C.I.N.T.A
Karya Ariska Nurvinahari
Cerita Indah Namun Tak Abadi. Itu menurut kebanyakan orang, menurut gw cinta yaitu anugerah dari Yang Mahakuasa yang Maha Esa yang sangat-sangat mengagumkan dan mengagumkan. Memang tidak semua cinta akan berakhir mengagumkan ada pula yang berakhir tragis hingga menelan beberapa korban. Itu juga alasannya banyak faktor, bukan orangnya yang salah atau waktu bahkan cinta, hanya saja alasannya jalannya ibarat itu.
***
Itu menurut gue, dan begitulah dongeng cinta gw semenjak SMA.
Waktu itu yah, cinta pertama yang gue rasakan setelah masuk dingklik SMA. Gw sekolah di SMA di tempat Jakarta Selatan, gue Namara Echa Diputra anak pertama dari keluarga Diputra. Waktu itu gw memasuki SMA yang terkenal sangat-sangat kejam dalam Masa Orientasi Siswanya, gw sih cuek-cuek aja alasannya kebetulan OSIS angkatan tahun itu baik-baik jadi MOS nya nggak terlalu kejam.
Pertemuan pertama waktu itu yaitu alasannya gue yang mendadak sesak nafas, sehingga gue harus di bawa ke UKS untuk perlindungan pertama. Di tempat itulah gue mengenal seorang laki-laki yang berjulukan Dimas, lebih tepatnya ia yaitu kakak kelas gw. Dia terlihat biasa saja, tapi ketika ia tersenyum di situlah terlihat bahwa ia berbeda dengan laki-laki yang lain, senyumannya yang terlihat tulus. Dia baik, naluri kekakak-kakakannya selalu menyelimuti ketika ia merawat para korban-korbannya.
Banyak yang bilang bahwa kak Dimas ini yang menjadi kakak kelas populer setelah kak Anggara anak kelas 3 IPA. Karena gue juga penasaran makanya gue bergabung di ekskul PMR itu, dan setiap kali pertemuan gue selalu melihatnya tersenyum kepada adik-adik barunya. Hanya alasannya ketidak sengajaan waktu itu, membuat gw dan kak Dimas dekat dan hingga kesudahannya ia berkata bahwa ia menaruh hati ke gw.
Perasaan gue ketika itu sama dengan kak Dimas, dan kesudahannya kita menjalin sebuah relasi layaknya berakal balig cukup akal SMA, yaitu pacaran.
Namun sepertinya keputusan itu salah, dibulan pertama kita baik-baik aja, dibulan kedua kita mulai tambah mesra dan sempurna dibulan ketiga yang katanya disinilah ada ujian besar relasi kita mulai menjauh. Faktornya sih alasannya komunikasi yang kurang, kadang ia yang sibuk hingga malam dan gw yang udah ketiduran, atau sekedar alasannya banyak peran hingga nggak mampu ketemuan.
Di tamat bulan ketiga kami mengakhiri relasi itu. Bukan gue yang memutuskan untuk mengakhiri tapi dia. Alasannya alasannya mungkin memang bukan gue yang selama ini ia cari, dan alasannya ia udah mau naik ke kelas 3 ia mau fokus untuk sekolah lebih dahulu. Gw dukung keputusan itu, bukannya gw juga nggak nyaman lagi sama ia tapi alasannya gue nggak tahu harus bagaimana lagi. Dia yang mengawali ia juga yang mengakhiri, sedikit ingin berontak tapi tak ada waktu lagi.
Untung saja disela-sela kesepian gue waktu itu gue masih punya temen-temen yang baik hati. Ada Cecil, Cindi, ada Hayu dan masih banyak lagi. Waktu-waktu itu sih gue masih mencoba tulus bila memang dengan alasan itu relasi kami berakhir, tapi ternyata ada fakta yang lebih mengejutkan. Selang 2 ahad setelah relasi kami berakhir, salah satu temen gue melihat bahwa kak Dimas udah menggandeng perempuan lain. Melakukan hal yang bisasanya dilakukan ke gue, yaitu mengajak makan siang bareng di kantin. Kesal, kecewa, merasa terbelakang itu pasti, tapi kata Cindi, “semua hal yang telah lewat jangan hingga kau sesali lagi,” yang kesudahannya membuat gw menjadi ikhlas.
***
Benar saja setelah 2 bulan kemudian gue mampu lupa. Gw yang pada kesudahannya memutuskan keluar dari ekskul PMR dan memilih untuk menjauhi segala sesuatu ihwal ia berhasil mendapat predikat lulus MOVE ON. Sampai kesudahannya saat-saat kenaikan kelas. Gw berhasil naik kelas dengan nilai yang cukuplah, dan ibarat sopan santun istiadat sekolah ini, sebelum libur 2 ahad kita harus melaksanakan kerja bakti masal. Kali ini, wali kelas gue membagi kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 3 orang dan sudah mendapat wilayah sendiri.
Gw mendapat kelompok dengan Dika dan Desti. Wilayah yang kita dapatkan juga tidak terlalu luas jadi ditinggal ngobrol pun tetep selesai. Gw masih ingat waktu itu kami bertiga menggunjing ihwal guru matematika yang galak dan modis banget. Bahkan waktu kerja bakti itu kami anak kelas 1 IPA 2 dimaki-maki, hingga kesudahannya wali kelas kita yang turun tangan. Entah guru itu menggunakan jimat apa, setelah beberapa menit menggunjingkan guru itu, kami mendapat karmanya. Emmm...ralat bukan kami tapi Dika yang mendapat karmanya. Tangannya kemasukan duri tumbuhan putri aib hingga berdarah. Gw dan Desti hanya menertawakan ketika ia mencoba mengeluh kepada gw.
Dan ketika itulah gue mulai bersahabat dengannya, yah dengan Dika. Jauh-jauh waktu gue memang telah mengenal dia. Waktu MOS gue memang sempat mengagumi dia, alasannya ia terlihat beda. Di kelas gue laki-laki paling pendek ya dia, tinggi badannya sekitar pas 170, memiliki pipi yang cabi, dan tahi lalat di dekat bibirnya. Dia sedikit unik, terlihat pendiam dan jaga jarak dengan perempuan (pada waktu itu).
Jujur selama kelas 1 gue nggak mampu bersahabat dengan dia, hanya sebatas ngobrol hal penting dan tersenyum ketika bertemu. Kalau bercanda gue nggak pernah bareng sama dia, tapi ketika gue melucu kadang ia ikut tertawa. Dan bunyi tawanya itu yang membuat gw ikut ketawa.
Sebelum kesudahannya gue memutuskan untuk pacaran dengan kak Dimas, rahasia gue juga mengamati Dika. Hanya sebatas mengamati bagaimana Dika yang sebenarnya. Tapi waktu itu gue hanya sebatas tahu ihwal sifat kecilnya dan kesudahannya gw memilih berhenti.
Liburan semester yang membuat gue jadi jarang bertemu dengan temen-temen yang lain. Dan selama 2 ahad itu pula gue menjadi gelisah alasannya memikirkan Dika. Entah kenapa ketika itu gue mendadak terus memikirkan Dika, bahkan balasan itu belum gw temuin hingga sekarang. Apalagi waktu itu Dika juga sering menghubungi menanyakan peran liburan yang diberikan oleh tiap guru mapel. Kadang di sela-sela membahas peran kita juga saling bercanda.
Akhirnya gue memutuskan untuk menghubungi si Cindi dan menceritakan semua unek-unek yang gue rasakan, dan tak ku sangka ternyata tidak hanya gue yang mengagumi sahabat sekelas, tapi si Cindi dan Cecil juga mengagumi temen sekelas.
Hari itu menjadi hari kejujuran diantara kami bertiga. Gw, Cecil, dan Cindi saling bercerita ihwal perasaan kami masing-masing. Liburan 2 ahad jadi terasa sangat sebentar, apalagi tiap harinya diwarnai dengan tawa semunya Dika. Dan kesudahannya semua pelajar harus kembali lagi bersahabat dengan pelajaran baru. Sebelum guegue masuk, gue sempat berfikir mulut apa yang akan gue perlihatkan ketika bertemu dika nantinya. Dan sewaktu gue berpapasan dengan ia hanya lirikan yang ada, gue sendiri hanya sedikit senyum hirau seolah-olah tidak memperdulikan mulut yang ia tunjukkan. Tapi dalam hati gue bener-bener gedek juga, nggak kayak di sms yang selalu ia kirim tiap malamnya.
Hanya saja sewaktu pengumpulan tugas, gue sama ia maju bersamaan dan ia berbisik, “kelihatan beda,” gue yang mendengar perkataan itu hanya menatapnya heran. Lalu terdengar bisikan yang kali ini lebih terdengar jelas, “jadi kelihatan lucu,” dilanjutkan dengan ia mundur kembali ke tempat duduknya. Gw yang mendengar hal itu hanya mampu tersenyum dan rahasia tambah senang.
Hari-hari di kelas 2 jadi tambah asyik, tapi tiba-tiba gw mendapat perlakuan yang berbeda lagi setelah ada kabar bahwa Dika dikabarkan dekat dengan Anisa anak 2 IPS 2. Gw yang waktu itu sedikit jengkel hingga menonjok meja hingga membuat tangan gw berhasil lebam full version. Dan malamnya Dika menghubungi gue lagi, kali ini nggak cukup sms tapi telfon.
“Halo,” sapaku mengawali percakapan dengan nada sedikit kesal
“Yang nonjok meja kelas tadi loe kan?” tanyanya tanpa membalas sapaan layaknya menelpon
“Hhemm,” jawabku dengan tambah kesal
“Terus keadaan tangan loe gimana?” tanyanya sekali lagi. Tapi belum sempat gue jawab nada panggilan terputus terdengar mendahului, membuat gue kembali meletakkan ponsel disamping tempat gw tidur.
***
C.I.N.T.A Karya Ariska Nurvinahari |
Yahh seingat gw itu terakhir telfon dari dia. Setelah itu pun ia jadi jarang menghubungi gue, dan rumornya ia lebih sering bekerjasama dengan Anisa anak 2 IPS 2 itu. Gw yang harus kembali bersabar menjadi malas untuk bersabar lagi. Bahkan keakraban yang biasanya terjadi diantara kami sekarang berganti menjadi kekosongan hingga kami kelas 3.
Yahh memang cukup lama kami menjadi terlihat ibarat orang asing. Tapi sebelum hari kelulusan ketua kelas gue membuat program khusus untuk kelas 3 IPA 1, yaitu program jujur-jujuran. Seperti permainan yang ada di salah satu Drama korea. Waktu itu giliran Dika yang berhak memutar botol yang kita gunakan sebagai penunjuk dan ujung botol itu berakhir dengan menunjuk ke arahku. Gw menatap Dika yang kebetulan juga ada di depan gue, dengan sedikit raut wajah kecewa kenapa harus gw yang kena.
Dia kesudahannya menunjukkan 1 buah pertanyaan,
“Gw pengen tahu, apakah loe pernah jatuh cinta sama temen sekelas loe selama di SMA ini? Dan bila pernah siapa orang itu?” pertannyaan Dika yang berhasil membuat gue membisu mematung. Gw seketika buyar resah dengan balasan yang akan gw berikan ke dia.
“Di jawab jujur,” sela Bagus si ketua yang tersenyum lebar menanti balasan dari gue. Sama ibarat kawan yang lain, bahkan sewaktu itu semua mata menjadi tertuju ke gue.
Gw memutuskan untuk menjawab jujur, tapi gw nggak berani untuk menatap si pemberi pertanyaan itu. Gw memejamkan mata dan menegakkan tubuh gue, “gue pernah jatuh cinta....dan orang yang gw sukai adalah....loe, Dika Mahaputra,” kataku yang kemudian gw membuka mata menatap lurus Dika yang ada di hadapan gw.
Waktu itu Dika juga pas menatap gw dengan raut kaget tidak percaya. Begitu juga yang lain. Gw yang jadi merasa terbelakang telah mengakui hal itu, gue sendiri resah juga bagaimana menghilangkan rasa kaget yang dirasakan anak-anak.
“Ehemm, jadi udah tertangkap tangan kan, gw mohon respon dari loe Dik,” kata Bagus yang mencairkan suasana tegang. Gw sedikit lega alasannya Bagus tahu posisi gw.
“Ufftt...gw minta maaf alasannya nggak mampu balas perasaan itu.” Katanya singkat dengan mendudukkan wajahnya. Dan kesudahannya bagus melanjutkan program selanjutnya, dan setelah itu riuh tawa mulai terdengar lagi.
***
Terlihat sangat-sangat konyol waktu itu, gw hanya mampu meruntuki diri sendiri alasannya memilih jujur. Setelah lulus gue meneruskan kuliah di luar, dengan alasan ingin tambah pengalaman dan untuk move on lagi. Gw nggak tahu keadaan temen gw yang lain. Yang terang kabar terakhir yang gw dengar semuanya masuk kuliah.
Dan beginilah gw pada akhirnya, hingga sekarang gw masih belum mampu lupa soal masa lalu gue. Bukan berarti gue gagal move on hanya saja itu peristiwa besar bagi gue selama di SMA. Kali ini gue hanya tersenyum bersama hilangnya matahari di peraduannya, mengingat-ingat lagi kejadian waktu SMA yang sekali lagi membuat gw tersenyum geli.
Gw melihat kontak di ponsel lama gw, dan ternyata nama Dika masih tersimpan di situ. Gw mencoba menghubunginya, dan beberapa ketika kemudian tersambung.
“Hallo,” sapanya dengan nada bunyi yang masih sama. Gw tersenyum ketika mampu mendengar suaranya kembali. Seakan-akan gue kembali ke masa-masa SMA gue dulu.
“Hai, apa kabar?” tanyaku dengan nada yang terlihat habis tertawa
“Yahh, baiklah.” Jawabnya singkat tapi dengan nada yang telihat lepas.
“Kuliah dimana sekarang?” tanya gw sekali lagi.
“Di UI, gw milih yang lokal-lokal aja. Biar tambah kentel sifat lokalnya,” jawabnya yang membuat tambah mencair suasana mengobrol sore ini.
“Yahh, oke dehh!” balasku dengan singkat alasannya resah menjawab apa.
“Udah 24 tahun ya kita,” katanya mengisi sesi diam.
“Iya, udah dapet pacar berapa?” tanyaku meledek
“Emmmm, yang nggak serius banyak tapi kesudahannya udah dapet sekarang. Bentar lagi gue nikah Cha,” jawabnya dengan nada bahagia. Gw yang mendengar sedikit kaget dan kecewa.
Karena gw tak menjawab apapun, kesudahannya ia kembali mencairkan suasana.
“Kok diem sih? Mana ucapan selamatnya? Yang lain gw kabarin ada ucapan selamatnya loh,” runtuknya
“Eh, iya selamat ya....” kata gw
“Tenang aja Cha, jangan kecewa. Tapi bener deh gw jadi pengen ketemu sama loe, ngobrol langsung.” Katanya, belum sempat gue menjawab nada terputus mendahului lagi dan mengakhiri obrolan sore ini.
Gw memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran gue. Membawa segala ilmu gres yang gue dapat di luar negeri. Sepulang gue ke Jakarta Selatan, ternyata banyak dongeng yang tak tersampaikan ke gue, termasuk ajakan dari Dika yang akan menikah Minggu besok. Tuhan...rasanya gw pengen banget eksklusif ketemu sama dia. Tak lama kemudian dering ponsel menunda berita-berita yang gres diceritakan Mama. Berharap itu pesan dari Dika, dan ternyata benar saja Dika yang mengirim pesan ke ponselku. Mengatakan bahwa ia mau berkunjung ke rumah gw hari ini. Tentu saja gw mempersilakan ia untuk datang.
Sekitar pukul 07:00 malam, dika hingga di rumah gue. Dia sendirian yang kemudian tanpa basa-basi meminta izin ke Mama untuk mngajak gue keluar sebentar. Gw yang tak sempat berkata hanya membisu dan pasrah.
Di perjalanan, Dika banyak dongeng ihwal kedekatannya dengan calon istrinya itu. Sesekali gw tertawa mendengar dongeng dari Dika. Setelah lama kita bercerita, kesudahannya kendaraan beroda empat yang dikendarai kami berdua berhenti sempurna di depan sekolah kami dulu. Ternyata ada program reuni kali ini, hanya saja bukan tahun angkatan kami, melainkan setelah kami.
Dika mengajak gue ke tempat yang biasanya menjadi tempat favorit anak IPA 1 kumpul.
“Loe inget nggak, sebelum kita semua pisahan kita main jujur-jujuran, waktu itu...” kata Dika yang sekarang terlihat berubah suasana. Dia menatap ke sudut jauh arah keramaian. Terdengar pulas sayup-sayup lagu milik Sheila On 7-Anugerah Terindah Yang Pernah Ku Miliki.
“Heem, gue ingat terang kejadian itu.” Jawabku
“Sekarang gue mau ngulang itu sama loe,” katanya yang sekarang berbalik menatap gue dengan senyuman dan gue hanya membisu terheran-heran.
“Tapi...bedanya gue nggak perlu pertannyaan. Gw mau eksklusif jujur aja sama loe,” lanjutnya.
“Jujur, gue pernah suka sama loe Cha. Loe inget nggak waktu liburan semester kelas 1? Gw sering sms-in loe, hubungin loe dan segala hal yang gue lakukan itu alasannya gue ada rasa sama loe. Sayangnya gue mudah ingkar, ketika gw lihat Anisa gw jadi berbalik arah ke Anisa. Tapi pada kesudahannya gw juga yang kecewa....” sejenak ia terdiam, gw sendiri resah mau menjawab gimana.
“Ada pikiran untuk kembali ke loe lagi, tapi rasanya gueseperti laki-laki yang pecundang. Makanya gue memilih menjauhi loe hingga kesudahannya kita lulus. Menurut loe keputusan gw salah nggak?” tanyanya mengakhiri segala kejujurannya.
“He...he....gue nggak tahu pasti. Tapi gue rasa untuk ketika ini loe bener,” jawab gw dengan mengacungkan jempol. Terlihat dikegelapan bahwa ia tersenyum mendengar balasan dari gue.
“Sekarang gue udah di dunia gres yang lain Cha, gue udah mau nikah,” ujarnya
“Hem, yahh gue tahu itu. Selamat ya ,” balasku
“Tapi bukan itu yang gue mau dengar dari loe, alasannya bukan itu juga yang gw usikan ke loe.” Katanya dengan menatap gue lagi. Tapi tak lama kemudian ia menunuduk yang membuat gw menjadi teringat waktu ia memberi balasan ketika ditanya ihwal respon perasaan dari gw.
“Gw mau minta maaf ke loe, alasannya gara-gara gue tangan loe jadi lebam sewaktu nonjok meja. Gara-gara gue juga jadi nangis di pojokan UKS waktu senin sore, gara-gara gue juga loe jadi sering marah sama semua orang. Loe tahu kan cinta sulit untuk ditebak akhirnya, bila nggak selektif bisa-bisa kita menyesal. Dan gw pernah mencicipi itu Cha, yaitu ketika gw memilih berpaling dari loe, memilih seseorang yang tidak pasti. Tapi sekarang gw udah menemukan yang lain, dan gw yakin dengan pilihan gw kali ini. Gw minta do’a dari lo Cha, semoga gw bener.” Ujarnya panjang lebar.
“Is..is..is,,,...segitunya ya sampek kayak nerangin ilmu Biologi. Gw sih kalem Dika, gue nggak peduli lagi soal itu. Yah sih gue belum mampu sepenuhnya lupa tapi gue mampu menganggap loe sahabat sekarang. Dan gue juga udah maafin loe dari dulu, dilema do’a gw juga udah do’ain loe semoga langgeng sama calon istri loe sekarang. Dan dilema tangan lebam, gw nangis, gw marah-marah itu alasannya gw yang belum tahu cara mengontrol emosi makanya gw berkelakuan ibarat itu.” Terangku nggak kalah lebar.
Yahh obrolan panjang lebar itu yang membuat kita jadi bersahabat sekarang. Minggu 28 September 2014 Dika mengucapkan komitmen sucinya ke Fefe Andriansyah perempuan kelahiran Bandung yang menjadi sahabat kampusnya Dika. Waktu itu gw datang terlambat, bukan alasannya tidak mau melihat tapi jalanan untuk hingga ke gedung macet. Ketika gw hingga Dika telah selesai mengucapkan janjinya dan terlihat rona bahagia di wajah kedua sepasang suami istri itu.
Dari kejauhan gue mendapat lambaian tangan dari Cindi yang kemudian disusul dengan lambaian tangan temen-temen IPA 1 yang lainnya. Gw yang menahan rindu eksklusif mendatangi mereka. Dika yang melihat gue juga ikut tersenyum dan melambaikan tanganya.
Gw jadi tahu arti cinta yang sebetulnya menurut pengalaman gue, cinta itu memang nggak selalu bersama melainkan cukup berakhir dengan bahagia walaupun itu bukan dengan kita. Memang terdengar menyakitkan, tapi apabila dipikir kembali sudah tak dapat dimiliki tak dekat pula, masih mending nggak mampu dimiliki tapi masih mampu dekat, bersahabat bukan?
Dan bukannya Yang Mahakuasa telah menggariskan segala ihwal rizki, jodoh dan mati? Kaprikornus kita semua pasti akan menerima yang terbaik untuk diri kita sendiri. Dan ingat terkadang segala hal yang kita inginkan belum tentu itu yang kita butuhkan, jangan terlalu mengharapkan sesuatu dengan berlebihan alasannya hal itulah yang nantinya membuat kita semakin tidak terang kedepannya.
Profil Penulis:
Ariska Nurvinahari
SMK N 2 Pengasih
Pelajar
Islam
Facebook : Ariska Nurvinahari