STAY
Karya Riska Munifa
Ranting kering mulai patah
Ketika langkah kaki ini terjatuh dalam luapan rasa
Hujan mulai membasahi
Ketika jarak mulai membatasi kita...
***
Osaka, 10 Oktober 2016. Hawa cuek mulai menghiasi suasana pagi ini. Meski mentari bersinar menyerupai biasanya, namun tetap tak mampu mengalahkan hawa cuek ini. Aku berjalan perlahan menuju ke sekolah. Semenjak kejadian itu saya tak lagi bertemu dengan mereka. Seakan semua sirna begitu cepat. Akankah saya lupa? Tentu saja tidak. Aku hanya sekedar melupa ihwal rasa takut ini. Ku rapatkan syalku dan ku hela napas panjang. Sesak rasanya mengingat semua yang dulunya erat kini terasa teramat jauh. Langkahku sudah memasuki halaman sekolah. Seperti halnya siswa lainnya, saya pun bergegas menuju ke kelas. Sungguh hari yang buruk menurutku.
Ku lihat sekeliling ketika memasuki kelas. Masih belum banyak yang datang rupanya. Ku letakkan syal dan sarung tanganku pada gantungan yang berada di belakang bangkuku. Lalu duduk dan memandang ke arah luar jendela. Dingin rasanya. Ku lihat para siswa lainnya mulai berdatangan. Tak terkecuali mereka. Dulu saya sering berangkat bersama mereka. Namun setelah keadaan berubah, saya lebih memilih untuk sendiri.
“Mata ne, Ryuu, Kaname...” Seru Ayane kepada mereka berdua alasannya yakni memang Ryuu dan Kaname satu kelas denganku sedangkan Ayane juga Hisashi berada di kelas sebelah.
“Ohayou Yuuki...” Sapa Kaname kepadaku.
Namun saya hanya membisu dan tak menunjukkan tanggapan apapun. Semua membeku menyerupai hawa cuek hari ini. Pelajaran pertama dimulai. Untuk beberapa ketika mungkin menyerupai ini jauh lebih baik. Tak terasa waktu istirahat tiba. Aku sendiri memilih duduk ditempatku sambil menikmati bekalku. Aku tak ingin beranjak. Aku ingin tetap disini dengan impian yang sama.
“Ahh Ryuu, Kaname. Mau ke kantin?” Tanya Ayane yang sudah datang menghampiri mereka.
“Kalian ke kantin saja. Aku membawa bekal hari ini.” Jawab Kaname.
“Baiklah...” Kata Ayane yang kemudian meninggalkan Kaname dan aku.
Setelah mereka pergi Kaname menghampiriku yang hanya membisu sambil menikmati bekal makan siangku. Mengambil dingklik lalu duduk di depanku.
“Boleh ikut bergabung kan?” Tanyanya.
Aku tetap saja diam.
“Anata wa daijoubu desu ka?” Tanya Kaname kepadaku.
“Daijoubu desu.” Jawabku tanpa memandang kearahnya.
Suasana menjadi kaku. Entah kenapa, kalau saya mampu berkata saya tak ingin semua ini terjadi. Aku ingin menyerupai yang dulu. Setelah menyelesaikan makan siangku, saya beranjak dari daerah dudukku untuk pergi ke toilet.
“Chotto matte Yuuki...” Teriak Kaname.
“Nani ga?” Tanyaku.
“Kamu marah kepada kami?” Tanya Kaname.
“Tidak.” Jawabku singkat.
“Lalu kenapa kau membisu kepada kami?” Tanyanya kembali.
“Aku tak tahu. Ku rasa menyerupai ini jauh lebih baik.” Jawabku lalu melangkah keluar kelas.
Aku berhenti di depan kelas dan ku hela napas panjang. Ku seka air mataku yang hampir saja menetes. Lalu ku lanjutkan langkah kakiku. Waktu perjalan dengan cepat, kini waktu pulang sekolah pun tiba. Ku kenakan syal juga sarung tanganku. Lagi-lagi saya pulang sendiri. Namun siapa yang peduli? Bukankah semua sudah berantakan? Aku masih melangkah hingga ketika hingga di depan pintu gerbang ku lihat Ryuu memandang ke arahku. Aku menghentikan langkahku. Melihatku berhenti, Ryuu menghampiriku. Dan kini beliau sempurna berada di depanku. Tanpa berpikir panjang tangan Ryuu eksklusif menggenggam tanganku lalu membawaku entah kemana. Aku masih membisu melihat sikap Ryuu. Aku tahu tentu Ryuu juga mencicipi apa yang lainnya rasakan.
Ryuu melepaskan genggamannya. Lalu berbalik dan mengarahkan pandangannya kepadaku. Sedangkan saya sendiri hanya tertunduk tak ingin memandangnya. Kenapa? Kenapa harus ketika menyerupai ini. Tiba-tiba Ryuu memelukku. Hangat rasanya ketika seorang sahabat mendekap erat tubuh ini. Tapi saya tak bisa. Aku tak mau terus egois. Ku lepaskan pelukannya dengan paksa. Lalu saya berbalik dan meninggalkannya. Namun tangan Ryuu menghentikan langkahku.
“Ada apa Yuuki?” Tanyanya. “Kenapa kau menjauh dari kami?” Lanjutnya.
“Ku mohon lepaskan tanganku. Untuk ketika ini menjauh lebih baik.” Jawabku.
Ryuu menarik tanganku dan membuatku memandang kearahnya dengan air mata yang belum sempat saya seka.
“Kenapa kau menangis kalau semua ini lebih baik untukmu? Kenapa Yuuki?” Kata Ryuu.
Akhirnya air mataku tak dapat saya bendung.
“Kamu tak mengerti Ryuu. Aku juga tak ingin semua ini terjadi. Tapi saya harus melakukan. Untuk apa saya terus bersama kalian kalau orang yang membuatku bergabung dengan kalian menjauh? Apa yang harus saya lakukan Ryuu? Aku takut kehilangan kalian, tapi sikap Hisashi membuatku melaksanakan semua ini. Sakit rasanya Ryuu. Sakit. Aku kesal dengan diriku sendiri. Kenapa waktu itu saya mempercayai apa yang Hisashi katakan padaku. Kau takkan mengerti apa yang saya rasakan Ryuu.” Kataku dengan air mata yang tak berhenti mengalir.
“Yuuki...” Kata Ryuu yang tak mampu menjelaskan apapun. Namun kemudian beliau memelukku kembali. “Jika kau tak ingin melaksanakan semua ini, kalau kau tak ingin kehilangan semua, tolong berhenti bersikap menyerupai ini.” Lanjutnya.
Aku masih menangis dipelukannya. Sejujurnya saya tak tahu harus bersikap menyerupai apa kepada mereka. Tapi hati ini, rasa sepi, rasa sakit ini bercampur menjadi satu dan membuat semuanya tampak semu. Aku tak ingin kehilangan sahabat menyerupai mereka, tapi selalu keadaan membuatku tak mengerti. Setelah tenang, Ryuu membawakanku minuman. Aku duduk di dingklik taman dengan mata yang masih sembab.
“Ini untukmu. Minumlah semoga kau lebih tenang.” Kata Ryuu sambil memberikanku minuman.
“Arigatou...” Jawabku. “Ku mohon, jangan ceritakan kepada siapapun ihwal hari ini.” Lanjutku.
“Asal kau tak lagi menjauh, maka saya takkan menceritakan kepada siapa pun.” Kata Ryuu.
Aku sendiri hanya membisu tak merespon apa yang beliau katakan.
“Ya sudah ayo pulang.” Kata Ryuu.
***
Hari berganti dengan salju yang mulai menghiasi. Salju di bulan ini cukup tebal. Namun alasannya yakni itulah saya menyukai namaku. Dan di bulan ini yakni bulan kelahiranku sehingga kedua orang tuaku memberikanku nama Yuuki. Aku berjalan menuju ke sekolah. Mungkin keadaan mulai membaik. Aku sudah mulai menyapa mereka kembali. Hanya saja saya masih membisu kepada Hisashi. Tak mudah memperbaiki keadaan yang sudah terlalu rumit. Sesampainya di kelas, saya eksklusif duduk dibangkuku. Dan beberapa ketika kemudian Kaname dan Ryuu datang.
“Ohayou Yuuki...” Sapa Kaname.
“O..Ohayou...” Jawabku.
Ku lihat sekilas senyum dari mereka. Memang mengasyikkan bersama mereka. Tapi apa saya tidak egois kalau saya takut kehilangan mereka? Sahabat yang saya miliki hanya mereka. Sudah banyak kenangan yang tercipta bersama mereka. Bercanda tawa, jalan bersama, liburan bersama, dan masih banyak lagi. Akankah semua itu sirna? Akankah semua itu akan hilang dalam sekejab? Aku tak ingin semua itu hilang. Aku tak ingin. Aku menyayangi mereka. Aku peduli kepada mereka. Tapi saya tak mengerti dengan rasa ini.
Pelajaran pertama dimulai. Aku mencoba fokus ke pelajaran, namun lagi-lagi pikiranku masih kearah mereka hingga tanpa ku sadari air mataku kembali mengalir. Ryuu yang berada disampingku menyadarinya. Tanpa berpikir panjang jadinya Ryuu membawaku ke ruang UKS. Aku masih menangis disana tanpa mengeluarkan satu kata pun. Ryuu menemaniku hingga saya berhenti menangis.
“Kamu kenapa Yuuki?” Tanyanya.
“Gomen Ryuu. Gomennasai. Aku sangat egois selama ini. Aku takut kehilangan kalian semua. Aku takut. Kalian sudah membuatku nyaman. Gomennasai Ryuu.” Jawabku dengan air mata yang masih belum berhenti.
Aku jadinya menceritakan semuanya kepada Ryuu. Menceritakan apa yang saya rasakan dan yang pernah saya lewati bersama Hisashi sehingga membuatku menyerupai sekarang ini.
“Aku mengerti sekarang Yuuki. Tapi apa hanya alasannya yakni Hisashi membisu kepadamu lalu kau menjauhi kami? Itu tidak adil Yuuki. Kami pun menyayangimu. Kami pun takut kehilangan kamu. Jika Hisashi menjauhimu, biarkan saja. Kamu masih memiliki kami. Makara jangan bersikap menyerupai ini lagi ya Yuuki. Ku mohon.” Kata Ryuu yang kini sudah memelukku.
Aku mengangguk.
***
Stay Karya Riska Munifa |
Osaka, 15 Desember 2016. Sudah hampir satu bulan berlalu. Mungkin hubunganku dengan Kaname, Ryuu, dan juga Ayane sudah membaik namun tidak dengan Hisashi. Semua masih tetap sama. Seperti hari-hari yang membeku di bulan Desember. Hari ini sempurna hari ulang tahunku. Satu hari yang selalu saya harapkan dihiasi dengan kebahagiaan. Tak apa kalau setelahnya keadaan kembali, setidaknya satu hari ini saya mampu memiliki bahagiaku. Sebelumnya kedua orang tuaku sudah menunjukkan kejutan untukku. Meski sederhana tapi saya sangat bahagia.
Libur sekolah sudah dimulai. Aku tak banyak melaksanakan acara menyerupai dulu ketika masih bersama mereka. Meski keadaan mulai membaik tapi saya masih tak banyak waktu bersama mereka lagi. Hari ini saya pergi ke sentra kota untuk berbelanja persiapan tahun baru. Aku berjalan sendiri dan singgah ke sebuah toko hadiah. Aku lupa belum membeli hadiah untuk mereka. Namun langkahku terhenti ketika di depan mataku bangun Hisashi. Kami saling memandang namun tak ada kata yang keluar. Ingin rasanya menyapanya. Aku berjalan melewatinya begitu saja. Bukankah beliau tak peduli kepadaku?
Setelah cukup berbelanja saya lekas menuju stasiun untuk pulang. Aku bangun menunggu kedatangan kereta. Saat itu salju mulai turun. Dan ketika itu pula ku temukan Hisashi yang tengah duduk di dingklik erat daerah saya berdiri. Aku mengarahkan pandanganku kepadanya. Namun saya hanya membisu lalu beranjak untuk memasuki kereta yang sudah berhenti. Kereta mulai melaju. Aku duduk berseberangan dengannya menyerupai dua orang yang tak saling mengenal. Tak beberapa lama kemudian kereta sudah berhenti di stasiun tujuanku. Ku lihat salju masih belum berhenti turun.
“Aduuh, saya lupa bawa payung ternyata. Semoga jaketku mampu melindungiku.” Kataku yang kemudian mulai beranjak meninggalkan stasiun. Tetapi ada seseorang yang menahan langkahku.
“Baka. Jaketmu takkan melindungi kepalamu.” Kata seseorang yang sudah memayungiku.
“Hisashi-kun...” Kataku ketika melihat orang yang berada disampingku yakni dirinya.
“Ayo jalan. Jangan hanya membisu saja.” Katanya lalu saya pun pulang bersama.
Sepanjang perjalanan tak ada kata yang keluar. Bahkan sedikit percakapan pun tak ada. Aku hanya membisu sambil berjalan disampingnya. Sudah lama sekali saya tak berjalan bersama dengannya.
“Habis belanja?” Tanyanya.
Aku mengangguk.
“Hemmbz,,, Otanjoubi omedetou...” Kata Hisashi yang membuat tertegun.
“Ku pikir kau tak ingat ihwal hari ini. Arigatou Hisashi.” Jawabku.
Suasana kembali membeku. Tak ada satu pun kata yang keluar lagi hingga kami berpisah. Apa yang terjadi? Tapi saya merasa senang setidaknya Hisashi tak melupakan hari ulang tahunku.
***
Osaka, 31 Desember 2016. Hari ulang tahunku berlalu. Dan kini sudah hingga dipenghujung tahun. Aku dan yang lainnya berjanji untuk berdoa bersama di kuil. Hari ini cukup cuek ditambah dengan salju yang semakin tebal. Aku berjalan sendiri menuju ke kuil. Ku rasa hari ini saya kurang enak badan. Namun tetap saya paksakan untuk datang. Bukankah ketika menyerupai ini yang saya harapkan? Sesampainya di kuil saya menunggu mereka di erat api unggun. Beberapa ketika kemudian ku lihat mereka melambaikan tangan kepadaku. Ku berikan senyumanku. Ku lihat Hisashi juga ikut serta. Mereka menghampiriku dan menyapaku. Setelah itu kami bersama menuju ke kuil. Aku senang berada diantara mereka. Meski hubunganku dan Hisashi belum membaik. Setidaknya untuk ketika ini, biarkan saya menghabiskan tamat tahun dengan senyuman.
Langkah kami sudah mendekati kuil. Tepat pukul 00.00 semua bersorak untuk pergantian tahun ini. Kami berlima menunggu giliran untuk berdoa. Setelah berdoa semua mengajak untuk membeli minuman hangat. Namun entah ketika itu kurasa badanku sudah tak sanggup menopangku. Aku terjatuh lemas. Semua menghampiriku.
“Yuuki, kau tidak apa-apa?” Tanya Ayane.
“Sebentar.” Kata Hisashi sambil meletakkan tangan didahiku. “Kau demam. Sebaiknya kau pulang saja.” Lanjutnya.
Aku hanya membisu saja.
“Ya sudah Hisashi. Tolong antar Yuuki pulang ya.” Kata Ayane.
Hisashi hanya mengangguk. Setelah itu beliau memintaku untuk naik ke punggungnya. Awalnya saya tak mau, namun alasannya yakni beliau memaksa jadinya saya melakukannya. Aku hanya membisu sepanjang perjalanan. Aneh rasanya, apakah Hisashi khawatir kepadaku? Bukankah selama ini beliau tak pernah peduli kepadaku?
“Nante? Nante Hisashi? Kenapa kau peduli kepadaku?” Tanyaku.
“Sudah membisu dan tidurlah. Tak perlu banyak bicara.” Jawabnya.
“Kau tak adil Hisashi. Kenapa kau membisu sekali selama ini? Sedangkan sekarang kau tampak peduli kepadaku. Apa salahku?” Tanyaku yang membuat air mata ini lagi-lagi tak mampu saya bendung.
Hisashi hanya membisu mendengar pertanyaanku.
“Turunkan saya Hisashi. Aku mampu pulang sendiri.” Kataku.
Tapi Hisashi tak mendengarkanku.
“Ku mohon....” Lanjutku.
“Aku tak ingin kau kenapa-kenapa. Makara cukup membisu dan tidurlah. Kau demam dan saya takkan membiarkanmu pulang dengan kondisi sekarang. Bukan alasannya yakni apa, tapi alasannya yakni saya peduli kepadamu. Karena saya takut kehilangan dirimu.” Kata Hisashi.
Aku membisu sejenak. “Aku tak mengerti. Kau begitu membisu kepadaku akhir-akhir ini. Sakit rasanya Hisashi. Aku selalu bertanya-tanya. Aku tak ingin semua berubah. Aku ingin menyerupai yang dulu.” Kataku.
“Hemmbz,, gomen Yuuki. Gomennasai. Ternyata saya yang paling sering menyakitimu.” Kata Hisashi. “Maafkan saya yang selalu menjadi alasanmu menangis. Maafkan saya yang sering membuatmu bersedih.” Lanjutnya.
“Setelah ini ku mohon tetaplah menyerupai yang dulu...” Jawabku yang kemudian saya terlelap digendongannya.
***
Hari berlalu kembali. Setelah semua kejadian itu keadaan mulai membaik. Namun namanya luka untuk sembuh itu pun agak susah. Aku tetap memilih untuk tak sering bersama mereka. Sendiri jauh membuatku banyak berpikir. Sesekali memang saya bersama mereka. Bulan sudah berganti dan isu terkini semi kini menghiasi. Hari ini kami berlima berjanji untuk melihat bunga sakura bersama. Seperti biasa saya lebih dulu datang ke taman. Ah saya ingat semuanya ketika kami selalu berjanji bertemu ditaman ini. Aku mendekati ayunan dan duduk disana. Bermain sedikit sambil tersenyum. Namun entah kenapa air mata ini tiba-tiba turun membasahi kedua pipiku. Aku ingin tetap bersama mereka. Tapi saya tak sanggup. Aku tak bisa.
Ku dengar langkah kaki mendekatiku dan bangun di depanku. Aku mengarahkan pandanganku. Ku temukan Hisashi yang sudah memasang wajah heran. Lalu beliau menghapus air mataku dan memelukku. Ini bukan pertama kalinya Hisashi menyerupai ini. Ku tahu kepedulian Hisashi kepadaku memang tak pernah berubah, mungkin hanya saya butuh mengerti terhadap sikapnya. Air mataku berhenti mengalir namun Hisashi belum melepaskan pelukannya. Dari kejauhan Ryuu dan yang lainnya menghentikan langkah mereka. Mereka melihatku dengan Hisashi.
“Tak bisakah kau kembali bersama kami?” Tanya Hisashi. “Mengulang kembali kebersamaan kita yang dulu. Aku, kau, Ryuu, Kaname, dan Ayane. Tak maukah kau tetap bersama dengan kami?” Lanjutnya. “Ku mohon tetaplah bersama kami.” Kata Hisashi.
“Aku ingin, tapi saya tak bisa. Aku sudah terlalu membuat problem kepada semua. Aku ingin bersama kalian, tapi saya tak ingin jauh dari kalian alasannya yakni ulahku.” Kataku.
“Jika kau ingin kenapa kau tak lakukan saja? Kau tak memikirkanku dan yang lainnya? Mungkin terkadang saya merasa lelah dengan sikapmu, tapi kau tahu bersamamu semua tampak lebih menyenangkan.” Kata Hisashi. “Aku, Ryuu, Kaname, dan Ayane juga berharap kau mampu kembali bersama kami.” Lanjutnya.
Aku melepaskan pelukannya.
“Aku takut membuatmu kesal dan jadinya jauh dariku.” Kataku. “Kau tahu Hisashi. Bagiku kau yakni sahabat, teman, juga seorang kakak untukku. Aku takut ketika kau menjauh dariku. Aku tak ingin kehilanganmu Hisashi.” Lanjutku.
Hisashi tersenyum. “Kenapa kau mampu berpikir begitu? Kau takkan pernah kehilangan aku.” Kata Hisashi kemudian memelukku kembali.
Aku tersenyum senang seiring bunga sakura berguguran. Setelah itu Ryuu, Kaname, dan Ayane menghampiriku.
“Sampai kapan kalian akan menyerupai itu? Bukankah kita berjanji untuk melihat bunga sakura bersama?” Kata Ryuu.
Hasashi melepaskan pelukannya dan tersenyum kepada mereka.
“Ayo Yuuki.” Kata Hisashi sambil mengulurkan tangannya untukku.
Aku pun meraih tangannya dan berangkat untuk melihat bunga sakura. Aku ingin waktu berjalan lambat untuk ketika ini semoga saya mampu bersama mereka jauh lebih lama. Aku tak ingin lagi jauh dari mereka. Senyum mereka, tawa mereka, candaan mereka yakni hal yang rupawan untukku. Satu hal yang membuat hidupku tampak berwarna. Selama ini saya selalu berpikir apakah saya mampu berjalan bersama mereka? Sampai kapan saya harus berlari untuk mampu mencapai ke daerah mereka? Tapi untuk ketika ini saya berada disamping mereka. Mereka menggenggam erat tanganku dan tak membiarkanku pergi. Aku tersenyum dan mengarahkan pandanganku kepada mereka.
“Hei minna... Aku ingin selalu menyerupai ini bersama kalian.” Kataku.
Semua tersenyum lalu langkah kami berhenti sempurna di depan pohon sakura yang sedang berguguran. Kami tertawa bersama hingga senja karam dengan rasa bahagia ini. “Hei minna, arigatou. Aku ingin tetap selalu bersama kalian...”
Profil Penulis:
Nama : Riska Munifa
TTL : 15 Desember 1995
Alamat : Desa Sugihwaras, Parengan, Tuban
Hobi : Menulis. Menggambar. Membaca, Fotografi, sedang memulai berguru gitar, desain, nonton
Untuk sekarang saya seorang pegawai di sebuah instansi pemerintah. Makara menulis yakni caraku untuk sejenak merefreshing otak semoga tidak jenuh dalam bekerja. saya sudah senang menulis semenjak SD. Salam kenal...