Aku Baik-Baik Saja Karya Murni Oktarina

AKU BAIK-BAIK SAJA
Karya Murni Oktarina

19 Agustus 2014.

Air langit jatuh ke bumi siang ini. Menemaniku ke suatu daerah di mana saya akan bertemu dengan seseorang yang masih teramat kucintai. Ah, saya lega alasannya ialah airmata yang sulit untuk kubendung ini dapat disamarkan oleh hujan. Aku yakin tangisanku tak akan terlihat oleh dia. Jangan hingga saya terlihat rapuh di depannya. Bukankah dulu saya yang meminta kami untuk berpisah? Aku harus menjadi wanita yang berpengaruh di hadapannya! Aku pasti bisa untuk baik-baik saja.

Perlahan kulangkahkan kaki dengan gemetar; dengan penyesalan. Kuatur napas dan rasa gugupku. Kuseka airmata yang tak henti-hentinya keluar dari pelupuk mata. Sekali lagi kutanamkan dalam hati jikalau saya akan baik-baik saja. Kini kuteruskan langkah dengan hati dan niat yang mantap. Akan tetapi kurasakan tubuhku kaku seketika dikala kulihat beliau berada di sana. Ramai. Hampir semuanya saya kenal. Hujan terasa lebih masbodoh sekarang dan suaraku tertahan di tenggorokan.

Aku hanya berkata lirih memanggilnya, “Arion....”

***

Lima ahad sebelumnya.

Entah apa yang ada di pikiran Arion sampai-sampai beliau memutuskan untuk menjadi relawan di Palestina. Ya, saya mengerti. Posisi kekasihku sebagai presiden kampus kami mengharuskannya untuk selalu bergerak sesuai kebijakan-kebijakan yang ada. Apakah menjadi relawan di negeri rawan ibarat Palestina merupakan kebijakan yang harus dijalaninya juga? Seingatku, di lembar peran dan tanggung jawab presiden kampus tidak ada kewajiban untuk itu.

“Memang bukan kewajiban, Ra. Aku hanya mengikuti bunyi hati nuraniku,” ucap Arion lembut ibarat biasanya.

Aku masih cemberut. “Kamu gak takut ke sana?” tanyaku sembari menatap dalam mata Arion.

Arion tertawa kecil. Dipegangnya kedua pundakku dan dibalasnya tatapanku. “Apa yang harus ditakutkan, Sayang? Palestina sedang membutuhkan dukungan kita dikala ini. Aku yakin ada Yang Mahakuasa yang akan melindungiku. Ada doa dari kamu, dari semua sahabat kita, dari orangtua dan keluarga. Aku pasti baik-baik saja. Percayalah!”

“Aku takut kau gak kembali lagi ke sini, Rion. Aku takut kehilangan kamu. Sudah banyak pola di isu kalau para relawan yang ke sana ternyata ikut jadi korban juga dan ma...,”

Belum tamat kuutarakan kekhawatiranku, jemari Arion sudah mendarat lembut di bibirku. “Aku akan kembali, Lyra. Aku pasti baik-baik saja.”

Aku tahu. Kali ini saya sudah tak bisa menggoyahkan pendiriannya. Aku menyerah.

Seminggu kemudian saya berada di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengantar Arion dan enam mahasiswa lainnya, yang juga merupakan anggota BEM kampus kami. Entah perasaan apa yang mengganjal di hatiku. Rasanya saya masih ingin berusaha menghentikan kepergian Arion.

“Sayang, kau masih punya waktu untuk membatalkan keberangkatan ini,” bisikku di bersahabat pendengaran Arion.

Arion hanya tersenyum mendengarnya. Senyumnya yang selalu mengagumkan di pandanganku, selalu menghangatkan relung hatiku. Kini kusimpan baik-baik di memoriku, alasannya ialah saya pasti akan merindukan senyuman Arion selama kepergiannya satu bulan ke depan.

“Jaga dirimu baik-baik. Sehabis shalat dan mengaji jangan lupa berdoa untuk kita ya, Bidadariku!”
“Aku akan selalu berdoa untuk kalian. Jaga dirimu baik-baik juga ya!”

Arion mengusap kepalaku sebentar lalu masuk ke dalam tanpa menoleh lagi. Tiba-tiba airmata perlahan mengaliri pipiku.

Sagitta menggenggam tanganku erat, “Sekarang kita hanya bisa berdoa untuk mereka, Ra.” Aku mengangguk lalu memeluk sahabat dekatku itu untuk menumpahkan airmata yang semenjak tadi tertahan.

Satu minggu, dua minggu, tiga minggu. Tidak ada kabar yang kami dapatkan dari Arion maupun enam orang sahabat lainnya. Hingga hingga di ahad ke empat, pihak kampus menerima kabar dari pemerintahan Palestina jikalau ada tiga orang mahasiswa yang akan dipulangkan besok.

Keesokan harinya saya dan teman-teman anggota BEM bersama beberapa orang dosen menuju rumah sakit. Ya, tiga orang yang dipulangkan terlebih dahulu ternyata menjadi korban dan terluka. Salah satunya telah meninggal di perjalanan. Ya Allah, dadaku rasanya sesak dikala menyaksikan kekasihku terbaring dengan ajun yang sudah diamputasi tanggapan terkena ledakan bom. Ketakutanku telah menjadi faktual sekarang. Melihat kondisi Arion ibarat ini saja saya sudah tak sanggup, apalagi jikalau Arion hingga kehilangan nyawanya.

Aku Baik-Baik Saja Karya Murni Oktarina

“Ly...ra, maafkan saya ya!” ucap Arion terbata dikala saya bangun di samping ranjang tempatnya berbaring.
“Ini yang saya takutkan, Arion! Coba kau turuti permintaanku untuk gak pergi ke sana!” teriakku marah dan menangis. “Kamu gak pernah menghubungiku selama di sana membuat hari-hariku dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran. Sekarang dengan mudahnya kau cuma bilang maaf?”

Arion diam.

“Aku sadar sekarang, kau gak pernah menganggap saya berarti untukmu. Kamu lebih mementingkan ego dan keinginan kau sendiri. Sepertinya kata pisah ialah hal yang terbaik untuk kita!” Aku segera beranjak pergi meninggalkan Arion.
“Lyra!”

Panggilan Arion menjadi sia-sia alasannya ialah saya tidak akan menoleh dan kembali. Hatiku sakit sekali. Sakit alasannya ialah perkataanku sendiri. Sesungguhnya saya bukan marah padanya, tapi marah dengan kelemahanku yang tidak bisa mencegah kepergiannya ke sana. Seandainya Arion tidak ke sana, tentu hari ini saya tidak akan menyaksikan Arion kehilangan tangan kanannya.

“Ayolah, Ra. Jenguk Arion! Keadaannya hari ini makin memburuk. Ternyata luka Arion tanggapan bom di Palestina itu lambat ditangani, Ra. Meski sudah diamputasi, nyatanya masih membuat badan Arion melemah,” ujar Sagitta terus membujukku.

Aku terus berjalan dengan cepat sementara Sagitta berusaha mengikuti langkahku. “Untuk apa, Git? Aku bukan siapa-siapa beliau lagi sekarang.”

“Kamu jangan egois ibarat ini, Lyra! Kamu akan menyesal jikalau terus-terusan egois,”

Aku berhenti. Kupandang Sagitta tajam. “Aku atau Arion yang egois?!”

“Maafkan Arion, Ra. Temui beliau dulu. Kalian berbicara lagi agar tidak ada yang terluka.”
“Percuma! Dia sudah terluka kehilangan tangan kanannya, kehilangan impiannya. Dan aku, hatiku yang terluka. Aku terluka alasannya ialah penderitaannya, Git. Kamu tahu ‘kan jikalau saya teramat mencintainya. Dulu. Sekarang. Selamanya.”
“Maka dari itu, jenguk Arion, Ra.”

Aku menggeleng lalu berbalik arah, meninggalkan Sagitta yang resah dengan sikapku.

Di suatu malam, kusaksikan di langit sana ada sebuah bintang yang amat terang. Dibandingkan bintang-bintang lain di sekitarnya, satu bintang itu amat memukau. Akan tetapi setelah kutinggalkan beberapa dikala untuk mengerjakan peran kuliah, bintang itu sudah tidak ada lagi di sana. Aku teringat pada sebuah artikel yang pernah kubaca, katanya bintang yang duluan mati (menghilang) ialah bintang yang paling jelas di antara bintang lainnya. Tiba-tiba saya teringat Arion, bagiku Arion ialah bintang yang paling bercahaya di hidupku. Ah, jangan memikirkan yang tidak-tidak, Lyra! Suara hatiku memberontak.

Drrtt.... Smartphone-ku bergetar.

“Halo, Git. Ada apa nelpon malam-malam? Tugas kelompok kita sudah selesai. Besok sudah bisa kita kumpulkan.”
“Ra, ini bukan wacana tugas. Ini wacana Arion....”

***

19 Agustus 2014.

Kini saya sudah bisa berjumpa dengan Arion, namun bukan di rumah sakit lagi. Arion sudah sembuh dan bisa meninggalkan ranjang daerah berbaringnya. Aku berjumpa dengan mantan kekasihku itu di suatu daerah yang tak pernah kuduga sebelumnya, atau yang tak pernah ingin kubayangkan. Hujan sudah mulai berhenti sempurna di dikala saya sudah berada di hadapan Arion. Orang-orang yang tadi bersama Arion memutuskan untuk membiarkan kami berdua saja di sini.

"Lyraku, saya mengerti keputusanmu. Aku tahu sikapmu bukan alasannya ialah kau marah padaku atau bukan berarti kau membenciku. Itu semua alasannya ialah kau marah dengan dirimu sendiri. Kamu teramat mencintaiku, bukan? Sama ibarat saya yang juga teramat mencintaimu.

Bidadariku, saya hanya ingin kau mengerti bahwa keputusanku ke Palestina semata alasannya ialah cintaku pada Sang Pencipta kita. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk agama kita. Itu salah satu impianku, Sayang. Meski impianku untuk menikahimu mungkin tidak akan tercapai alasannya ialah kau sudah memutuskan relasi kita, namun saya akan selalu mencintaimu, Lyra.

Kekasihku, berjanjilah padaku bahwa kau akan baik-baik saja. Berjanjilah padaku bahwa kau akan selalu berbahagia ibarat lima tahun kebersamaan kita. Kamu bisa,’kan?"

Mantan kekasihmu,

(Arion Akzha)

“Sayang, surat darimu sudah kuterima dan kubaca. Maafkan keegoisan dan ucapanku yang dulu. Hanya kamu, Arion! Kamulah yang paling mengerti aku. Kamu mau memaafkanku, bukan?”

Arion diam. Mulai dikala ini Arion tidak bisa lagi menjawab setiap perkataanku.

“Terima kasih atas cintamu selama ini. Terima kasih untuk setiap kebahagiaan yang telah kauhadirkan untukku. Sekarang saya yakin kau baik-baik saja. Aku juga akan baik-baik saja. Aku sudah berdamai dengan hatiku. Demi kamu, Sayang. Demi cinta kita. Selamat tinggal.”

Kuhapus airmata di pipiku. Kuusap lembut sebuah nisan yang terukir nama Arion Akzha. Di sini. Di sebuah pemakaman, daerah Arion melepaskan semua rasa sakitnya.

Profil Penulis:
Nama Penulis: Murni Oktarina
Kota: Palembang
FB: Murni Du Di Dam
Twitter: @Murni_dudidam
IG: @murni,dudidam

Previous
Next Post »