TUHAN, TULIKAN AKU
Karya Al Dina
Prang....
Piring pecah itu menjadi awal dari ceritaku. Cerita yang paling banyak ingin di dengar orang. Kata sahabat seusiaku, dongeng yang kubawa selalu menyenangkan, memancing imajinasi mereka berkeliaran mengitari rambut lusuh mereka. Aku tidak tau apa yang membuat mereka tertarik akan ceritaku yang cukup menyedihkan. Tapi mereka senang, jadi mau tidak mau saya dongeng juga. Lagipula dengan begitu banyak dari teman-temanku yang akan datang mengerubungi tubuh sedikit gembulku ini. Tak jarang juga saya sering menampakkan senyum puasku pada mereka, dikala mereka datang menyerupai memperebutkan jatah sembako dari Pemerintah. Aku tidak peduli jikalau harus dipanggil wali kelas sebab terlalu sering menceritakan hal-hal yang menurutnya ialah rahasia. Tak jarang juga wali kelasku akan memperlihatkan siraman kalbu dengan bahasa dan istilah-istilah asing yang terngiang-ngiang ditelingaku, membuatku tidur larut malam sebab harus memutar otak untuk mengerti akan arti dari istilah-istilah itu.
Aku ini hanyalah gadis miskin dengan nama Suprihatin. Bahkan saya gres mengenyam pendidikan selama 2 tahun sebagai siswa di sebuah sekolah tua di Kabupaten Poso. Memangnya apa yang saya mengerti tentang...pripate ? bukan bukan, Privati mungkin ? atau Privacy ? Ah...pokoknya itulah. Aku juga tidak mengerti itu.
“Pagi itu, dikala saya akan berangkat ke sekolah. Aku melihat ayah memukul punggung ibuku. Dia bilang begini pada ibuku ‘ DASAR WANITA SIALAN ! KAU INGIN MEMBUNUHKU DENGAN KOPI PANAS ITU HUH ?!’ ayah sangat marah dikala itu.” Ucapku menirukan gerak-gerik ayah yang memaki-maki ibu.
“Lalu ? Ibumu melawan atau bagaimana ? atau hanya membisu saja ?,”
“Tentu saja ibuku melawan. Ibuku kan sangat kuat. Lalu ibu menjawab begini ‘KEPARAT KAU ! MEMANGNYA KOPI MANA YANG BARU JADI LANGSUNG BERUBAH DINGIN ?’ begitu jawab ibuku. Ibuku sangat berani kan ?.” ucapku dengan gembira dihadapan teman-temanku.
“Bagaimana ibumu mampu seberani itu ?,” balas salah satu temanku yang sangat terkesan dengan keberanian ibu.
“Aku juga tidak tau. Mungkin itu sebab punggung ibu sakit lantaran dipukul ayah, jadi dia tidak terima.”
“Hahaha...Punggung ibumu pasti pribadi kena encok ya ?,”
“Hahaha..kau ini lucu sekali. Mungkin saja iya.” Balasku ikut tertawa.
“Terus apa lagi yang ibu dan ayahmu lakukan setelah itu ?,”
“Tentu saja ayahku tidak terima, dan pribadi menggampar pipi ibu. Saat itu saya lihat ibu hampir saja menangis,” untuk yang kali ini saya sedikit merasa sedih juga.
“Ibumu pasti merasa kesakitan.” Sahut Jojon salah satu temanku.
“Lalu setelah itu bagaimana ?,”
“Aku tidak tau, sebab ibu pribadi menyuruhku berangkat sekolah dan mengantarku menggunakan sepeda buntut.” Jawabku.
Cerita menyerupai itulah yang sering saya hidangkan kepada teman-teman satu kelasku. Entah mengapa saya bersemangat sekali untuk menceritakan itu. Rasanya menyerupai ada beban yang kuhempas dengan tepat dilangit nan jauh sana. Tidak hanya teman-temanku saja yang menyukai cerita-ceritaku itu. Para tetangga gandeng rumahku juga tidak jauh berbeda, dan mereka akan tertawa hingga terpingkal-pingkal. Menurutnya ceritaku itu sangat lucu. Kalau sudah begitu saya hanya meringis saja dan berlalu pergi. Dan meskipun saya sudah tidak ditempat semula, mereka tetap saja merasa penasaran hingga meneriaki namaku dengan tawa mereka yang meledak-ledak. Terkadang disaat menyerupai itu, saya galau gotong royong apa yang mereka tertawakan. Tapi saya hanya membisu tak menaggapi mereka lagi. Pernah sekali saya berurai air mata dikala pulang, sebab saya merasa telah diejek salah satu tetangga.
“Hei nak ! Bapakmu itu sudah gila ya ? masa istri sendiri dihajar kayak rampok cuma kaarena uang 5000 rupiah ?!!! Hahaha...tapi ibumu itu juga sama saja. Perempuan JALANG !!,”
Aku sudah tidak asing lagi dengan permintaan semacam itu, sudah biasa. Kata-kata itu keluar dari verbal wanita yang sudah berbau tanah – Mak Juri –. Wanita itu memang sudah tua, tapi mulutnya itu selalu mengkremasi orang. Tentu saja saya sebagai anak gadis dari ibu yang dimaksud Mak Juri tadi hanya mampu menangis sebab tidak tau apa yang harus saya lakukan.
Sesampainya dirumah saya tidak akan punya nyali untuk mengadukan problem ini pada ayah, terutama ibu. Karena saya tidak mau ada kejadian beberapa hari lalu terulang kembali. Ya, dikala itu saya mendapat penghinaan dari Mak Juri. Katanya ibuku itu menjual dirinya untuk mendapatkan uang, belum jikalau malam suka diantar Om-Om tak dikenal pula. Bahkan katanya lagi, ia ragu bahwa saya ini anak ayahku – Junarko –. Aku pribadi menangis sekencang-kencangnya dan mengadu pada ayah ibu. Tapi ayah tidak merespon dan hanya berdiam diri sambil menyesap putung rokok yang tinggal separuhnya itu. Sedangkan ibuku tersulut api emosi dan pribadi menghampiri Mak Juri yang sedang bergosip bersama teman-temannya. Sambil membawa batang sapu, ibu melabrak Mak Juri dan berbalik menghina tidak peduli dengan tatapan absurd dari orang sekitar yang berlalu lalang. Ia tidak terima dikatai menyerupai itu meskipun kenyataannya memang.......iya. Ibuku wanita jalang yang sukanya membawa om-om pulang kerumah hingga larut malam.
Hari itu terjadilah pertengkaran jago antara ibuku dengan Mak Juri. Sampai-sampai banyak warga berbondong-bondong datang hanya untuk melihat. Sambil menangis saya menarik-narik daster ibu biar segera menghentikan pertengkaran itu dan mengajaknya pulang sebab saya sudah sangat malu dengan perbuatan ibu dan Mak Juri. Akhirnya dengan susah payah saya membujuk ibu mau pulang juga. Sesampainya dirumah saya pribadi melenggang kedalam kamar sambil menutup telingaku. Aku tidak ingin lagi...aku tidak mau mendengar mereka lagi. Sejak dikala itu saya berharap biar Yang Mahakuasa menulikan telingaku saja.
“WANITA PEMBAWA SIAL ! BISANYA MALU-MALUIN SAJA ! APA KATA TEMAN-TEMANKU HUH ??? DASAR BODOH !!.
Makian bapak menusuk-nusuk kulit telingaku hingga tembus ke ujung terdalam. Membuat mataku bereaksi dengan membanjiri kamarku dengan air mata. Telingaku jengah mendengar kat-kata itu. Setiap hari, setiap jam, hanya menyerupai itu yang ku dengar. Bukanlah keinginanku memiliki ibu seorang penjalang dan bukan impianku pula memiliki bapak penjudi dan hobi mabuk-mabukan.
Entah hukuman alam apa yang mengakibatkan hidup keluargaku menyerupai ini. Teriakan makian, umpatan bapak, verbal sampah ibu semakin membuatku yakin bahwa ini bukanlah keluarga yang sesungguhnya. Aku benci dengan semua ini, saya tidak mau hidup diantara teriakan memekakan telinga. Aku ingin berhenti mendengar hal-hal buruk yang tidak seharusnya saya dengar. Dan sayangnya saya baru berhenti menceritakan hal-hal menyerupai itu, ketika saya usia ini, usia SMP. Aku gres tau bahwa hal yang kuceritakan kepada banyak teman-temanku dikala itu ialah AIB keluarga yang tak seharusnya menguar dengan bebasnya ditelinga bocah-bocah udik itu.
Kini usiaku sudah menginjak 12 tahun, dan menyerupai kebanyakan bawah umur yang lain, saya melangkahkan kakiku menuju kelas pertama di hari pertama menjadi murid SMP. Aku tumbuh menjadi gadis dengan nama yang sama – Suprihatin –, dengan wajah yang sama, namun karakteristik yang sangat berbeda dari dikala saya SD dulu. Aku akan diam, tidak akan lagi bercerita mengenai ini itu. Aku akan berpura-pura tidak mendengar apapun yang dikatakan oleh orang-orang disekitarku. Biarpun mereka mengatakan saya tulipun tidak apa. Justru saya malah senang dengan julukan yang menyerupai itu. Ya, semenjak dikala itu saya jadi dipanggil si tuli. Tidak lagi saya tanggapi pertanyaan-pertanyaan dari tetangga wacana apa-apa dalam keluargaku. Anggap saja saya tuli ! saya memang ingin tuli !
“Karena ini ialah hari pertama bersekolah, jadi Ibu harap besok kalian mampu mengajak orang tua kalian ke sekolah, sebab akan ada beberapa hal yang akan disampaikan oleh Kepala Sekolah berkenaan dengan Administrasi yang belum terselesaikan.” Ucap Bu Gita, Wali Kelasku di kelas 7E ini.
“Bu, saya sudah tidak punya orang tua. Apa saya boleh mengajak nenekku saja ?,” Tanya Sasongko, satu-satunya yatim piatu di kelasku. Miris saya melihat dia, apalagi mendengar dongeng janjkematian kedua orang tuanya. Kasmin, Bapaknya itu dengan tega membunuh istrinya sendiri lantaran emosi, minta uang tapi tak diberi. Beberapa hari setelah janjkematian ibunya, Bapak Sasongko ditemukan mati dikolong kawasan tidur dengan darah yang keluar dari urat tangannya. Ia bunuh diri. Depresi mungkin sebab hukuman yang akan diterimanya di penjara nanti.
Tuhan, Tulikan Aku Karya Al Dina |
Disaat menyerupai ini saya merasa sedikit untung. Karena paling tidak Bapakku tidak membunuh ibu. Seperti yang dilakukan Kasmin. Iba juga saya melihat anak itu, belum lagi kini ia tinggal hanya dengan neneknya yang sudah berkepala enam. Ingin saya mengajaknya tinggal dirumah, mengingat saya memanglah anak semata wayang. Tapi saya ragu, karena.........tak usah lah kusebutkan alasannya.
“Boleh-boleh saja.”
Senyum Bu Gita diperlihatkan semanis mungkin dan menyembunyikan kemirisan sebisa mungkin dibalik kemanisannya. Sasongko menahan air matanya biar tidak jatuh dari persinggahannya. Aku tau itu. Terima kasih sudah mengingatkannya wacana kejadian tragisnya itu, Bu.
“Ada problem tin ?,” pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat buyar semua lamunanku.
“Iya Bu. Kedua orang tuaku pergi merantau, jadi bolehkan jikalau saya datang bersama seorang wali ?,” jawabku dengan kebohongan fakta yang saya karang-karang sendiri.
“Tidak masalah, yang penting dia mampu kau percaya.”
Keesokan harinya saya datang sendiri, tentu saja. Memangnya siapa yang mau menjadi waliku ? tidak ada. Aku sudah berfikir wacana alasan apa yang akan saya ejekan untuk Bu Gita.
“Maaf bu, waliku berhalangan datang, sebab tiba-tiba saja anaknya yang berada di Surabaya sakit keras, jadi dia haru pergi ke Surabaya.” Jawabku sekenanya saja.
“Baiklah, jikalau begitu ibu yang akan menjadi walimu.”
“Tapi bu.....”
“Bukan apa-apa, ibu tidak mau kau jadi satu-satunya murid ibu yang tidak punya wali.” Sergahnya dikala saya hendak melanjutkan kalimat.
“Baiklah jikalau begitu.” Dengan berat hati saya mendapatkan kenyataannya saja.
Seminggu setelah pertemuan para orang tua itu, ibuku pribadi melunasi semua kebutuhan pembayaran sekolah. Harusnya senang, tapi sepertinya itu tidak berlaku bagiku. Hal yang paling berlaku di dunia ini hanyalah bagaimana cara biar orang tuaku mampu menyerupai orang tua yang lain.
Sore itu saya hendak pergi ke warnet, tapi belum hingga sepedaku keluar dari pekarangan, saya mendengar bunyi menyerupai beling semacam piring atau gelas yang pecah. Prangg....Prangg.....Prangg..... gotong royong itu sudah biasa. Tapi kali ini yang luar biasa adalah.....
“BUNUH SAJA AKU ! BUNUH !!!,”
Teriakan ibu yang menyerupai itu ialah yang pertama kali saya dengar dari mulutnya.
“Kau mau mati ?!!! Lalu bagaimana dengan anakmu itu ? saya tidak akan sudi merawat bocah yang bukan keturunanku !!!,”
Degg....
Seketika badanku terkoyak. Angin rasanya tak lagi angin. Itu api ! api iblis yang mengkremasi hati dan pikiranku. Aku sudah tidak tau lagi, mengapa telingaku ini harus mendengar hal itu. Harusnya mati saja pendengaranku. Harusnya saya segera enyah dari kawasan itu sedari tadi. Tapi kakiku kaku, tanganku lemas, sepedaku tidak lagi mampu berdiri. Bagaimana menurutmu ?
Kata ‘ yang bukan keturunanku ‘ mengiang sangat terang menyerupai lebah yang mau menyerbu madu. Tapi sayangnya saya pahit. Madu yang pahit. Tanpa kusadari saya benar-benar tidak mendengar apa yang bersuara setelah kata-kata tadi dengan kerennya terlontar dari verbal seorang ayah. AYAH. AYAHKU. Walau ia biadab ! walau ia bangsat brengsek ! walau banyak yang mengharapkan ia sekarat ! tapi saya anaknya, dia ayahku. Dia ayahku. Dia tetaplah orang yang harus saya doakan pusaranya. Tuhan.....mengapa Kau memberiku kuping yang tepat ?? mengapa kau mengilhamiku pendengaran yang sangat tajam ?? mengapa ?? jikalau semenjak lahir pendengaran sempurnaku ini hanya untuk mendengar kebiadaban orang tuaku sendiri dan cemoohan dari para tetangga.
Dengan langkah seribu saya membuang jari-jari kakiku melewati pintu rumah. Aku masuk ke dalam hendak meminta penjelasan, menuntut kepastian. Tapi saya lihat bekas telapak tangan seseorang di dinding dapur. Warnanya....warnanya merah darah. Anyir. Aku tau itu gres beberapa menit yang lalu. Segera saya mencari tau apa yang terjadi. Aku pergi ke kamar ibu setelah mendengar isakan yang membuat jantungku berdebar. Keringatku sudah serupa kedelai basah. Tapi tanpa ragu saya mendorong garang pintu rumah ibu, disaat yang bersamaan saya melihat ayah bersimpuh dihadapan ibu. Aku pribadi menjatuhkan diri setelah telapak tanganku menyenggol bahu ayah, gerakan kecil itu membuatnya pribadi tersungkur. Bersimbah darah. Kepalanya bocor, perutnya robek. Aku takut, keadaan yang menyerupai ini ada dihadapanku. Telingaku dengan terang mendengar ibu yang tertawa puas sambil menyisiri rambutnya dan menggumamkan beberapa hal.
“Akkhirnya suamiku mati...hahahahha !! laki-laki itu hanya membuat saya dan anakku menderita saja...kkkkkk ! sini nak..sini...kemarilah tidak apa-apa ! sekarang kita akan hidup bahagia berdua.” Ibu berbicara sambil berjalan mendekat kearahku. Aku mengumpulkan kekuatan untuk berdiri. Aku pribadi berlari, berlari sejauh yang saya bisa. Tak ku hiraukan teriakan warga yang bertanya-tanya wacana apa yang gotong royong terjadi. Tapi tetap saya memilih lari dan saya tak akan, tak ingin untuk kembali.
Tanpa kusadari saya berhenti di tengah-tengah jalan. Dari kiri dengan terang kudengar bunyi terompet truk menggema hingga ke ujung jalan. Menghampiriku dan menghempaskanku jauh menatap trotoar jalan. Tepat ditelinga kananku, darah itu mengalir. Aku sudah tuli. Terima kasih untuk Tuhan. Dikabulkan sudah keinginanku untuk tuli.
Setahun setelah kejadian paling mengerikan dalam hidupku itu, kini aku. Masih dengan Suprihatin. Hidup melihat kebahagiaan dari senyum bawah umur yatim dan piatu di yayasan ini. Walau telingaku benar-benar tuli, tapi mataku mampu melihat, melihat dengan terang bagaimana mereka tetap tegar menjalani kehidupan tanpa orang tua. Mereka senang, mereka bermain, mereka belajar, dan segala hal wacana mereka itu hebat. Ibuku ? saya melihat gosip dari RCTI siang ini. ‘ seorang pasien rumah sakit jiwa yang berjulukan Rochana pagi ini ditemukan tewas di kolong ranjangnya setelah menegak sebotol racun tikus.’ Ya, ibuku tewas. Dia memilih mati daripada harus menjalani hidup yang menyerupai sampahnya itu. Aku tersenyum. Setidaknya ia tidak akan lagi menjalani hidupnya sebagai seorang pasien rumah sakit jiwa. Ibu...Ayah....Pusaramu tidak akan luput dari tiap doa-doaku. Bagaimanapun bentuk dan rupa kalian. Kalianlah yang telah membesarkanku.
Profil Penulis:
Nama saya Al Dina Yuliyana
Saya kelas XII Adm. Perkantoran 1
Saya bersekolah di SMK Negeri 2 Blora
Alamat facebook saya : Al Dimas Yulian Hirata