BUKU PERDANAKU
Karya Quintania HB
Siang ini, matahari begitu terik. Aku mengelap keringat yang menetes terus dari dahiku. Aku terus berjalan tanpa bantalan kaki. Melewati jalan beraspal, dan juga jalan setapak menuju rumah. Sebenarnya lebih sempurna disebut rumah kardus kecilku.
Aku menatap kendaraan yang berlalu lalang di sebelahku. Asap yang dikeluarkan mengepul menyesakkan dada. Aku terbatuk kecil, tetapi tetap berjalan. Aku tidak akan mengeluh. Aku tidak akan mendesah. Aku tahu, Tuhan punya suatu rencana yang baik untukku.
Tiba-tiba, ada sebuah kendaraan beroda empat dari arah belakang yang menyerempetku. Alhasil, tanganku lecet. Berdarah sih, tetapi tidak apa-apa. Demi menemui ibuku di rumah, saya terus berjalan tertatih, sedangkan kendaraan beroda empat tadi juga terus melaju.
Aku tersenyum. Dalam hati saya bersyukur, sebab Tuhan masih memberiku cobaan. Itu berarti Tuhan masih sayang padaku.
***
Aku terus menyemangati diriku sendiri untuk terus berjalan. Entah sudah berapa lama saya berjalan, saya tak perduli. Hanya ibu yang kupikirkan sekarang ini. Ibu sakit-sakitan. Jadi, hanya saya yang ia andalkan untuk menghidupi kami.
Kakakku sudah menikah dan merantau jauh nun disana. Ia tak pernah kembali, meski hanya untuk memberi sebutir nasi. Bapakku sudah meninggal ketika saya berumur 7 tahun. Miris memang. Namun, saya tetap mensyukurinya. Selagi masih ada ibu. Beliaulah kehidupanku.
Tanpa sadar, bulir-bulir air bening nan hangat mengalir di pipi. Aku menyekanya, dan terus berjalan sambil menyeret kaki. Panas memang, tetapi apa daya. Aku tidak memiliki sepeda yang akan kugunakan untuk bekerja.
Sambil menenteng keranjang yang dianyam ibu dari bambu, saya terus mengelap peluh yang menetes.
"Ibu..." bisikku lirih, hampir tak terdengar.
Suara bising dari pabrik membuat telingaku agak bermasalah.
"Tunggu saya hingga di rumah, Ibu... Aku membawakan makanan untukmu, Ibu... Tunggu saja," lanjutku bergumam sendiri.
Namun, tiba-tiba ada motor yang menabrakku. Aku terpental dan keranjang yang kubawa isinya berserakkan. Makanan yang kubawapun jatuh berhamburan di jalan beraspal ini. Aku melihat motor tadi melarikan diri. Dan saya juga melihat banyak orang yang berlarian menghampiriku. Aku meringis menahan rasa sakit, namun saya terus bergumam.
"Ibu, tunggu aku. Aku bawa makanan untukmu, Ibu... Tunggu saya di rumah," gumamku pelan dan semakin pelan. Sampai akhirnya, pandanganku kabur dan menggelap.
***
Aku tersadar dan membuka mata perlahan.
Terdengar samar-samar bunyi Ibu.
"Kamu kok mampu begini, Nak? Buat Ibu khawatir," ucap beliau.
"Ibu tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja kok," sahutku tersenyum.
"Baik-baik apanya? Ini berdarah semua kok bilang baik-baik saja," balas ibu. Aku tersenyum lagi.
"Bu, saya beneran nggak apa-apa. Nyatanya, yang berdarah cuma dahi, tangan, dan kaki aja. Sudah, ibu tidak perlu khawatirkan aku," ujarku berusaha duduk.
"Kamu istirahat saja, Nak. Biar ibu yang bereskan semuanya," perintah dia lembut.
"Oh ya, Bu. Maafkan Aan. Aan mengacaukan segalanya. Aan menjatuhkan keranjang dan membuat semua isinya berserakkan. Serta, makanan yang Aan bawa untuk ibu jadi kotor," sesalku menunduk.
"Aan, kau tidak salah apa-apa kok. Ibu yang seharusnya minta maaf sebab tidak mampu bekerja untuk menghidupi kita berdua. Tapi, ibu sudah sangat gembira denganmu, An. Jangan kecil hati. Ibu yakin, Tuhan simpan yang terbaik untukmu," jawab Ibu membelai kepalaku.
"Oh ya, tadi ibu sudah masak seadanya. Tidak apa, ya?" lanjut beliau. Aku mengangguk dan tersenyum sambil berbisik, "Ibu yang terbaik."
***
Buku Perdanaku Karya Quintania HB |
Keesokan harinya, saya kembali bekerja. Aku berjalan sambil menenteng keranjang berisi jajanan pasar yang akan kujual di pasar.
"Semoga hari ini daganganku habis, Ya Allah," harapku.
Tiba-tiba ada kertas iklan yang terbang dang terjatuh di depan kakiku.
"Kertas iklan?" gumamku bertanya.
Aku pun mengambil kertas iklan itu, dan membaca deretan-deretan kata yang terketik rapi.
"Lomba menulis? Benarkah? Aku akan coba untuk mengikutinya!" seruku senang. Aku sangat tertarik dalam bidang tulis menulis.
Aku melipat kertas itu, dan memasukkannya ke sakuku.
Aku pun kembali berjalan menuju pasar.
***
"Assalamu'alaikum!" seruku mengucapkan salam tatkala hingga di rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab ibu.
"Sudah pulang, Nak? Ayo makan siang dulu. Ibu sudah buatkan tahu goreng kesukaanmu!"
"Asyiik! Terima kasih, Bu!"
Aku dan ibu pun makan siang bersama dengan lahap.
Seusai makan siang, saya memberitahukan ibu ihwal lomba menulis tadi.
"Tapi kan, kau tidak punya peralatannya, An," komentar ibu ketika saya selesai bercerita.
"Ditulis tangan kan juga boleh, Bu," sahutku.
"Baiklah. Kamu tulis ceritamu semenarik mungkin, ya."
"Wah, terima kasih, Bu! Pasti! Aku akan membanggakan ibu!"
Setelah selesai menulis 6 halaman cerpen, saya pun merapikannya dan segera tidur sebab hari sudah malam.
Esoknya, saya mengantarkan cerpen itu ke alamat penerbit yang sudah tertera di kertas iklan kemarin.
Berjalan tanpa bantalan kaki dengan riang sambil membawa keranjang berisi jajanan pasar. Matahari masih belum sepenuhnya tampak. Lalu, saya berpikir. Sepertinya, kantor penerbit itu belum buka. Jadi, kuputuskan untuk mengantarkan cerpen itu siang harinya.
***
Selesai berdagang, saya merapikan tempatku berjualan dan berjalan menembus siang bolong dengan matahari yang memancarkan cahayanya.
"Apakah ini benar kantor penerbit itu?" pikirku ketika melihat bangunan berlapis beling menjulang tinggi dari bawah sini. Dua pohon palem ada di sebelah kanan dan kiri gedung itu. Hamparan rumput terbentang. Awan-awan mulai berarak di langit. Mulutku menganga mengagumi kantor penerbit ini.
"Ehem..." Tiba-tiba saja ada yang berdeham kecil. Aku tersentak dan menoleh.
"Cari siapa ya, Dik?" tanya lelaki bertubuh tegap yang ternyata seorang satpam disini.
"E-eh, mau ngirim cerpen ini, Pak," kataku gelagapan.
"Oh begitu. Silakan masuk, Dik," ajak bapak itu mempersilakanku masuk. Aku tersenyum seraya mengangguk.
Aku pun berjalan memasuki gedung beling itu. Kujelajahi seisi ruangan. Dan, kembali dikagetkan dengan petugas yang bertugas disitu.
"Dik, sedang apa disini?" tanyanya ramah.
"Oh ini, Kak. Mau kirim kisah untuk lomba," jawabku seadanya.
"Mari, duduk disini. Isi formulirnya dulu, ya. Lalu tanda tangan," ujar kakak itu.
Aku pun duduk dan mengisi formulir itu. Sejuk sekali rasanya di ruangan ini.
Setelah selesai mengisi formulir, saya diberitahu bahwa pengumumannya besok. Aku sudah tidak tabah lagi! Aku pun pulang ke rumah.
***
Esok harinya, saya berdiri lebih awal. Aku segera berangkat menuju pasar setelah pamit. Aku ingin cepat-cepat pulang dan melihat pengumuman lomba cerpen itu.
Perjalanan ke pasar jadi terasa lebih dekat. Berbeda dengan perjalanan pulang yang terasa lebih lama.
Sesampainya di kantor penerbit kemarin, saya segera mendatangi papan pengumuman dan membaca deretan nama yang menjadi pemenang lomba cerpen.
Juara 3: Adelia Wardani
Juara 2: Alif Putra Kencana
Juara 1: Anindito Arfiansyah
Mataku melotot, mulutku terbuka lebar.
"Ya Allah! Aku juara satu! Juara satu!" jeritku kegirangan.
Tiba-tiba ada bunyi tepuk tangan.
"Selamat ya, Aan. Kamu juara satu. Cerpen kau sangat bagus! Membuat kakak-kakak redaksi terharu. Kami pribadi memutuskan kamulah pemenangnya! Selamat, ya!" ujar kak Rofi, kakak yang kemarin menemuiku.
"Ini hadiahnya. Jangan mudah sombong, ya, atas hasil kerjamu," pesan kak Rofi seraya menyodorkan hadiah yang terdiri atas uang sebesar Rp10.000.000, piala, piagam, medali emas, dan sertifikat.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Kak. Pasti, saya tidak akan sombong," jawabku. Kak Rofi tertawa sambil mengacak rambutku. Aku pulang dengan gembira dan disambut tangis haru ibu.
"Selamat ya, Nak. Ibu sangat gembira kepadamu! Ibu tahu, kau pasti bisa! Dan Ibu yakin bahwa Tuhan akan berikan yang terbaik untukmu! Tuhan menjawab doa ibu selama ini. Terima kasih, Ya Allah!"
"Iya, Bu. Terima kasih atas doa dan dukunganmu. Sekarang, saya tidak akan takut dan ragu lagi untuk menulis!"
, TAMAT ,
Pesan: Jangan pernah mengeluh atas apa yang Tuhan berikan kepadamu. Masih banyak orang yang lebih memerlukan dari pada dirimu. Yakinlah, kalau Tuhan menawarkan cobaan kepadamu, berarti Tuhan masih sayang denganmu. Dan yakinlah, kalau Tuhan menyimpan yang terbaik untukmu.
Makasih yg udah mau baca :)
Profil Penulis:
Hai, ini cerpenku yang lain. Beri kritik dan saran ya! :)