bisa kutahan, seulas senyum terbentuk di bibirku.             

Darimana rasa sakit ini berasal? Dan bagaimana saya bisa menyukai hujan alasannya yaitu rasa sakit yang ia datangkan padaku? Semuanya menjadi begitu jelas. Setidaknya, dari sekedar hipotesis, kini ia naik satu tingkat menjadi sebuah thesis. Pernyataan yang kuat. 

Semuanya, alasannya yaitu saya yaitu insan berdosa. Seorang pendosa, yang selalu melihat segalanya dari sisi seberang. Melihat dari balik pagar, dan mengingikan apa yang tidak ia miliki. Beginilah seharusnya seorang pendosa.

Aku menghela nafas panjang dan lega. Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang masih menjejak warna merah pekat. Kutatap langit sejenak dengan senyum terima kasih. Kuambil smartphone ku, dan sambil melangkah masuk, kubuka chat untuk perempuan dari senja di tepi danau itu, kuketik dengan penuh khidmat,

Maaf kalau sudah membuatmu terluka. Aku suka dengan setiap jejak kecil keberadaanmu. Karenanya, saya suka menggenggam tanganmu, untuk tetap memastikan keberadaanmu di sampingku.

Kirim.

Kuketikkan beberapa kalimat lagi,

Tapi tanganmu memang kecil kok. Itu alasan plus kenapa saya suka menggenggamnya

Kirim.

Kuhentikan langkahku tepat di depan pintu kawat pemisah halaman belakang dengan ruang keluarga. Kutatap sejenak layar smartphone ku. Lalu kuputuskan menambah sebuah kalimat,

Oya, soal Langit dan Bumi waktu itu, ternyata saya benar-benar mengatakan hal yang sebetulnya lo. Aku gres sadar ternyata kerinduan benar-benar bisa menciptakan kehidupan. Kamu tahu, kan? Saat kita rindu, kita mencicipi sakit, dan dari rasa sakit itu, kehidupan bisa lahir hehehe

Kirim.

Kulempar smartphone itu ke bangku ruang keluarga yang sudah patah akhir pergulatan kecilku dengan lelaki berbadan besar beberapa jam tadi. Sepi yang ganjil merasuki rumah, sementara hujan terdengar semakin bergemuruh menerpa. Lelaki berperut buncit itu kini tengah membisu dengan posisi telungkup. Sebilah pisau dapur yang biasa dipakai Ibuku untuk mencincang daging masih tergeletak di atas rak kecil dengan ruang keluarga, warna merah itu masih membasahi bilah tajamnya, meskipun warnanya jadi lebih pekat daripada dikala saya pertama kali menancapkannya di dada buncit dan leher pria itu. Aku memandanginya beberapa saat. Lalu, mataku bergerak dalam gelap ruangan yang semakin menakutkan, beralih menuju tubuh Ibuku yang juga tergeletak dengan lubang bacokan di dadanya. Aku bukan anak kedokteran, tapi kukira pasti tepat di jantung. Darahnya pun sudah berubah merah pekat. Seluruh ruangan, nyaris berubah merah akhir mereka. Ya... meskipun saya tak perlu membersihkannya sih Aku sudah tak punya hak untuk menghakimi mereka, perbuatan mereka. Sebab, kami hanyalah sesama pendosa. Aku, Ibuku, dan laki-laki buncit itu. Semua sama saja. 

Bagi para pendosa, hanya dalam hujan yang membawa rasa sepi nan menyakitkan, kami bisa mencicipi cinta.   

Profil Penulis:
Nama   : Raga Nagori
Previous
Next Post »