Malaikat di Balik Punggung Ayah Karya Rahma Chumairaa

MALIAKAT DI BALIK PUNGGUNG AYAH
Karya Rahma Chumairaa

‘’Aisya, percepat langkahmu, bawa ikan asinnya kesini. Jangan sia-siakan panas pagi ini,’’Teriak nenek bau tanah yang rambutnya telah memutih. Aisya bergegas keluar dari gubuknya yang tak jauh dari pesisir pantai. Gadis itu membantu neneknya menjemur ikan asin yang mereka jadikan sebagai penghasilan sehari-hari. 
‘’Mamak Sugi, Mamak Sugi. Dimana kau? Aku mau membeli ikan asinmu?’’Teriak salah seorang tetangga yang telah bangun di depan rumah mereka. Dengan segera Aisya melayani pelanggan ikan asin neneknya itu.
‘’Beli berapa, Bu?’’Tanya Aisya meraih kantong plastik sembari mengibas-ngibaskan tangannya untuk menjauhkan lalat dari ikan-ikan asin dagangan neneknya.
‘’5000 saja,’’jawab Rosi yang tak pernah bolos membeli ikan asin Sugi. 
‘’Ayahmu masih di rumah nenekmu?’’ Perempuan paruh baya itu celingak celinguk ke sekeliling tempatnya berdiri. Aisya hanya mengangguk sambil terus memasukkan ikan-ikan asin kedalam kantong plastik.
‘’Harusnya kau ini suruh saja ibumu menikah lagi, buat apa ayahmu itu ada disana. Istri dan anaknya bukannya masih bisa jikalau harus mengurusnya. Sudahlah, sampaikan saja pada ibumu, jikalau sudah tak tahan, suruh cari bapak lagi saja,’’kata Rosi, Aisya hanya melempar senyum sembari menyodorkan kantong plastik berisi ikan asin, lalu dengan segera Rosi menyodorkan lima lembar uang  seribuan dan berhambur pulang. 
‘’Ngomong apa perempuan tadi? Masih membicarakan ayahmu?’’Sugi keluar dikala mendengar tetangganya mensugesti cucunya. Aisya hanya mengangguk pelan.
‘’Dasar perempuan tidak tau diri. Sudah jelas-jelas cintanya dulu di tolak sama ayahmu, sekarang beliau malah berusaha memanfaatkan situasi.’’
‘’Mamak, sudahlah. Aisya sudah mulai terbiasa dengan olok-olokan tetangga. Kita hanya bisa sabar.’’ujar Aisya pada neneknya.
‘’Aisya, kau sudah siap, kita pergi sekarang, ya. Bawa sekalian ikan asin untuk Rio, sepupumu itu pasti sangat senang jikalau kau bawakan lauk kesukaannya,’’Ujar Fatimah keluar dari kamar menuntun Ali, dengan segera Aisya memasukkan ikan asin ke dalam kantong plastik dan kemudian berpamitan pada neneknya untuk pergi bersama dengan ibu dan adiknya.

*** 

Malaikat di Balik Punggung Ayah Karya Rahma Chumairaa

‘’Rio, mana om Radit?’’’tanya Aisya jonggok di hadapan Rio yang tingginya separo tubuhnya, anak itu mengarahkan jari telunjuknya ke taman yang ada di belakang rumah. Rio menyeringai dikala mendapati Ali yang hingga di rumah neneknya turun dari gendongan ibunya, dengan segera tangan Rio meraih tangan Ali untuk mengajaknya bermain. 
‘’Kau bantu ayahmu di belakang, ya. Biar ibu menemui nenekmu dulu.’’Ujar Fatimah pada anaknya. Aisya segera menghambur menuju taman belakang. Gadis itu mendapati ayahnya tengah terapi berjalan. ia segera menghampirinya.
‘’Ayah sini Aisya bantu. Ayah tau tidak, Aisya senang banget lihat ayah sudah bisa berjalan lagi,’’Kata Aisya membopong badan ayahnya
‘’Semoga ayah bisa lekas sembuh dan bisa menghadiri perpisahan sekolahmu, ya!’’Radit menyeringai, Aisya mengangguk kegirangan. 
‘’Kau disini juga? Apa uang jajanmu juga sudah habis, makanya kau datang kesini bersama dengan adikmu juga,’’sergah Murti besar kepala keluar dengan Fatimah menghampiri Radit.
‘’Ibu, jaga bicara ibu.’’Ujar Radit
‘’Sudahlah, anakmu ini sudah gadis, beliau sudah selayaknya tau. Kau datang kesini mau minta uang bukan! Untuk melunasi SPPmu yang nunggak 5 bulan. Kalian kemanakan uang dari anakku,’’Ujar Murti menunjuk Fatimah yang hanya membelai rambut anaknya
‘’Aisya, bukannya kau harusnya juga berpikir, ayahmu ini masih sakit, mana mungkin beliau bisa membiayai sekolahmu. Dan kau memiliki keinginan melanjutkan SMA di kota? Uang dari mana? Apa ikan asin mamak kau yang mau kau jadikan modal?’’Tandas perempuan bau tanah itu. Ali berlari ke arah ibunya dan kakaknya, ia menangis alasannya yaitu minta di belikan mainan yang sama dengan mainan Rio. Murti melengos dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
‘’Tidak apa-apa, kita pulang ya, Nak!’’Ujar Fatimah menggendong Ali
‘’Fatimah, jaga dirimu baik-baik, ya.’’Ujar Radit mencium kening Aisya, Fatimah mengangguk pelan dan berpamitan dengan suaminya. Melangkahkan kaki membawa anaknya meninggalkan rumah mertuanya. Kakinya mulai mencicipi butiran-butiran pasir halus di pinggir pantai, membiarkan ombak-ombak kecil menerpa kaki putihnya. Memandangi kedua anaknya yang bermain kejar-kejaran dengan ombak. Tawa merekalah semangat hidupnya. Aisya segera menggandeng Ali menjauh dari pinggir pantai dan menghampiri ibunya untuk mengajak pulang setelah mendapati rintikan air hujan.
‘’Kalian sudah sampai? Ini minum tehnya. Memang lagi animo hujan, makanya siang-siang gini juga sudah hujan.’’Sugi menaruh teko dan beberapa gelas di atas meja, Fatimah mengelap wajah Ali yang berair kuyup. Membawanya masuk kedalam kamar. Setelah membersihkan tubuhnya Aisya menghampiri neneknya yang tengah duduk di ruang tamu yang sederhana itu.
‘’Kau Nampak sedih, ada apa? Apa yang dikatakan nenekmu?’’Sugi membelai rambut cucunya, Aisya hanya menunduk.
‘’Tidak ada apa-apa bu, mungkin Aisya kecapekan. Biar besok beliau istirahat dan saya yang menggantikannya menjemur ikan asin dan  mengantar roti-roti pesanan ke warung,’’Fatimah keluar dari kamar setelah menidurkan Ali.
‘’Kenapa ibu tadi minta uang pada nenek,’’Aisya mengangkat kepalanya.‘’Kita bisa hidup tanpa uang dari nenek, bahkan uang hasil menjual ikan asin mamak dan roti-roti buatan ibu bisa membiayai sekolahku. Kenapa ibu memilih di hina oleh nenek? Kenapa setiap hari saya harus menyaksikan ibu banting tulang tanpa ayah,’’Gadis itu meneteskan air mata
‘’Aisya capek, bu. Setiap harus mendengar omongan para tetangga perihal keluarga kita, saya sayang sama ayah. Tapi bukankah saya makan dari uang ibu, saya sekolah dari uang ibu, apa yang ayah lakukan untuk kita. Kenapa ibu tidak menceraikan ayah saja,’’
‘’Cukup Aisya, kau tak pantas mengatakan hal itu,’’Fatimah sudah tak terkendali lagi, ia menampar putrinya. Aisya lari masuk ke dalam kamar. Menangis. Hujan masih saja mengguyur hingga larut malam, meskipun tidak di sertai angin menyerupai siang tadi namun tetap aja gerimis membuatnya dan penduduk sekitar khawatir. Gadis itu bangun di depan jendela yang terbuat dari kayu yang sudah mulai reot, membiarkan hembusan angin malam menerpanya. Entah. Apa yang terjadi jikalau hujan terus turun hingga besok pagi, tsunami? Biarkan saja datang, mungkin dengan tsunami ia bisa mewujudkan cita-citanya di surga, membawanya hanyut bersama dengan kepedihan dan penderitaan yang menyayat hatinya. Gadis itu mendapati langkah kaki ibunya yang mendekati kamarnya, dengan segera ia merobohkan tubunya di atas kasur, menyelimuti tubuhnya biar ibunya menduga jikalau ia telah tidur.
‘’Ibu tau kau belum tidur. Maafkan ibu, Nak. Ibu telah merenggut kebahagiaanmu, tapi kau sama sekali tak punya hak untuk mengatakan hal menyerupai itu. Kau tau kenapa ayahmu hingga sekarang tidak sembuh, selama ini uang untuk membeli obat ayahmu ia berikan pada ibu, bahkan ia memilih terapi di rumah alasannya yaitu uangnya ia berikan untuk ibu. Untuk sekolahmu dan adikmu, dan itu tanpa sepengetauan nenekmu. Kau pasti bertanya-tanya kenapa nenekmu membenci kita? Tidak, ibu tidak pernah mengartikannya menyerupai itu, ini hanya problem waktu. Kau akan tetap sekolah tinggi, Nak!Berjanjilah kau tak akan mengatakan hal semacam tadi, ayahmu menyayangi kita!’’Jelas Fatimah membelai rambut anaknya, membenarkan selimut anaknya ‘’Mimpilah! Ibu telah menjahitkan baju untuk perpisahanmu besok,’’Ujarnya mencium kening putrinya, Fatimah melangkahkan kakinya meninggalkan putrinya, Namun, tangan Aisya meraih ibunya dan mendekapnya.
‘’Maafkan Aisya, Bu!’’

***  

‘’Aisya, akan kau berikan pada siapa bunga itu?’’Ujar bu karti, wali kelas Aisya. Mata Aisya berusaha menemukan ibunya diantara ratusan orang yang memenuhi aula. Semua teman-temannya telah menawarkan bungan mawar untuk orang bau tanah mereka yang hadir untuk menyaksikan anak mereka lulus dari SMP. Namun, ia sama sekali tidak menemukan ibunya.
‘’Kakak!’’teriak bocah berumur 5 tahunan yang berlari ke arahnya, Aisya segera menangkap tubuhnya dan menggendongnya. 
‘’Kak, lihat dengan siapa saya datang?’’celoteh Ali mengarahkan jari telunjuknya ke arah laki-laki yang berjalan menggunakan tongkat, ia menurunkan adiknya.
‘’Ayah,’’Mata Aisya berbinar-binar dikala mendapati ayahnya datang untuk menyaksikan perpisahannya, Fatimah yang berjalan beriringan dengan suaminya menggandeng lengan suaminya, perempuan itu nampak ayu dengan balutan kebaya pernikahannya dengan suaminya, bergantian mengucapkan selamat pada anaknya.
‘’Selamat anakku, kau benar-benar putri kebanggan ibu dan ayah!’’ujar Fatimah mencium kening anaknya, Aisya tak kuasa menahan haru. Ia meneteskan air matanya.
‘’Aisya anakku, besok kita akan daftar di SMA pilihanmu’’Ujar Radit mendekap putrinya, Aisya menganggukka kepalanya, menghapus air matanya, tangannya meraih tangan ibu dan ayahnya, lalu menyodorkan bunga mawar yang ada di tangannya
‘’Ini untuk kalian,’’Ujar Aisya menggenggam tangan kedua orang tuanya, memeluk mereka dan hayut dalam kebahagiaan. Mereka melangkahkan kaki meninggalkan aula sekolah setelah program selesai.
‘’Ayah, kita beli es pudeng, ya?’’celoteh Ali
‘’Pasti. Kita akan membawa penjualnya pulang,’’Ujar ayahnya menyeringai, menatap putra kecilnya yang menuruni sifatnya. Tawa mereka mengiringi langkah mereka menyusuri pasir-pasir di pinggir pantai. Radit membiarkan anak-anaknya bermain di pinggir pantai, ia kini tau, merekalah hidupnya
‘’Fatimah, terimakasih. Kau telah menjaga anak-anakku’’

Tak ada yang bisa ku katakan, kecuali terimakasih Tuhan! Semua hanya butuh waktu untuk mengukir senyum dalam balutan kebahagiaan. Tak ada dongeng tanpa sebuah akhir.. Tergantung seberapa seringkah kita bersyukur, disitu kita akan tau. Seberapa mahir kita dapat melampaui batas kesabaran kita. Allah tau apa yang kita butuhkan.

SELESAI…

Profil Penulis:
Nama : Rahma Mamlu'atul Maula
Nama Pena : Rahma Chumaira
Ttl : Kediri, 23 Januari 1997
Status : Mahasiswa IAIN Tulungagung Jawa Timur
Alamat : Kras-Kediri
Facebook : Rahma Maula Ahmad 
E-mail : Rahmamamluk@gmailcom
No : 085708080354

Previous
Next Post »