BUKAN AKU TOKOH UTAMA
Karya Mimi.Dz
“Kembalikan ketika kau tidak lagi membutuhkannya,karena.......” kalimat itu sungguh mengganggu memoriku setiap melihat benda aneh ini. Padahal saya sama sekali tidak memanfaatkannya menyerupai yang ia katakan sebelumnya. Tapi kalimat itu membuatku gila, bathinku terasa berkecamuk sendiri alasannya yaitu hingga detik ini saya tidak bisa mengartikan kalimat singkatnya. Ingin rasanya saya menemui sosok rikuhku,aku ingin ia melanjutkan kalimat yang memotong pikiranku. Tapi dimanakah beliau sekarang? Apakah beliau sudah melupakan pinjaman yang sudah ia berikan padaku? Atau ia tidak inginkah saya mengembalikannya? Pikiranku kalut ketika mengenangnya, tak terasa air mata pun menetes mambasahi pipiku yang mulai memudar.
Badanku mulai panas cuek ketika ponselku berdering untuk pertama kalinya dipagi hari. Mataku seakan melotot ketika melihat layar Ponselku. Jantungku berdetak kencang. Tanganku masih mematung mengikuti mataku yang masih menatap lekat pada layar itu. Bathinku berumbuk, mendapatkan panggilan itu atau bergegas untuk pergi menempati akad dengan laki-laki pencercah harapanku. Namun entah hal apa yang membuat tanganku secepat kilat merenggut ponselku yang tergeletak diatas kasur. Ah..!! saya terlambat. Panggilan terputus.! Tut..tuuut.
Dua hal yang tidak bisa kulakukan dalam mengembalikan fokusku yang sempat membuyar. Pertama ketika saya melihat benda unik ini,benda yang sulit kujelaskan. Aku takut membuat Ariani sahabatku, sakit perut lagi karena memberi tahunya dengan sebutan benda yang super unik. Bagaiman tidak? Dia orang yang tidak bisa kuhitung berapa kali ia menahan tawa seketika kuperlihatkan benda bewarna hitam ini. Aku juga yakin ,semua orang akan menertawakanku setiap kali menyebutnya benda unik. Karena pada kenyataannya ia hanyalah sebuah benda yang biasa digunakan orang-orang untuk menulis lewat tintanya. Yah ! hanya sebuah pulpen dengan tinta hijau. Dan yang kedua yaitu ketika nomer telfon yang sudah tersimpan selama empat tahun di memeoriku. Setiap kali duabelas angka unik itu muncul dilayar ponsel, selalu menggetarkan tanganku untuk mengangkatnya. Aku ketakutan!!
Itulah yang menjadi kebiasaanku, namun bisa dibilang penyakit lucu dalam diriku. Karena untuk menyadarkan kembali membutuhkan lima menit hingga saya bisa memutar memoriku lagi. Aku tak butuh lagi waktu untuk menceritakan banyak hal kepada bathinku. Karena saya sudah terlambat sepuluh menit dari waktu yang sudah disepakati dengan bapak Mahmud dosen pembimbingku. Aku mulai merenggut satu persatu alat make-up yang sudah menungguku semenjak selesai mandi. Aku mulai memoles wajah ini dengan ganjal bedak yang biasa kugunakan setiap berpergian.
Arrrggh....! Aku terkejut ketika melihat wajah yang ada dikaca. Aneh tapi saya yang melakukannya! Kenapa saya melakukannya? Apakah kefokusanku mulai hilang lagi ,tapi saya sudah menyimpan Zix nama benda unikku. Nomer aneh yang kuceritakan pada Ariani juga tidak menelponku. Oh, kenapa ini? Wajahku tampak menor sekali dengan make-up yang saya gunakan sendiri ,tak biasanya saya dandan berlebihan menyerupai ini meskipun biasanya saya berangkat kerja. Apalagi hari ini saya hanya menemui dosen untuk mengambil materi acuan yang ku pesan sebelumnya. cantik tapi saya tidak suka terlihat beda hanya karena polesan make-up semata. Semua berantakan!!
Semua kembali buyar, aku mulai membersihkan wajahku dengan tissu. Seketika saya mempercepat tanganku, PONSELku berdering. “hari ini saya sibuk dikantor, tapi buku yang kau pesan kemaren sudah saya titipkan sama assisten saya. Dua jam lagi kau bisa menemuinya di daerah biasa .” Pesan dari bapak Mahmud membuat bathinku berteriak. Aku tidak tahu apakah kalimat bapak itu melegakan atau sebaliknya. Kamarku menyampaikan aura kasihan dengan tatapanku yang mulai sayup. kasurku seakan hendak menawarkanku kembali berbaring walau sejenak. Seharusnya saya merasa sedikit lega dengan SMS yang gres saja kubaca. Karena saya tidak perlu tergesa-gesa.
****
Bukan Aku Tokoh Utama Karya Mimi.Dz |
“Sebuah akad akan bermakna ketika kita saling menempatinya” kalimat itu tiba-tiba berada di inbox PONSELku, namun memoriku kembali mengingatkan pada seseorang yang pernah mengatakan kalimat yang sama dengan pesan gres itu. Janji terkadang bisa saja dibatalkan atau bahkan dilupakan, namun ingatan tidak pernah ingkar untuk menempati janjinya, hanya saja tindakan yang melalaikan semuanya. Mataku memperhatikan satu persatu setiap kata yang tersusun rupawan itu, bagaimana mungkin sama?
Mentari mulai menerjang di jendela kamarku, saya hampir kehilangan kefokusan lagi, namun secepat kilat saya menghapus pesan itu dan melupakan ihwal dia. Untunglah jurus yang diberikan Ariani berhasil kupraktekan. Ariani memang sobat terbaik. Sesaat saya melirik jam tanganku yang melilit di pergelangan kanan. Kedua jarum itu mengingatkanku untuk segera menemui seseorang yang akan menyampaikan kelangsungan skripsiku yang masih terbengkalai.
Aku merasa lega, karena tidak jadi bertemu dengan dosen super sibuk itu. Walau kadang ia terkesan menarik ketika mengunyah tulisanku dengan tinta hitamnya. Hanya mataku yang bisa mengartikan setiap coretan yang mengukir dikertas harapanku. Terlebih lagi ia masih berempati menjadi dosen pembimbingku hampir empat belas semester. Dua bulan sisa waktuku untuk bertindak lebih cepat sebelum dua aksara yang mengerikan itu membuatku merinding dan ennyah dari kampus yang memberiku pengetahuan selama enam tahun terakhir ini. D.O!! Itu tidak akan terjadi!
***
Rasa percaya diriku kian tumbuh ketika saya mendekati pintu kafe, di daerah ini saya akan menantikan sosok yang akan menyampaikan sedikit pencerahan terhadap file-file dilaptopku. Mobilku sengaja kuparkir di halaman parkir yang terletak di samping toko buku dan kafe. Tempat yang strategis. Suhu cuek ruangan ber-AC mulai merambati kulit rambutku meski saya sudah menggunakan jilbab double, bahkan hembusan dinginnya sanggup menusuk perasaanku dan membuyarkan keberanianku. Seorang waitres dengan ramah mempersilahkan saya masuk. Aku duduk di suatu daerah yang agak tersudut biar leluasa mengawasi sosok itu. Karena saya belum pernah bertemu dengannya. Mataku mulai mencari-cari sosok yang memakai kemeja abu-abu sesuai sms yang dikirim bapak Mahmud. Ku pesan mocacino coffe ketika pelayan menyodorkan menu. Saat pelayan itu pergi, kutarik nafas tiga kali karena kini saya merasa lega dalam kesendirian.
Menunggu merupakan dongeng yang akan berakhir dengan kebencian ketika seseorang hanya mendapatkan ketidakpastian dalam janjinya. Sembilan puluh persen sobat kerjaku tidak menyukai hal itu. sama sekali tidak! Namun lain halnya denganku, bagiku kata itu paksaan yang sekarang menjadi salah satu kesenangan tersendiri. Bagaimana tidak? Tidak hanya ditempat kerja saya menunggu klien atasanku yang sering melupakan rapat dan merubah bahkan membatalkan meeting. Lebih dekatnya,sama halnya ketika sekarang saya menunggu sosok yang belum pernah saya temui sebelumnya. Kekuatan yang membuatku sedikitpun tidak merasa lelah menunggu.
Tiga puluh menit telah berlalu, sosok yang saya tunggu belum dapat kutemukan. Mata yang mulai lelah mengawasi satu persatu pengunjung coffe ini. Anehnya coffe ini terasa sepi dari hari biasa, hanya ada beberapa pengunjung. Aku duduk paling pojok dari meja kasir cantik itu. “Apa mungkin masih pagi,jadi belum ada pengunjung”? tapi tidak mungkin! Biasanya saya kesini bersama Ariani daerah ini selalu ramai dengan pengunjung , terutama mahasiswa yang bosan usai dari toko buku. Mungkinkah ia tidak datang? Entahlah..........!! saya menghela nafas.
Lamunanku seketika terhenti ketika ringtone ponselku bergetar. Saat tanganku mengeluarkan ponsel itu dari tas tidak ada yang menelfonku. Mendadak nafasku seakan berhenti, coffe ini terasa menampar lamunanku lebih nyata. Ia mulai menghampiriku dengan langkahnya, perlahan namun penuh percaya diri , senyuman yang seakan menusuk jantungku, ia mempercepat langkahnya. Aku tak bergeming dengan sorot mata yang kian dekat dihadapanku. Tatapannya membuat mataku sulit berkedip. Bibirku kelu untuk menyapa terlebih dulu. Aku merinding! Tidak mungkin! Ini mimpi! Banthinku berteriak.
****
Tiba-tiba seorang waitres membangunkanku dengan lembut. “maaf mbak, coffe nya sudah mau tutup” kalimat itu membuat mataku berkeliling untuk meyakinkan kalimatnya. Benar! Beberapa waitres lainnya sibuk merapihkan kursi dan mengelap meja meskipun kelihatannya tidak kotor. “ oh, ia!” jawabku ketika ia meninggalkan saya yang masih setengah sadar dari tidurku. Tiba-tiba saya teringat sosok itu? “Mbak maaf . sebelum saya tertidur apakah ada laki-laki yang duduk dimeja saya?” tanyaku dengan nada rendah. “apa mbak,?” ia berbalik untuk memastikan apa yang saya katakan. “ maksud saya, sebelum saya tertidur apakah ada seseorang yang duduk dimaja saya?” ungkapku sambil menunggu jawabannya. “ hmm,, sepertinya tidak ada mbak!” timpalnya penuh keyakinan. “ oh. Terimaksih kalo begitu.” Ucapku sambil menarik tas dan melangkah ke kasir.
Batinku berdebat dengan halusinasiku. Bagaimana mungkin itu hanya sebuah mimpi,sedang saya mencicipi itu nyata. Apakah waitres itu berbohong? Tapi untuk apa? arrrghh... seharusnya saya menghubungi Bapak Mahmud untuk mengetahui kenapa orang itu tidak datang. Tapi saya malah tidak memikirkan hal itu. hatiku rasanya masih menyimpan senyum yang hadir di mimpiku ketika di coffe barusan. Dimana sosok yang menyampaikan Zix kepadaku. Sosok yang membuatku hingga kini masih sendiri. Sosok yang membuatku tidak lelah dengan kata menunggu walaupun itu tidak pasti. Seseorang yang saya sukai tanpa mengaharapkan balasan. Pemilik nomer yang tersimpan permanent di memeoriku walau mustahil ia akan menelfonku.
Dialah sosok yang selalu menajdi materi curhatanku selama ini pada Ariani. Dia berjulukan Zion. Kita sangat bersahabat ketika kami menuntut ilmu bersama di satu sekolah yang sama. Dia perjaka yang cerdas, ramah dan tak membeda-bedakan sobat dalam pergaulannya. Sejak ketika itu kami banyak berguru bersama, mengungkapkan ide-ide dan masa depan. Melakukan peran kelompok bersama, bahkan dialah yang selalu menyampaikan motivasi ketika nilai-nilaiku tidak mencapai KKM. Ia juga menjadi alasanku menolak perjodohan dengan Dendra yang di rencakan Ariani padaku beberapa waktu terkahir. Bukan hati yang menutup kedatangan cinta lagi namun cinta ini yang ingin menandakan kekuatan menunggu cinta yang usang.
Namun kini hanya ada kejauhan dan kenangan. Karena keuletannya menulis ia berhasil menjemput mimpinya di negeri impiannya. Sedang saya hanya pasrah menjalani kegagalanku yang tidak bisa mengikuti langkahnya ketika itu. Predikat lulusan terbaik di sekolah membuat ia terbang ke Australia sebagai peserta beasiswa dari pemerintahan Indonesia. Tidak hanya itu, karya-karya sastranya yang kian membumi di tanah air ketika masih di dingklik SMA membuahkan hasil. Melanjutkan tawaran mimipi yang pernah di tuliskan di halaman pertama catatanku. Pulpen bertinta hijau inilah yang terus membuka rangkaian ceritaku ketika bersama. hal itu juga yang membuatku alay dengan memberi nama Zix pada sebuah pulpen seorang penulis. Penulis yang akan meceritakan gemuruh bathinku kemaren, sekarang, esok dan nanti. Sebuah harapan untuk ia yang pergi meninggalkan sejuta kenangan.
***
Tak butuh waktu lama untuk hingga dirumah kecilku, alasannya yaitu saya tidak terjebak dengan macetnya kota jakarta. Perlahan saya memarkirkan mobilku didepan halaman rumahku. Mataku sesekali melirik sekeliling rumahku untuk memastikan tak ada yang mengikutiku. Perasaan menyerupai ini sudah menjadi kewaspadaan bagiku setiap pulang kerumah. Wajar karena saya tinggal sendirian! Nada memo diponselku mempercepat langkahku untuk masuk dan ke kamar. Tugas kantor!
Malam ini saya memilih untuk tidak mandi, saya hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Sebab saya harus menyelesaikan deadline laporanku dari kantor. Tanganku mulai meliuk-liuk diatas keyboard laptopku,sesekali ia mengeluarkan beberapa nada absurd yang menurutku sedikit menemani heningnya malam ini. sesekali tanganku terhenti sejenak dan memulainya lagi. Sesekali saya meneguk coffe hitam yang sempat kubuat sebelum saya duduk di kursi empukku ini. Setidaknya efek coffe ini bisa menemani hingga pekerjaanku selesai.
Embun telah hilang dari sudut pagi yang mengantarkannya pada mentari. Nyanyian tidur sudah berubah dengan lantunan lebih riang. Kesedihan akan luput karena sinar mentari akan menyampaikan kehangatan. Tapi tidak hari ini! karena pagi yang diramalkan sebelum saya tertidur melawan putusanku. Hujan. Aku selalu bersyukur ketika hujan membasahi seluruh permukaan bumi ini. Ia bisa menutupi kesedihan dengan rintiknya hingga menutupi air mata ketika bersedih, gemuruh yang melenyapkan isak yang ditahan sendiri. Hujan selalu sempurna memprediksi perasaanku. Ada apa di pagi ini?
Hujan yang membuatku manaruh ketakutan. saya melirik jam dinding kamarku yang seakan melaporkan untuk berangkat ke kantor. Aku mulai berkemas-kemas dan bergegas memanaskan mobil. Tampaknya hujan kali ini tidak membantuku malah menahanku untuk berangkat ke kantor. Sebab gemuruh itu menambah ketakutanku untuk keluar. Sejak berumur lima tahun petir sudah menjadi phobia-ku hingga sekarang. Suara itu terus menampar ubun telingaku walau kedua tanganku sudah berusaha menutupinya. Aku mencoba meraih ponselku untuk mengabarkan pihak kantor bahwa saya berniat untuk tidak masuk kerja hari ini. Dengan tangan gemeteran saya sembunyi di balik selimut, menyerupai yang di ajarkan ibu semenjak kecil. Aku tertidur.!
Ting-tong.... bunyi bel membangunkanku. Aku bergegas membuka pintu, namun tidak ada siapa-siapa di depan pintu yang gres saja di ketuk beberapa kali. Nyaris saya berteriak seketika menginjak sebuah kertas putih. Surat yang masih di amplop. Tanganku terasa kaku hendak membaca isi surat itu, kata demi kata membawaku pada sosok yang gres saja hadir di mimpiku. Semua terasa nyata. Mereka menikah. Mereka telah memberi senyum yang faktual pagi ini.Tidak ada yang tahu, padahal gadis ini tak banyak dari ceritaku, tapi dimasa depan dialah yang akan mengukir dongeng rupawan dengan tokoh utama ceritaku. Undangan yang bersih dan suci. Zion dengan Ariani.
End.
Profil Penulis:
Cerpen oleh :
Nama: Mimi Darwati
Kampus: UIN Jakarta
Email: mimidarwati74@gmail.com
@twitter: @mimi_dz0
IG: mimidarwati11