Sederhananya Cintaku Sesederhana Isyarat I Love You Karya Siti Mariyam

SEDERHANANYA CINTAKU SESEDARAHAN ISYARAT I LOVE YOU
Karya Siti Mariyam

Sudah 15 menit ini saya merapikan diri untuk bertemu dengan seseorang sambil mempraktikkan  bahasa instruksi yang sudah kupelajari sebelumnya. Seseorang yang akan kutemui hari ini yang akan mengajakku ke suatu daerah yang membuatku jadi tertarik untuk mencar ilmu berbahasa isyarat. Seseorang itu yang sudah membuatku ibarat orang gila alasannya yaitu suka tersenyum sendiri bila membayangkan wajahnya.

Seminggu yang lalu, tepatnya sehabis dari minimarket sepulang sekolah, tidak sengaja saya menabrak seseorang yang sedang berjalan di depanku. Seseorang yang berseragam putih abu-abu sama sepertiku yang kelihatan juga gres pulang dari sekolahnya. Aku tidak terlalu memperhatikan jalan yang ada di sekelilingku ketika itu, alasannya yaitu saya sedang mengecek barang-barang belanjaan yang sudah kubeli di sana, takut ada yang kurang.

Barang-barang belanjaanku yang sedang kucek pun berhambur jatuh ke jalan akhir ukiran itu. Ia pribadi mengambil barang-barang belanjaanku dan memasukkannya kembali ke dalam kantungnya. Aku mencoba untuk ikut mengambil dan memasukkannya, namun dengan cepat ia mengambilnya dariku. Setelah selesai, ia menunjukkan barang-barang belanjaanku yang sudah ia bereskan padaku.

"Makasih, maaf ya!" Aku berkata sambil menerimanya.

Ia hanya tersenyum menjawab ucapanku itu. Senyumnya manis sekali dengan lesung pipit dikedua pipinya. Tiba-tiba saja jantungku berdebar. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

Aku terus memandanginya tanpa pernah mengedipkan mata. Selain senyumnya yang manis, wajahnya juga tampan, sampai-sampai bibirku mengukir senyum melihatnya. Jujur, gres kali ini saya melihat seorang laki-laki hingga ibarat itu. Biasanya hanya biasa saja, tapi kali ini berbeda. Sepertinya benar, ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Aku kembali tersadar ketika ia melambaikan tangannya pada wajahku. Saat itu juga, tidak sengaja saya melihat namanya yang tertera di dada sebelah kanannya. Raynaldi, itulah namanya. Nama yang cocok untuk seorang laki-laki sepertinya.

"Sekali lagi maaf, ya!" Aku kembali mengatakan itu alasannya yaitu sudah menabraknya.

Lagi-lagi ia hanya tersenyum menjawabnya. Kemudian, ia meneruskan tujuan jalannya yang entah ke mana. Aku masih memperhatikannya yang sedang berjalan dari arah belakangnya, hingga balasannya ia berbelok ke minimarket yang saya datangi tadi. Setelah tahu ia ke mana, saya juga kembali meneruskan jalanku menuju pulang ke rumah.

Ketika malam harinya, setelah saya selesai shalat Isya, ibu menyuruhku untuk menunjukkan brownis buatannya kepada tetangga gres yang ada di sebelah rumah kami sebagai perkenalan dan ucapan selamat datang di kompleks kami ini. Begitulah cara ibu menyambut setiap orang-orang gres yang datang di sini.

Hanya cukup berjalan sepuluh langkah saja sudah hingga di rumahnya. Aku pribadi mengetuk pintunya dan mengucap salam.

'Tok, tok, tok.'
"Assalamu'alaikum!"

Tidak lama kemudian, seseorang yang ada di dalam membuka pintunya. Betapa terkejutnya saya setelah melihat orang yang membukakan pintu untukku itu ternyata Raynaldi, laki-laki yang kutabrak di jalan tadi sepulang dari minimarket.

"Kamu! Rumah kau di sini? Kenapa gak bilang? Nanti kita mampu pulang bareng!" Aku berkata dengan sumringah. Ia hanya tersenyum menjawabnya.

Tak berselang lama, terdengar bunyi orang lain yang ada di dalam rumahnya.

"Siapa Ray yang datang?" Ucapnya sambil berjalan menghampiri kami.

Ternyata itu yaitu seorang wanita yang tidak lain yaitu ibunya. Ray pribadi menjawab pertanyaan dari ibunya itu. Aku kembali terkejut, kali ini luar biasa terkejut setelah mengetahui bagaimana cara ia menjawab pertanyaan itu.

"A-da ta-mu, Bu!" Sambil menggunakan instruksi tangannya ia menjawab.

Seketika mataku terbelalak melihatnya berbahasa instruksi ibarat itu, dan mendengar ucapannya yang kurang terang terdengar. Aku tak menyangka seorang laki-laki yang kupandang tepat ternyata memiliki kekurangan juga. Dan tak menyangka bertemu pribadi dengan orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, yang biasanya hanya kulihat di televisi.

"Nayla ya? Masuk yuk!" Ibunya Ray mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya, begitu juga dengan dirinya. "Ibu kau sudah bercerita perihal kamu!" Katanya kemudian.

Ternyata ia seorang tunarungu, dengan cara ibarat itu ia menjawabnya. Jadi, alasannya yaitu ini yang membuatnya hanya tersenyum setiap kali menjawab ucapanku? Ya ampun, saya hingga tak menyadari ada alat bantu dengar di telinganya hanya alasannya yaitu terlalu memfokuskan pandangan mataku ke wajahnya yang ganteng itu.

"Kamu pasti kaget banget ya melihat Ray begitu?" Ucap ibunya Ray ketika saya sudah duduk di dingklik empuk yang ada di ruang tamunya.
"Iya, Bu, saya kaget banget tadi." Aku menjawab sambil mencoba membenarkan raut wajahku yang terkejut kembali berkembang menjadi normal.

Mendengarku berkata ibarat itu, Ray pribadi mengatakan sesuatu melalui bahasa instruksi dari tangannya. Aku yang tidak mengerti dengan caranya yang memberikan kata-kata menggunakan bahasa instruksi pribadi menoleh ke arah ibunya, ia pasti mengerti apa yang dikatakan oleh sang anak.

"Ray bilang, maaf, sudah buat kau kaget ibarat tadi. Karena ia gak pribadi mengatakan bahwa keadaannya ibarat itu."

Ray mengangguk dan tersenyum setelah tahu apa yang diterjemahkan oleh sang ibu benar.

"Gak apa-apa, kok. Seharusnya saya yang minta maaf, alasannya yaitu reaksiku tadi terlalu berlebihan. Maaf ya!" Ucapku. Ray kembali tersenyum.

Sejak ketika itu, saya berniat mencar ilmu bahasa instruksi supaya saya mampu berkomunikasi dengan Ray dan mengerti apa yang ia katakan. Dari mulai mencari di google, youtube, hingga mendownload kamus bahasa instruksi di playstore ponselku. Sebenarnya saya mampu berkomunikasi dengan Ray tanpa menggunakan bahasa isyarat, alasannya yaitu ia mampu mendengar apa yang saya ucapkan dengan pertolongan alat mendengar yang ada di telinganya.

Saat ini, saya hanya gres mampu mengatakan beberapa kata saja alasannya yaitu ternyata tidak mudah untuk mencar ilmu bahasa isyarat. Tapi, Ray mengatakan bahwa bahasa instruksi itu tidak sulit, akunya saja yang belum mencar ilmu lebih dalam lagi. Jika saya sudah mencar ilmu lebih dalam dan lebih banyak lagi pasti mampu berbahasa instruksi ibarat dirinya.

"Lagi ngapain kamu?" Tanya ibu ketika melihatku menggerak-gerakkan tanganku sambil mulutku menerjemahkan apa yang diisyaratkan dari instruksi gerakan tanganku itu.
"Lagi mencar ilmu bahasa isyarat, Bu, biar mampu ngobrol sama Ray!" Jawabku.

Selama mencar ilmu bahasa isyarat, saya tidak pernah bilang ke ibu. Jadi, wajar bila ibu bertanya ketika melihatku ibarat itu.

"Emangnya bisa?" Ibu berkata tak percaya.
"Bisa dong, Bu! Apa sih yang gak mampu buat Ray?" Tanpa sadar, saya berkata ibarat itu yang berarti saya mengatakan suka dengan Ray pada ibu secara tidak langsung.
"Suka nih sama Ray?" Ibu meledekku.
"Apaan sih, ibu?!" Aku tersipu malu.

Suka sama Ray? Ya, saya memang suka dia. Aku mencicipi ada sesuatu perasaan yang berbeda bila melihatnya. Sesuatu perasaan yang dinamakan cinta itu tumbuh di dalam hatiku dari awal bertemu dengannya hingga ketika ini.

"Memangnya kau sama Ray mau pergi ke mana?" Tanya ibu ketika ku sedang mengikat tali sepatu di ruang tengah.
"Gak tahu tuh Bu, Ray mau ke mana?" Jawabku.

Semalam, Ray mengirimiku pesan singkat yang isinya ia mau mengajakku ke suatu daerah tanpa memberitahuku di mana tempatnya. Aku pribadi bilang pada ibu malam itu juga, dan ibu mengizinkanku untuk itu.

"Yaudah Bu, saya berangkat ya. Assalamualaikum!" Aku berkata sambil mencium tangannya.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya!" Jawab ibu.

Aku pribadi ke luar dan berjalan menuju rumah Ray. Seperti biasa, ketika hingga saya selalu mengetuk pintu rumahnya dan mengucap salam. Tapi, kali ini saya hanya mengetuk pintunya saja, tidak mengucap salam. Aku ingin memperlihatkan pada Ray ucapan salam melalui bahasa instruksi yang sudah kupelajari.

Semenit kemudian, Ray pun membukakan pintu untukku. Aku pribadi membuat instruksi bentuk aksara "A" pada tangan kananku sambil ibu jarinya dikenakan pada tepi dahi kananku, lalu digerakkan ke depan yang mengisyaratkan "Assalamu'alaikum".

Sebenarnya ada instruksi atau cara lain untuk mengucap salam, yaitu dengan kedua telapak tangan terbuka, lalu diletakkan pada samping wajah kiri dan kanan kemudian digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan.

Ray tersenyum dengan raut wajahnya yang terlihat terkejut alasannya yaitu melihatku melaksanakan bahasa instruksi ibarat itu. Ia menjawab ucapan salamku yang juga menggunakan bahasa isyarat.

Dengan tangan kanannya membentuk aksara "W", sambil jari telunjuk dikenakan pada tepi dahi kanannya, lalu digerakkan ke depan dan mulutnya mengucap, "Wa'alaikumsalam" Tanpa bersuara.

Menjawab salam hampir sama ibarat mengucap salam. Yang membedakan yaitu bagaimana bentuk aksara yang dibuat pada tangan kanannya, yaitu membentuk aksara "W" dan jari apa yang dikenakan pada tepi dahi kanannya, yaitu jari telunjuk.

Sederhananya Cintaku Sesederhana Isyarat I Love You Karya Siti Mariyam

Sebenarnya juga ada instruksi atau cara lain untuk menjawab salam, yaitu dengan kedua tangan membentuk aksara 'W', lalu diletakkan pada samping wajah kiri dan kanan kemudian digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan, sama ibarat mengucap salam.  (Aku tak tahu cara atau instruksi mana yang dipakai untuk mengucap dan menjawab salam, tapi setahuku ibarat itu.)

"Kita mau ke mana?" Aku berkata tanpa menggunakan bahasa isyarat.

Ray mampu mendengar dan mengerti apa yang saya ucapkan walaupun tanpa menggunakan bahasa isyarat, alasannya yaitu ia menggunakan alat bantu dengar yang membantunya mendengar apa yang orang lain ucapkan.

"Ke mana?" Aku bertanya setelah ia menjawab dengan menggunakan bahasa instruksi yang saya tak mengerti apa maksudnya. Belajar bahasa instruksi dalam beberapa hari saja masih belum mampu membuatku menguasai sepenuhnya, hanya beberapa saja.

Kemudian, Ray mengeluarkan sebuah buku cacatan kecil dari saku bajunya yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi untuk menjawab setiap ucapan yang diucapkan oleh orang lain padanya. Selama saya mengenalnya, ia tak pernah membuka mulutnya untuk menjawab setiap kali ucapanku.

Ray bilang, ia lebih nyaman menggunakan bahasa instruksi daripada berbicara langsung. Ia kesulitan ketika berbicara pribadi dengan menggunakan mulutnya. Ia tidak mampu berbicara normal sepertiku dan yang lainnya. Orang lain yang mendengar suaranya juga pasti tidak akan mengerti dengan apa yang ia ucapkan, alasannya yaitu ucapan yang keluar dari dalam mulutnya terdengar kurang jelas. Begitulah alasan mengapa ia lebih nyaman menggunakan bahasa isyarat, dibanding dengan berbicara langsung.

"Aku mau mengajakmu ke sekolahku. Ada salah satu temanku yang akan merayakan ulang tahunnya di sekolah hari ini!" Ray menjawab melalui goresan pena yang ia tulis di buku itu.

Aku terkejut. Ulang tahun? Berarti saya harus mempersiapkan kado untuk temannya!?

"Kenapa gak bilang? Aku belum mempersiapkan kado untuk temanmu!"
"Kamu gak perlu mempersiapkan kado untuknya, saya yang sudah mempersiapkannya!" Ia kembali menjawab melalui goresan pena yang ia tulis di buku itu.

Mengetahui itu, saya hanya diam. Kemudian, ia masuk ke dalam mengambil kado yang sudah ia siapkan untuk dikasih temannya yang akan merayakan ulang tahun di sekolahnya hari ini.

Setelah selesai mengambil kadonya, saya dan Ray pun berangkat. Kami memilih berjalan kaki menuju daerah yang akan kami tuju yang tidak terlalu jauh jaraknya. Tapi, bila dengan berjalan kaki itu lumayan jauh dan dua kali lebih lama dibandingkan menggunakan kendaraan umum yang hanya memakan waktu sepuluh menit.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol, becanda, dan tertawa bersama. Itulah alasannya mengapa kami memilih berjalan kaki daripada naik kendaraan umum. Bukan hanya itu, suasana jalannya pun sepi. Kaprikornus kami mampu lebih leluasa berjalan tanpa ada banyak kendaraan yang melintas yang mengganggu jalan kami. Karena hari ini yaitu hari libur, orang-orang yang bekerja sedang beristirahat di rumah setelah lelah bekerja.

Saking asyiknya mengobrol, kami hingga tak sadar bahwa kami sudah tiba di daerah tujuan kami. Yaitu di sekolah luar biasa khusus untuk tunarungu, yang merupakan daerah Ray bersekolah sekaligus daerah di mana program perayaan ulang tahun temannya dilaksanakan.

Ray pribadi mengajakku masuk ke sebuah kelas yang ternyata kelas itu yaitu kelasnya. Disana sudah banyak teman-temannya yang datang dengan memegang kado ulang tahun di tangannya. Mereka menoleh ke arah kami setelah mengetahui kedatangan kami. Ada salah satu sobat perempuan Ray menghampiri kami. Ia melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan "hai" pada kami. Ray membalas lambaian tangannya, begitu juga denganku.

Kemudian, Ray pribadi mengenaliku padanya. Sambil menunjuk ke arahku, kedua tangannya mulai membentuk aksara "N A Y L A". Setelah tahu namaku, ia pribadi mengulurkan tangannya padaku sambil mengatakan sesuatu melalui bahasa isyarat. Aku yang tidak mengerti apa yang diucapkan padanya pribadi menoleh pada Ray. Ia pasti tahu apa yang diucapkan oleh sang teman.

"Viola bilang kau cantik!" Begitulah terjemahan dari instruksi temannya yang berjulukan Viola yang Ray tuangkan ke dalam goresan pena di buku catatannya.
"Makasih, kau juga cantik! Cantik banget!" Aku menjawab tanpa menggunakan bahasa isyarat. Viola tersenyum aib ketika saya berkata demikian. Dia mampu mendengar apa yang saya ucapkan dengan pertolongan alat mendengar di telinganya, sama ibarat Ray.

Cantik? Ya, sobat perempuan Ray ini memang cantik, sangat cantik. Aku hingga tidak percaya ketika melihatnya, dan melihat teman-teman Ray lainnya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka semua sekilas terlihat sempurna, cantik-cantik dan tampan-tampan, sama ibarat ketika pertama kali saya melihat Ray. Tapi sayang, itu hanya pengelihatan dari luarnya saja, ternyata mereka memiliki kekurangan sama ibarat Ray.

Aku duka melihatnya, melihat Ray dan teman-temannya. Mereka hidup dalam kesunyian. Mereka tidak mampu hidup normal sepertiku dan ibarat yang lainnya yang diberikan pendengaran yang normal, yang mampu mendengar dengan baik dan mampu berbicara dengan baik juga.

Ray pernah bilang padaku, selain ayah, ibu, dan teman-temannya di sekolah, tidak ada orang lagi yang berbicara padanya. Pasti mereka semua begitu, alasannya yaitu mereka tidak mampu mendengar dan berbicara dengan baik.

Padahal, mereka semua sangat baik dan ramah. Mereka membutuhkan kami yang memiliki kelebihan untuk menjadi sobat sekaligus menjadi suplemen hidupnya, alasannya yaitu kekurangan dan kelebihan itu menjadi satu supaya insan mampu saling membantu dan melengkapi satu sama lain.

Lalu, Viola mengenaliku pada semua orang yang ada di dalam kelas dengan menggunakan bahasa isyarat, ibarat yang Ray lalukan tadi ketika mengenaliku pada dirinya. Satu persatu mereka berjabat tangan padaku sebagai tanda pengenalannya.

Ada salah satu laki-laki dari beberapa antara laki-laki  yang mengatakan hal yang sama ibarat Viola dengan menggunakan bahasa instruksi padaku ketika kami berkenalan. Aku tersipu aib mengetahui ia berucap demikian, lalu saya mengucap "makasih" ibarat jawabanku ketika Viola berkata ibarat itu. Tapi, kali ini dengan bahasa isyarat, tanpa berucap langsung.

Aku gres ingat, bahwa saya mampu mengatakan kata itu melalui bahasa isyarat, alasannya yaitu saya sudah mencar ilmu sebelumnya. Dengan tangan kananku terbuka dan dikenakan pada bibir, lalu digerakkan ke depan sambil bibirku mengucap, "makasih".

Sepuluh menit kemudian, acaranya pun dimulai. Ada seorang guru perempuan yang membuka dan memimpin jalannya acara. Setelah beberapa rangkaian program telah berjalan, semuanya bernyanyi lagu selamat ulang tahun untuk yang berulang tahun yang sudah berdiri di tengah-tengah semuanya dengan menggunakan bahasa isyarat. Dan ternyata yang berulang tahun itu Viola, saya gres mengetahuinya setelah kami berkenalan kemudian Ray menunjukkan kado yang sudah ia siapkan untuknya padanya.

Bahagia sekali saya berada di tengah-tengah mereka, bahagia sekali melihat senyum terpancar di wajahnya. Senyum nrimo  yang menyadarkanku bahwa saya harus ibarat mereka, yang selalu tersenyum dalam menjalani hidupnya meski mereka memiliki kekurangan. Tidak ibarat saya yang malas untuk tersenyum bila saya merasa hidupku kurang.

Bukan kekurangan yang menghalangi kita untuk tersenyum, tapi bagaimana kita membuat senyum itu selalu ada walau dengan kekurangan yang kita miliki.

Aku jadi menyesal selalu berkata, "aku gak dengar!" Sambil menutup telingaku ketika ibu dan teman-temanku berbicara padaku ketika saya sedang marah dengan mereka. Padahal yang tidak mampu mendengar ingin mampu mendengar sepertiku, tapi saya malah berlaku demikian. Seharusnya saya mensyukuri pendengaran yang diberikan Yang Mahakuasa untukku, bukan malah menyia-nyiakannya ibarat itu.

Beberapa ketika kemudian, acaranya pun selesai. Sebelum pergi meninggalkan sekolah, saya dan Ray berpamitan dengan bersalaman pada semuanya. Lalu, kami berjalan mengeluari kelas. Ketika gres beberapa langkah kami berjalan, tanpa disadari ada seseorang yang sedang berlari menuju ke arahku dari belakang. Aku pun jatuh ke lantai, alasannya yaitu ia menabrakku dengan keras.

"Awww!" Aku berteriak kesakitan, alasannya yaitu lututku yang lebih dulu jatuh ke lantai.

Ia pribadi menghadapku, dan mengatakan sesuatu melalui bahasa isyarat. Ternyata ia yaitu laki-laki yang ada di dalam kelas Ray tadi.  Dengan membuat bentuk aksara "A" pada tangan kanannya dan diletakkan di dadanya, lalu diputar ibarat satu pusingan arah jam. Aku mengerti apa yang dikatakannya, ia mengatakan "Maaf".

"Gak apa-apa! Aku gak apa-apa kok!" Aku berkata tanpa menggunakan bahasa isyarat. Aku tidak tahu apakah ia mendengar dan mengerti apa yang saya ucapkan, alasannya yaitu saya tidak memperhatikan telinganya yang terpasang alat bantu dengar atau tidak.

Kemudian, Ray membantuku berdiri. Orang yang menabrakku masih ada di hadapanku. Ia kembali mengatakan maaf padaku. Aku tersenyum padanya mengisyaratkan bahwa saya baik-baik saja setelah ditabraknya. Sekali lagi, ia meminta maaf padaku sebelum pergi meninggalkanku dan Ray. Lalu, kami melanjutkan perjalanan menuju pulang ke rumah.

Ketika di pertengahan jalan, Ray mengajakku ke minimarket yang pernah saya dan ia datangi waktu itu. Ia membeli dua minuman dan dua ice cream, yang satu untuknya dan yang satu untukku. Kami meminum minuman itu dan memakan ice cream itu disebuah taman yang tidak terlalu jauh dari minimarket.

Saat kami menikmati ice cream, sesekali Ray memperhatikanku. Aku yang sadar diperhatikan ibarat itu pribadi berkata. "Kenapa? Kok gitu banget lihat akunya?"

Ia tersenyum dan menjawab ucapanku. Aku mengernyitkan alisku setelah mengetahui jawabannya sama ibarat sobat perempuan dan sobat laki-lakinya yang di sekolah tadi yang mengatakan bahwa saya cantik.

"Ah.. gombal!" Aku menepuk pundak kirinya dan mendorongnya hingga membuatnya hampir terjatuh dari dingklik yang kami duduki.
"Maaf, maaf!" Aku berkata sambil membantu membenarkan posisi duduknya kembali.

Ray tersenyum dan berkata melalui bahasa isyarat, "Gak apa-apa!"

"Kamu juga, kau ganteng!" Aku balas memujinya.

Ray tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku yang melihatnya ibarat itu tertawa. Ia juga ikut tertawa. Dan kami berdua pun tertawa lepas, sampai-sampai kami lupa waktu hingga hari berkembang menjadi gelap.

"Udah mau malam, pulang yuk!" Ajakku. Ray menganggukkan kepala. Kami berdua pun berdiri dari duduk kami dan berjalan menuju pulang ke rumah.

Hari ini saya benar-benar sangat bahagia. Bisa bertemu dengan teman-temannya Ray yang menyadarkanku untuk mensyukuri hidupku, dan juga mampu menghabiskan waktu berdua hanya dengan Ray ibarat ini.

Entah kenapa, saya mencicipi kenyamanan ketika berdua dengannya. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Sepertinya benar, ini yang dinamakan jatuh cinta. Atau, ini yang dinamakan cinta buta? Eh, tidak. Cintaku mampu melihat.

Cintaku bukan ibarat lirik lagu Al-Ghazali yang berjudul "Lagu galau" yang berbunyi, "inta itu buta dan tuli, tak melihat tak mendengar." Tidak. Cintaku tidak ibarat itu. Cintaku mampu melihat, dan cintaku mampu mendengar.

Aku mampu melihat cintaku ada pada diri Ray. Aku mampu melihat Ray menatapku dengan penuh cinta. Aku mampu mendengar bunyi hatiku yang mengatakan bahwa saya cinta padanya. Begitu juga sebaliknya, saya mampu mendengar bunyi hati Ray yang mengatakan bahwa ia cinta padaku.

Aku benar-benar mencintai Ray. Perasaan ini semakin kuat, kuat, dan kuat. Aku tidak mampu menahannya lagi, saya harus mengatakannya sekarang. Aku tidak peduli dengan pernyataan yang menyatakan bahwa laki-laki yang harus lebih dulu mengatakan atau menyatakan cintanya, gengsi bila perempuan yang melaksanakan itu lebih dulu. Kalau saya mengikuti itu, saya akan kehilangan cintaku, alasannya yaitu saya tidak mengatakan padanya bahwa saya mencintainya. Untuk apa gengsi bila dipendam-pendam hanya menjadi beban yang akan membuat sakit hati?

"RAY!" Aku berteriak memanggilnya sebelum ia masuk ke dalam rumahnya. Ia menoleh ke arahku.

Aku pribadi memegang dadaku dengan kedua tanganku yang mengisyaratkan "aku", dan membentuk lambang hati dengan jemari pada kedua tanganku yang berarti "cinta", lalu menunjuk ke arahnya yang berarti "kamu".

Ray terkejut melihatku begitu. Kemudian, ia berlari menghampiriku yang sedang berdiri cukup jauh darinya. Ia pribadi memelukku, dekat sekali. Aku membalas pelukannya dengan dekat pula.

"Aku juga cinta kau Nayla!" Untuk yang pertama kalinya ia pribadi berkata melalui mulutnya padaku. Meski terdengar kurang jelas, tapi saya mengerti apa yang ia ucapkan.

Tiba-tiba saja air mataku mengalir di pipiku. Aku menangis alasannya yaitu bahagia mengetahui Ray juga mempunyai rasa yang sama sepertiku.

Ray melepaskan pelukannya ketika air mataku jatuh dan membuat berair bajunya.

"Jangan menangis Nayla!" Ia berkata sambil menghapus air mataku.
"Maaf, saya tidak pribadi mengatakan ini padamu. Sebenarnya, saya mencicipi hal yang sama sepertimu. Tapi, saya takut kau tidak akan mencicipi hal yang sama sepertiku alasannya yaitu kekuranganku ini." Sambungnya.
"Nggak Ray, nggak. Kamu salah. Aku mencicipi hal itu ketika pertama kali kita bertemu waktu itu. Kamu mampu melihat kan bagaimana sikap saya ke kamu? Bagaimana saya melihat kamu? Apa saya pernah menyinggung perihal kekuranganmu? Nggak, kan?!" Aku berkata dengan lantang.
"Jujur, saya memang sempat kaget ketika mengetahui keadaan kamu. Kamu yang terlihat sempurna, ternyata memiliki kekurangan juga. Tapi saya tidak mempedulikan itu, alasannya yaitu cinta tidak ibarat itu. Cinta yaitu perasaan seseorang yang menyanyangi seseorang yang dicintainya dengan nrimo tanpa memandang kelebihan dan kekurangnya dia." Tambahku.
"Tapi kau terlalu tepat Nayla. Kamu mampu mendapat laki-laki yang lebih tepat dari aku." Ray merendahkan dirinya sendiri dengan berkata ibarat itu.
"Apa yang tepat harus berpasangan dengan yang tepat juga? Nggak kan, Ray?! Aku mencintaimu bukan alasannya yaitu dari kesempurnaan dirimu, tapi alasannya yaitu hatimu!" Aku menentangnya sambil menepuk dadanya dengan lembut. Ia hanya termangu sambil menundukkan kepalanya setelah saya berkata demikian.
"Biarkan saya mencintaimu, biarkan saya menjadi pendengaran dan mulutmu, biarkan saya menjadi sobat dan penyempurna hidupmu. Aku mencintaimu Ray!"

Tanpa disadari, air mata kembali mengalir di pipiku. Dan tanpa disadari juga, matanya Ray berkaca-kaca, air mata sudah membendung di matanya. Sedetik kemudian, air matanya tumpah dan mengalir membasahi pipinya.

Ray kembali memelukku. Kali ini saya benar-benar mencicipi hangatnya pelukan penuh cinta darinya. Sepertinya ia mendengarkan ucapanku tadi dan tidak lagi menganggap dirinya tidak pantas saya miliki.

"Maafkan saya Nayla, maafkan aku. Karena keadaanku yang ibarat ini saya jadi menyia-nyiakan cintamu. Maafkan aku. Aku juga mencintaimu Nayla. Kamu mau kan, menjadi pendamping hidupku?" Ray berkata sambil melepaskan pelukkannya. Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya, alasannya yaitu saya sulit berbicara ketika sedang menangis ibarat ini.

Lagi-lagi Ray kembali memelukku. Pelukkannya itu dapat menghangatkan tubuhku dari dinginnya angin malam yang sedang berhembus menyaksikan cinta kami berdua. Bukan hanya angin, bulan, bintang, dan semuanya pun yang ada menjadi saksi cinta kami yang sederhana, sesederhana instruksi "I love you", yang tidak bersyarat dan tidak memandang kurang dan lebihnya keadaan pasangan masing-masing.

Profil Penulis:
Pelajar. 3 SMA. Tahun ini lulus, do'akan ya semuanya supaya saya dan teman-teman yang lain yang kelas 12 yang ada di seluruh Indonesia ini mampu lulus dengan nilai yang terbaik. Terima kasih ??

Previous
Next Post »