Aku, Kamu, Bukan Kita Karya Kurnia Ramadhani

AKU, KAMU, BUKAN KITA
Karya Kurnia Ramadhani

Saat itu, perasaan yang katanya hal lumrah dirasakan oleh setiap bakir balig cukup akal SMA menghampiri hatiku. Aku, Aisyiah Rahma Sari siswa SMA kelas 10 yang sedang mencicipi betapa hebatnya jatuh cinta. Memandang wajahnya menjadi hobi baruku kala itu, saya tak kunjung bosan berpatroli di sekitar kelasnya hanya untuk melihat kegiatan apa yang sedang ia lakukan. Aku jatuh cinta kepadanya. 

Vito Cristian Tarigan, cowok keturunan Batak yang tengah memenuhi setiap ruang di hatiku. Wajahnya tidak terbilang tampan, namun aura dalam dirinya yang bisa menarik hatiku. Entah semenjak kapan saya memperhatikannya, hingga teman-temanku hanya dapat menggelengkan kepala apabila saya menyampaikan betapa tergila-gilanya saya terhadap dirinya.

“Ai, beliau beda, kalian susah buat jadi satu.” Tegur Aulia, sahabat karibku ketika saya menceritakan perihal Vito, yang memang status agamanya beda denganku.
“So? Tuhan aja mempertemukan kita, ini takdir Aulia. Yang beda akan jadi satu,” tetapi tanggapan yang sama selalu terlontar dari bibirku ketika teman-temanku menegur bahwa perasaan yang kumiliki salah.

Hari berganti hari saya juga tak tahu dengan terang bagaimana prosesnya, tanpa disengaja saya bisa bersahabat dengan Vito. Dia ternyata lebih menakjubkan dari apa yang saya pikirkan, beliau pantang sekali melihat perempuan menangis.

“Walaupun katanya orang Batak itu kasar-kasar, tapi jujur aja hatiku teriris banget kalau lihat perempuan nangis. Mungkin saya ini orang Batak yang hatinya paling lembut se-Indonesia, hahaha,” katanya. Kata-kata itupun selalu terngiang dalam benakku, benar saja beliau tak pernah membuatku menangis. Bahkan, ketika beliau berbuat kesalahan padaku walaupun itu hanya kesalahan kecil, beliau akan mengucapkan beribu kata maaf. Kebiasaannya yang sangat takut membuat orang lain marah dan seringnya meminta maaf kerapkali saya jadikan sebagai materi candaan bersama teman-temanku.
“Aku mau kita lebih dari sobat Aisyah Rahma Sari.” Ucapan yang hampir membuat jantungku lompat dan menari-nari di udara. Ucapan yang paling saya tunggu-tunggu.
“Ih, namaku Aisyiah bukan Aisyah.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan supaya ekspresi gugupku tak terbaca olehnya.
“Beda ya? Maaf deh. Terus jawabannya apa?” lagi-lagi kata maaf.
“Kasih saya waktu 3 hari” saya sengaja meminta waktu untuk berpikir, supaya tak terlihat terlalu garang di matanya. Bisa jatuh harga diriku sebagai pelajar contoh di sekolah (memangnya apa hubungannya?). padahal saya ingin sekali pribadi menjawab “iya”.
“Tidak kelamaan? Baiklah akan saya tunggu.”

Sungguh panjang rasanya menunggu hari ketiga itu datang. Karena saya tak tabah menunggu, akibatnya keesokan harinya saya menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. Betapa bahagianya beliau sore itu sepulang sekolah. Awalnya teman-temanku tak habis pikir dengan tindakanku untuk berpacaran beda agama, tapi seiring berjalannya waktu mereka mendapatkan keputusanku. Orang tuaku sudah pasti tidak tahu, untuk berpacaran saja saya dilarang keras apalagi kalau mereka tahu saya berafiliasi dengan Vito yang latar belakangnya ialah pemeluk agama kristen.

Aku bahagia menjalin kasih dengan Vito, kekerabatan kami tak pernah diluar batas. Vito sangat menghargai saya sebagai pemeluk agama islam, bahkan beliau sering mengingatkanku untuk menunaikan sholat 5 waktu yang menjadi kewajiban untuk setiap orang muslim, sesekali beliau juga ingin mencicipi bagaimana rasanya berpuasa. Akupun sebaliknya, saya juga menghargai agama yang diyakininya.

“Ai, kok kau gak pakai jilbab sih kayak teman-teman perempuan muslim kita yang lain?” Vito menanyakan hal yang tidak kuduga, ketika kami sedang berguru bersama di perpustakaan.
“Memangnya kenapa? Aku jelek gitu kalau gak pakai jilbab?”
“Bukannya gitu, cuma kayaknya kalau pakai jilbab kau tambah cantik deh.”
“Gombal banget. Aku belum siap Vit.” Jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari buku-buku di depanku.
“Tapi katanya menutup aurat itu wajib untuk perempuan muslim. Kaprikornus semua perempuan muslim harus pakai dong, siap gak siap.” Aku merasa tertohok dengan kata-kata Vito kala itu.

Saat pulang sekolah saya diberitahukan oleh mamaku bahwa sehabis ujian kenaikan kelas, saya akan pindah ke pulau Sulawesi. Betapa terkejutnya aku, pikiranku pribadi tertuju pada Vito, bagaimana hubunganku kalau harus berada pada jarak yang jauh dengannya. Aku tak terima dengan keputusan orang tuaku itu, saya berlari keluar rumah mencari kawasan untuk melampiaskan kemarahanku. Aku duduk di dingklik taman sambil menutupi wajahku yang telah berlinang air mata, tanpa kusadari seseorang telah duduk sedari tadi di sampingku.

“Kamu nangis? Kenapa? Ayo dongeng sama aku.” Ternyata Vito.

Cukup lama saya berpikir, merangkai kata yang harus saya keluarkan.

“Aku mau pindah ke Sulawesi Vit.” Akupun membuka suara.

Terlihat ekspresi terkejut dari wajah Vito, beliau tak mengucapkan sepatah katapun. Hening, hanya desiran angin yang membelai lembut badan kami berdua. Setelah beberapa menit saling berdiam diri, Vitopun mengeluarkan suaranya.

“Aku antar pulang ya. Udah hampir gelap, kau mau sholat maghribkan?” beliau pribadi berdiri untuk menghampiri motornya tanpa menunggu respon dariku, akupun hanya mengikutinya dari belakang.

Sejak hari itu Vito ibarat menghindar dariku, beliau tak ingin berpapasan denganku. Apabila ia melihatku dari kejauhan, beliau akan berpindah kawasan untuk menghindariku. Aku datang ke kelasnya, teman-temannya selalu mengatakan beliau tidak ingin diganggu. Ujian kenaikan kelas sudah hampir selesai, itu artinya hari keberangkatanku ke Sulawesi akan semakin dekat. Aku galau bagaimana caranya mengucap salam perpisahan dengan Vito kalau beliau saja tak ingin bertemu denganku.

“Vito…. Jangan lari, saya capek.” Sepulang sekolah saya mengejarnya untuk bisa berbicara dengannya. Mendengar suaraku diapun menghentikan langkahnya. Aku maju beberapa langkah supaya bisa sejajar dengan tempatnya berdiri. Tapi beliau mencegahku.
“Cukup disitu, saya gak berpengaruh melihat wajahmu kalau kau cuma mau bilang pisah sama aku.” Aku menurutinya, saya berdiri sekitar 5 meter dibelakangnya.
“Hei, siapa yang mau pisah sama kamu? Aku cuma pindah kawasan tinggal Vito Cristian Tarigan, tapi hati saya tetap disini. Jangan jadi pengecut Vito, liat muka aku. Mungkin hari ini, hari terakhir saya disini. Pesawatku jam 8 nanti malam.” Tanpa terasa bulir bening telah membasahi pipiku.
“Aku pulang.” Hanya itu respon yang diberikan Vito.

Aku, Kamu, Bukan Kita Karya Kurnia Ramadhani

Pukul 19.00, Bandar Udara Achmad Yani, Semarang.

Udara masbodoh khas malam hari merasuki tubuhku, saya merapatkan jaketku sambil berjalan menuju ruang tunggu. Handphoneku bergetar mengagetkanku. Ternyata bbm dari Vito, buru-buru saya melihatnya.

“PING!!!”
“Aku di lobby, masih mau lihat wajah menjengkelkanku?”

Tanpa berpikir panjang, saya izin kepada orang tuaku, dan berlari ke area lobby bandara. Mataku mencari-cari sosok Vito.

“Hei cantik, saya pikir kau gak mau lihat saya lagi.”
“Jahat.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
“kamu juga jahat, tega-teganya kau ninggalin aku. Ini biar kau selalu ingat sama aku. Maaf ya gak sempat saya bungkus.” Ucap Vito sambil menyodorkan sebuah jilbab kepadaku.
“Jilbab?” saya mengerutkan kening.
“Pakai kalau kau udah siap.” Vito tersenyum.
“Siap bos. Aku juga punya sesuatu buat kamu. Nih, jam tangan.” Akupun memberi kotak jam tangan kepada Vito.
“Makasih. Kenapa jam tangan?” Tanya Vito kepadaku. 
“Aku mau kau selalu ingat kenangan manis kita dari jam itu, setiap detik yang pernah kita jalani sama-sama.” Aku berusaha untuk tersenyum.
“Aku mau jangan ada tangisan malam ini. Karena kita harus yakin, malam ini bukan pertemuan terakhir kita. Kita bakal ketemu lagi nanti, saya kesepakatan dan kau harus yakin sama aku.” Aku hanya menanggapi ucapan Vito dengan anggukan kepala.
“20 menit lagi jam 8, hati-hati ya. Aku tunggu hingga pesawat kau berangkat”

Aku dan Vitopun berpisah.

Aku menitikkan air mata ketika pesawat telah lepas landas dari Bandar Udara Achmad Yani, tapi segera kuseka air mataku ketika mengingat  perkataan Vito “kita pasti akan bertemu lagi”. Setelah mencicipi betapa penatnya duduk di kursi, burung besi yang kami tumpangipun mendarat di Bandar Udara Mutiara Sis Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah.

Awalnya kekerabatan jarak jauh yang kami jalani memang terasa manis, tapi lama kelamaan semuanya berubah. Kita tak punya banyak waktu untuk sekadar chatingan alasannya ialah terhalang kesibukan masing-masing. Disaat saya ada waktu luang Vito malah sibuk dengan organisasinya, ketika Vito punya waktu luang saya sibuk dengan kegiatan bimbelku.

“PING!!!” 
“Lgi ap?”

Vito memulai pembicaraan duluan.

“Nyatai aj. Dah lma loh Vit kita gk chatan gini.”
“Iya Ai. Sebenernya saya mau ngomong sesuatu.”
“Ap? Ngomong aj, kalem kali Vit.”
“Aku sadar skrang, kita emg beda Ai. Kita gk bisa nyatu. Terlalu bnyak rintangan dlm hubngan kita, jarak kita skrang bener2 jauh Ai.”
“Hm, terus?”
“Aku rasa kita hingga sni aj Ai. Aku yakin kau pasti juga capek buat terus sembunyiin kekerabatan kita dari orang renta kamu.”
“sampai sini aja Vit? Mana janji-janji manis kau Vit? Kalau cuma kayak gini, kmu gak perlu bawa saya terbang ke langit mengagumkan kamu, kalau akibatnya kau lepasin saya gitu aja hingga saya jatuh ke daratan dengan rasa sakit yang saya sndri gk tau gmana ngobatinnya.”
“Maaf Ai”
“Maaf? Aku bosen dengar kata maaf kau yang gk ad gunanya itu.”

Aku pribadi menonaktifkan handphoneku dan bersembunyi di balik tebalnya selimutku sambil menangis dalam diam. Aku tak menyangka bahwa Vito melaksanakan ini kepadaku. Yang membuatku semakin terpuruk ialah seminggu setelah kami putus hubungan, ternyata Vito pacaran dengan Crishye sobat sekelasku dulu. Pikiranku kacau, saya merasa ini tidak adil bagiku yang telah menanamkan rasa cinta di hatiku dan tumbuh dengan suburnya untuk Vito. Kenyataannya terlalu pahit bagiku. Beberapa hari bahkan bulan nilai-nilaiku turun drastis hanya alasannya ialah pikiranku terfokus dengan kekecewaanku terhadap Vito. Aku juga sempat mendapat teguran dari beberapa guru yang mengajar di kelasku alasannya ialah seringnya saya melamun. 

Namun, saya merasa harus bangkit. Aku mulai mencari kesibukan dengan menambah jadwal bimbelku, supaya dapat dengan mudah melupakannya. Pagi, siang, sore, malampun saya gunakan untuk membaca buku-buku yang sempat saya beli disela-sela sibuknya kegiatan bimbelku, sengaja saya membeli buku-buku yang berukuran tebal supaya waktuku tersita untuk menyelesaikan bacaanku. Alhasil, ketika pengumuman kelulusan saya menjadi 3 besar peraih nilai UN tertingi di sekolahku. Orang tuaku sangat bangga, dan saya berhasil masuk di universitas ternama di kota Makassar.

Di sinilah saya sekarang, Makassar. Aku memulai tahap hidupku selanjutnya sebagai mahasiswa jurusan psikolog. Aku memilih untuk tinggal di sebuah kosan sederhana bersahabat kampusku, daripada tinggal di rumah keluarga mamaku. Selain tidak ingin merepotkan, saya juga ingin berguru mandiri.

Saat saya ingin berangkat ke kampus, tak sengaja saya menemukan jilbab yang dulu diberikan Vito kepadaku. Aku mencobanya dan berpikir apakah memang lebih cantik memakai jilbab ibarat yang dikatakan Vito dulu? Aku tersenyum melihat pantulan wajahku dari cermin, saya jadi teringat Vito.

Sesampaiku di kampus, saya sibuk mencari kak Mirna, senior yang memang sangat bersahabat denganku. Setelah berkeliling tapi saya tak menemukan batang hidungnya, akupun mengirim pesan kepadanya untuk menemuiku di kantin. Aku rasa tidak sopan memang menyuruh senior untuk mendatangiku, tapi untuk kak Mirna itu tidak masalah.

“Assalamualaikum, kenapa ki’ dek? Kayak penting sekali yang kita mau bilang,” kak Mirna menghampiriku dengan logat kental makassarnya. Perempuan syar’I yang menjadi gudang tempatku bertanya.
“Walaikum salam kak, sekitar 3 tahun yang lalu toh mantanku kasih ini ke saya kak.” Sambil memperlihatkan jilbab yang diberikan Vito kepadaku. Semenjak sering bergaul dengan kak Mirna, saya jadi ikut-ikutan berlogat Makassar.
“Aih, nasuruh ki’ itu tutup aurat ta’ dek.”
“Begitukah kak?” 
“Iyalah, percaya moko sama saya. Lagipula cantik ki’ juga kalau pake hijab dek, gres bebas ki’ dari godaan laki-laki nakal.”
“Kristen itu mantanku kak.”
“Begini dek, pacaran itu tidak boleh dalam agama ta’ saya yakin kita tahu ji juga toh? Apalagi ini pacaran sama beda agama. Susah ki’ dek, kalau memang ada orang yang kita suka cintailah beliau dari doa dek. Tuhan paling suka orang  begitu. Tutup mi aurat ta’ dek, gres minta ampun ki’ sama Allah, kesepakatan tidak mau ki’ lagi buat kesalahan yang sama. Insya Tuhan belum terlambat ki’ untuk tobat dek. Pergi ka’ dulu nah ada jam kuliahku ini. Dadah.” Kak Mirna melambaikan tangan kepadaku. Aku merenungi kata-kata kak Mirna barusan, tanpa sadar bulir bening berhasil lolos dari pelupuk mataku mengingat seberapa banyak dosa yang telah kuperbuat.

Hari ini ibarat hari-hari sebelumnya saya berangkat kuliah pagi-pagi dan hingga di kampus dengan tujuan pertama ialah kantin. Namun, ada yang sedikit berbeda dariku hari ini, hari ini kepalaku ditutupi oleh kain cantik santunan Vito dengan pakaian longgar berwarna senada. Ya, saya memutuskan untuk memakai jilbab mulai sekarang. Aku sadar sedari dulu telah banyak aturan yang saya langgar, namun hari ini saya ingin menebus semuanya. Menjadi manusia yang patuh dan taat oleh ketetapan yang telah ditetapkan-Nya. Aku bukannya telah menjadi orang paling baik sekarang, tapi saya sedang dalam perjalanan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Terima kasih Vito, yang kau dan teman-temanku katakan memang benar. Kita beda, kita susah buat nyatu, tapi setidaknya kita bisa satu dalam ikatan pertemanan. Aku berharap suatu hari nanti kau dapat menemukan pasangan hidupmu yang tentunya lebih baik dari Aisyiah Rahma Sari ini yang memiliki setumpuk kekurangan.

Profil Penulis:
Nama: Kurnia Ramadhani
Sekolah: SMA Negeri 2 Palu
Facebook: Kurnia Ramadhani

No Urut: 3063
Tanggal: 28/10/2016 23:51:26

Previous
Next Post »