SHADOW ON THE PAST
Karya Roni Istianto
“Woy Ren mangkir lagi lu?” teriak bunyi yang sudah tidak abnormal lagi dari belakang ku.
“Gue tadi berdiri kesiangan”, jawabku sambil mengangkat tangan ku ke arah ibu kantin.
“Biasa ya buk”, kataku.
“Gue juga buk”, kata Angga yang eksklusif duduk disampingku, “yang bayarin Rendi” tambahnya.
“Hmm, gue lagi dah.” Jawabku dengan kesel kepada Angga.
“Eh, tadi kau dicariin anak semester satu”, Angga memulai pembicaraannya.
“Hmmm...”, jawabku singkat.
“Kok cuma hmmm.. sih, Pak Denis ngasih peran kelompok tuh, dah dari ahad kemarin, makannya jangan suka mangkir aja...” kata Angga.
“Terus...”, jawabku sambil meminum kopi pesananku yang sudah jadi.
“Ya kau satu kelompok sama anak semester satu itu, udah ngulang sering mangkir lagi. wkwkwk” ejek Angga sambil tertawa.
“Ya udah nanti gue samperin orangnya, bikin males aja dia. Kenapa nggak buat tugasnya sendiri sih, gue kan kakak tingkat seharusnya mampu ikut nama doang nantinya, emang siapa anak itu? ” omelku.
“Nggak perlu.”, bunyi cewek tiba-tiba terdengar dibelakang ku.
“Plak” bunyi cewek itu memukulku dengan buku.
“Aw..” teriak ku. “siapa lu?” tanya ku pada cewek yang gres saja memukulku.
“Wkwkwk, bakal ada perang dunia ketiga nih, beliau anak yang cari lu.” Angga tertawa terbahak-bahak sambil menyingkir dari kami berdua.
“Sialan nih cewek.”, gumam ku. “Ada apa?” tanya ku padanya.
“Rangkum episode 2 dari mata kuliah Pak Denis, jangan lupa buat power pointnya”. Katanya.
“Hah..” belum sempat saya melanjutkan perkataanku beliau udah memotongnya.
“Eit.. jangan membantah deadlinenya besok” sambungnya.
“what..?” tanyaku bingung.
“Mau lulus nggak?, nih no. Hpku jika ada apa-apa sms aja. Jangan lupa besok dikumpulin ke aku”. Katannya sambil pergi dari kantin.
Esok paginya saya pergi kekampus kesiangan lagi, saya berjalan perlahan bagai tanpa dosa ke arah kantin. Aku tidak mengerjakan apa yang disuruh oleh cewek itu. Dan ternyata beliau sidah menunggu di kantin. Setelah melihatnya saya lalu berbalik arah menninggalkan kantin.
“Eh mau kemana kak?”, teriaknya. Mati saya gumamku dalam hati.
“Mana tugasnnya?”, tanyanya.
“Belum gue kerjain”, jawabku.
“Kenapa belum dikerjain?” tanyanya sedikit panik dan marah.
“Mana mampu saya ngerjain, bukunya aja nggak punya” jawabku mencari alasan.
“Ya udah ini saya pinjemin buku, ayo dikerjain bareng”, kata cewek itu sambil mencari buku di tasnya lalu menarik tangan ku menuju ke dingklik kantin.
Karena dibantu cewek itu, ngerjain tuganya jadi lebih mudah dan cepat. “Pinter dan mengagumkan juga cewek ini, tetapi galak dan suka emosi” gumamku dalam hati sambil memandang wajahnya.
“Rendi?, jadinya kau sudah kembali..” kata Sony yang ternyata sudah ada dibelakang cewek itu. “aku rindu Rendy tiga tahu lalu” sambungnya.
Suasana jadi hening, cewek dan teman-temanku yang lainnya memandang ke Sony penuh dengan kebingungan. Sony melirik cewek itu sedikit.
“Namanya siapa dik?” tanyanya.
“Nadya kak”, jawabnya.
“Hah...”, saya dan Sony bersamaan tercengang kaget.
“Tidak mungkin” kataku dalam hati. “Benar-benar ibarat Ren” kata Sony. “Jaga dia” lanjutnya.
Kata-kata Rendy mengingatkanku wacana suatu hal, suatu hal yang ingin saya lupakan tetapi tidak bisa. Aku lalu berdiri dari kantin dan pergi meninggalkan mereka tanpa satu kata apapun, airmataku mulai menetes. Memang benar Sony satu-satunya sobat SMAku disini yang tahu masa laluku.
Semua kaget meihat Rendy meninggalkan mereka dengan wajah pucat. “Opss..” kata Sony. Sony yang orangnya bejana itu masih ragu-ragu wacana cewek ini.
Shadow on the Past Karya Roni Istianto |
“Apa bener nama kau Nadya?” tanyanya sekali lagi meyakinkan diri.
“Beneran kak” jawabnya sambil mengemasi tugasnya yang sudah selesai.
“Kamu tahu, Rendy itu sebetulnya pintar, baik hati, periang, suka bercanda dan membantu, beliau bukan pemalas dan hirau ibarat yang kita kira. Cuma ada suatu kejadian yang membuatnya ibarat itu” kata Sony menerankan pada temantemannya.
“Kejadian apa?” tanya Angga penasaran.
“Maaf saya tidak mampu mengatakannya kepada kalian, udah banyak keceplosan nih hari ini. Yang terang 3 tahun yang lalu, yang ada kaitannya dengan nama Nadya. Dia bahkan hampir tidak lulus SMA, padahal ketika kelas 1 dan 2 beliau selalu mendapat juara 1.” Jawab Sony menerangkan, lalu beliau berdiri bersiap untuk meninggalkan kantin.
“Kok aku, apa hubungannya dengan ku?” kata Nadya menyanggah.
“Kalau kau pengen tahu, tanyakan sendiri pada Rendy. Dia pasti ada dikursi ujung lorong lantai 2 gedung kita”. Kata Sony meninggalkan mereka.
Karena penasaran nadya pun mencoba menemui Rendy. Benar saja beliau ada ditempat yang disebutkan Sony. Sambil menghisap rokok yang dipegangnya wajahnya masih pucat dan ada bekas air mata dipipinya.
“Disini dilarang merokok” katanya sambil duduk didekat ku.
Aku kaget alasannya Nadya mengambil rokokku, beliau melanjutkan dengan olok-olokan kepadaku.
“Masa laki-laki kok nangis, dasar cengeng”.
Entah apa yang dipikirkannya, beliau ingin mengejek atau menghiburku. Tetapi saya tetap menatap awan dilangit tanpa menjawab pertanyaan dari Nadya. Suasanapun menjadi hening, Nadya hanya membisu saja, beliau ibarat memikirkan sesuatu. Tetapi saya tetap tidak mengeluarkan kata-kata apapun.
“Eh kak Rendy, peran dari pak Denis kan sudah banyak kubantu.. boleh dong saya minta permintaan..” Nadya memulai pembicaraan lagi. Tetapi saya masih melongo sambil melihat langit. “Kak saya mau kakak traktir makan ya.. sambil jalan-jalan...” katnya lagi. “Kak Rendy!!” suaranya agak keras sambil memukul kepalaku.
“Iya Nad” jawabku sepontan sambil melihat matanya. Dan tak terasa mataku mulai meneteskan air mata lagi alasannya melihat bola mata Nadya.
Siapa cewek ini, pikirku dalam hati. Apa beliau datang untuk mengingatkanku dan balas dendam wacana masa lalu itu, atau datang utuk memperbaiki hidupku yang telah hancur ini.
“Kok nangis lagi?” tanya Nadya padaku. “Ada apa.” Sambungnya.
“Nggak ada apa-apa kok” jawabku. “Kapan mau ditraktir makan?” tanyaku mecoba mengalihkan pembicaraan.
“Sabtu ini gimana” jawabnya.
“OK” jawabku balik.
Aku pun mulai erat dengan Nadya. Sudah beberapa kali kami jalan bareng. Mungkin ini hanya kebetulan tetapi ketika kami jalan bareng saya ibarat sudah kenal lama dengannya. Makanan, warna, daerah favoritnyapun sama ibarat Nadya yang kukenal dulu. Nadya ibarat mengajak ku untuk kembali kemasa laluku, dan itu juga yang membuatku ragu. Apakah saya akan melanjutkan kekerabatan ku dengan Nadya atau mengakhirinya saja. Aku tidak berani mengungkapkan perasaanku kepada Nadya alasannya saya takut kehilangan Nadya untuk kedua kalinya lagi.
Hari ini beliau mengajaku jalan-jalan ketaman kota. Dia bilang ingin bersama ku seharian. Aku sudah jadian dengannya 7 bulan yang lalu dan saya berfikir inilah saatnya saya memperbaiki semua yang telah saya lakukan dulu. Dan ternyata hari ini beliau mengejutkan ku. Bersama teman-temanku kita merayakan hari ulang tahunku. Hari ulang tahunku yang terakhir kali saya rayakan 3 tahun yang lalu. Aku sangat senang sekali hari ini. Dan Nadya menunjukkan ku hadiah.
“Apa ini?” tanyaku pada Nadya.
“Buka aja..” jawabnya. Setelah saya membuka hadiah dari Nadya saya tercengang kaget.
Dia menunjukkan ku kalung. Dan yang membuat saya kaget ialah kalung itu ada aksara “N”nya. N yang berarti berakhir. Sama ibarat tiga tahun lalu Nadya menunjukkan kalung persis ibarat ini. Kalaung yang masih saya simpan dirumah yang tidak berani saya pakai. Saat Nadya ingin memamakaikannya kepadaku saya menolaknya. Aku sekarang ibarat seseorang yang pucat ketakutan. Semua heran atas perilakuku dan Nadya agak marah alasannya saya menolak pemberiannya didepan teman-temanku.
Aku berjalan keluar dari rumah makan tempatkamu merayakan ulang tahunku dan diikuti oleh Nadya. Terjadi pertengkaran disana.
“Kamu siapa sih, dan kenapa datang kesini?” perkataan ku pada Nadya waktu itu.
“Apa?” jawabnya bingung.
“Sebenarnya kau itu mencintaiku tidak sih. Kita sudah pacaran 7 bulan, tetapi saya menganggap kau tidak mencintaiku, tetapi mencintai orang lain. Dan sekarang kau bertanya kepadaku saya siapa dan kenapa datang kesini?” kata Nadya menangis tersedu-sedu dan berjalan meninggalkan ku menyeberangi jalan. Dia menyeberangi jalan walaupun ketika itu lampu lalu lintas masih hijau. Aku lari dan berusaha untuk mencegahnya, tetapi sudah terlambat. Dia terserempet kendaraan beroda empat dan dibawa kerumah sakit.
Aku marah dan kecewa kapada diriku sendiri. Sekarang saya menunggunya dirumah sakit. Dia pingsan, tetapi sudah siuman. Dia tidak mau menemui ku jadi selama 2 hari ini saya hanya menunggunya diluar kamar rumah sakit. Kenapa saya begitu terbelakang pikirku,aku hampir saja membunuh Nadya untuk kedua kalinya. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan ku 3 tahun yang lalu. Ya... akulah yang membunuh Nadya tiga tahun yang lalu. Aku membunuh orang yang benar-benar saya cintai.
Hari ini saya pulang kerumah. Ada sesuatu yang harus saya renungkan. Apakah ini yang disebut karma?. Aku mulai mengingat-ingat dongeng 3 tahun yang lalu. Andai saja 3 tahun yang lalu saya tidak menyuruh Nadya untuk pergi. itu semua pasti tidak akan terjadi. Saat itu saya sedang marah sekali melihat Nadya bersama laki-laki lain. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri beliau selingkuh. Saat itu beliau berusaha menjelaskan semuanya tetapi saya malah mebentaknya. Menyuruhnya pergi dari hadapanku bersama laki-laki barunya itu. Sebetulnya Nadya tidak ingin pergi, tetapi laki-laki itu menarik tangan Nadya memeluknya dan membawanya pergi dari ku. Sehari setelah itu Nadya menelponku beberapa kali tetapi saya tidak mengangkatnya. Lalu beliau mengirim SMS kepadaku mengajak saya ketemuan, tetapi tidak saya hiraukan. Dan sore harinya saya mendpat kabar bahwa Nadya telah meninggal gara-gara kecelakaan setelah ingin pulang kerumah dari daerah dimana beliau mengajakku bertemu. Andai saja waktu itu saya datang untuk bertemu denganya. Pasti beliau tidak akan mati. Andaiku lagi. saya sekarang amarah sekali pada diriku sendiri. Bahkan saya tidak datang kepemakamannya. Betapa jahatnya saya ini.
Aku keluar rumah utuk berjalan-jalan menghirup udara segar. Aku terhenti didepan rumah Nadya. Aku melongo dan tersenyum sendiri. Dulu saya sering kesini untuk bermain bersama Nadya. Aku sudah lama berteman dengan Nadya dan sudah dari kelas 1 SMA kami pacaran hingga kelas 3 kita tidak ada pertengkaran serius. Keluarga Nadya juga sudah erat denganku.
“Kak Rendy” teriak seseorang membuyarkan lamunanku. “Kamu kak Rendy kan, sudah lama tidak bermain kesini. Ayo kak kesini, ibu kangen lho.” Katanya. Oh, ternyata beliau ialah Jimi adik dari Nadya.
“Hay Jim, sudah besar kamu. Sekarang kelas berapa?” sapaku pada Jimi.
“2 SMP kak”. Jawabnya.
“Eh Rendy ayo masuk kenapa diluar aja”. Kata ibu Nadya datang dari dalam rumah. Mungkin beliau keluar rumah alasannya mendengar bunyi Jimi mengatakan namauku.
“Oh makasih bu, saya Cuma jalan-jalan kok. Mau menghirup udara segar”. Kataku malu-malu menolak seruan Ibu Nadya. Aku masih merasa bersalah dengan apa yang telah saya lakukan.
“Ayolah kak, mampir sebentar, ibu kanget banget lho sama kakak”. Bujuk Jimi. Aku pun jadinya masuk kedalam rumah Nadya. Aku benar-benar menjadi merasa bersalah setelah ingat apa kata-kata Ibu Nadya kepadaku ketika saya kesini dulu.
“Ren kau disini sudah saya anggap anak sendiri, tolong jaga Nadya dan buat beliau selalu tersenyum ya”. Katanya waktu itu.
SDan jawabku ialah “siap bu”.
“Maaf bu” tiba-tiba ketika itu mulutku mengucapkan katakata itu. “Aku tidak dapat menepati janjiku” lanjutku.
“Janji apa?” tanya Ibu Nadya heran. “Sudah lah Ren, yang berlalu biarlah berlalu. Ibu bergotong-royong juga merasa duka tetapi tuhanlah yang menentukan semuanya, mungkin ini sedah menjadi takdir Nadya. Biarlah Nadya hening disurga”. Kata Ibu Nadya mencoba menghiburku.
Aku berkeliling kerumah Nadya dan berfikir sudah lama sekali ya Nad. Semoga kau bahagia disurga. Aku gres teringat bahwa dulu Nadya mempunyai buku diary. Aku mencoba menanyakanya kepada Ibunya Nadya.
“Apa barang-barang milik Nadya masih ada bu?”.
“Barang apa?”, tanyanya padaku.
“Seperti buku diarynya, apa masih ada?”. Jawabku.
“Sebentar saya cari dulu” kata Ibu Nadya sambil mengajaku pergi kekamar Nadya.
“Ini.. ibu masih menyimpanya. Semua barang Nadya masih ada disini. Kamarnya pun masih sama ibarat dulu, saya tidak ingin melupakan Nadya” kata ibunya Nadya kepadaku.
“Boleh saya mebawanya?” pintaku.
“Boleh” jawabnya. Akupun segera pamit untuk pulang alasannya bila saya berlama-lama dirumah Nadya pasti akan membuat ibunya Nadya menangis duka alasannya mengingat Nadya.
Setelah hingga dirumah saya mulai membaca diary Nadya. Betapa kagetnya saya membaca halaman terakhir di diarynya. Hari dimana beliau meninggal. “Betapa bodohnya diriku ini. Aku telah melakuakan suatu kesalahan besar, kenapa saya selingkuh padahal Rendy begitu nrimo mencintaiku, saya tidak pernah melihat Rendy semarah itu kepadaku. Aku akan mencoba untuk memperbaiki semua ini, meperbaiki kesalahan yang telah saya lakuakan. Aku masih mencintai Rendy dan berjanji untuk tidak selingkuh lagi, saya harap Rendy mau mempercayaiku. Apabila kita tidak mampu bersama lagi. dan Rendy membenciku. Dan saya tidak ada lagi. saya ingin menebus semua kesalahanku. Ya Tuhan tolong berikan wanita yang benar-benar Rendy cintai yang mampu membahagiakan Rendy dengan tulus. Aamiin.”. tulisnya.
Ya.. sekarang saya mengerti, mengerti semua perasaan Nadya. Terima kasih Nadya telah mencintaiku. Aku bersyukur untuk itu. Tapi sekarang saya harus menatap masa depan. Biarlah masa lalu ini tetap diingatan ku. Ini akan membantuku untuk melangkah lebih jauh lagi. Mungkin Nadya yang sekarang berada di rumah sakit ialah kiriman dari Nadya yang sekarang berada di surga. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya lagi. saya sekarang benar-benar yakin bahwa saya mencintai Nadya dan tidak akan ku biarkan Nadya pergi dari ku. Sekarang saya harus kerumah sakit untuk meminta maaf kepada Nadya dan memulainya dari awal lagi.
Profil Penulis: -