A Little Heart's Mistake Karya Mutiara Multama Ikhsani

A LITTLE HEART'S MISTAKE
Karya Mutiara Multama Ikhsani

Suatu bentuk perasaan yang saya sendiri enggan terlibat didalamnya. Suatu bentuk perasaan yang terpaksa saya pungkiri. Sejenis gundah yang entah kapan tibanya disini sehingga tak memberi ruang bagiku untuk lari. Lalu setiap kali melihatnya saya merasa lebih senang. Kemudian hanya dengan berada bersahabat denganya, melihatnya tertawa, mendengar suaranya, saya merasa lebih bahagia. Namun mungkin saja kurasa semua hanya mampu hingga disini. Lebih dari itu sangat takut untuk ku bayangkan. Mungkin saya tidak terlihat baginya. Karna ia menganggapku tidak ada. Genta namanya. Dia yaitu sahabat sekelasku yang selalu mendapati juara satu dikelas. Sekaligus tetanggaku. Anehnya, kami tidak pernah saling menyapa. Genta pindah kesebelah rumahku ketika saya duduk dibangku SMP kelas tiga. Hingga ketika kami sekelas ketika ini dikelas dua SMA, genta seakan menyerupai tidak pernah melihat dan mengenalku. Apa ia membenciku? Apa ia begitu membenciku? Namun apa saya telah berbuat salah? Tapi salahku apa? Begitu banyak sekian tanya yang ingin saya lontarkan kepada genta. Namun, saya tidak berani. 

Pernah ketika guru menyuruhku mengembalikan buku latihan genta, genta tidak mengucapkan apa-apa, jangankan mengucapkan terimakasih, menoleh saja tidak. Semenjak itu, saya merasa ada yang asing dengan genta. Aku selalu mulai memperhatikannya. Selalu bertanya-tanya kenapa ia bersikap menyerupai itu. Sampai akhirnya, saya menemukan diriku menyukainya ketika setahun yang lalu ketika kami dikelas yang sama. Aku tidak begitu mengerti kenapa saya mampu menyukai orang menyerupai itu. Tetapi, mungkin wajar-wajar saja kalau saya mengagumi seorang juara kelas. Namun, saya hanya cewek yang biasa-biasa saja. Tidak begitu menonjol didalam kelas. Wajahku juga tergolong sangat biasa-biasa saja. 

Namaku Kina. Sekarang duduk dibangku SMA kelas dua. Sudah dua tahun ini saya dan genta sekelas. Hari-hari asing yang saya lewati bersama genta terus berlanjut. Rasa kesal yang tidak mampu saya lontarkan, rasa kagumku terhadap genta yang jenius itu, dan... rasa suka yang masih saya bungkam selama dua tahun ini. Ya. Aku menyukainya. Sejenis suka yang sederhana. Aku tidak pernah berharap lebih. Aku lebih terpaku pada kenyataan. Kenyataan bahwa ia sangat tidak mungkin menyukaiku balik. Tapi bukan itu masalahnya. Akupun baik-baik saja dengan hal itu. Aku hanya takut berharap lebih, takut terlanjur berharap, takut tiba-tiba rasaku melebihi apa yang kuharapkan. Benar, saya tidak mengharapkan apa-apa darinya. Aku cukup, hanya menyukainya. Sejenis suka yang tidak akan pernah saya ungkapkan. Sejenis suka yang bahwa hanya dengan menyukainya saja sudah cukup.  Lagipula tidak akan saya biarkan ia tau sekarang maupun nanti. Merasa cukup hanya dengan menyukainya. Belajar berjanji bahwa saya tidak akan mengharapkan apa-apa. 

Awalnya, kupikir mungkin normal-normal saja menyukai seseorang menyerupai genta. Namun kenyataannya ia sama sekali tidak menganggapku ada. Saat berpapasan pun ia menyerupai tidak mengenalku. Padahal sudah dua tahun saya sekelas dengannya, sikapnya yang menyerupai itu terhadapku membuat saya bertanya-tanya apa sesungguhnya kesalahan yang sudah saya perbuat. Dia keliatan menyerupai biasa-biasa saja. Hal ini yang selalu membuat saya kesal. Terkadang ingin rasanya saya tanyakan dengan tegas, kenapa tidak pernah menyapaku? Namun saya tidak mempunyai keberanian. Setiap ada kesempatan kecil menyerupai misalnya genta berjalan didepanku ataupun sedang duduk didekatku, namun saya selalu ciut untuk menyapa genta. Entah mengapa. Mungkin alasannya yaitu saya orangnya memang begini. Selalu kikuk menghadapi hal menyerupai ini.

Hari ini panas matahari sangat terik. Setibanya dirumah sehabis pulang sekolah, saya mendapati keadaan rumah kosong. Tertulis sebuah note didepan pintu kamarku yang mengatakan mama dan papa pergi ke Surabaya menghadiri janji nikah tante-ku selama dua hari. Selagi membaca note yang ditulis mama, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Aku bergegas membukakan pintu. Setelah tau siapa yang membunyikan bel, saya kaget bukan kepalang. Panik menyerangku ketika saya membuka pintu rumahku mendapati genta bangun dihadapanku.Genta telah bangun didepan pintu rumahku sambil membawa kotak makanan ditangannya. Bagai disambar petir disiang bolong, saya mematung tidak tau apa yang harus saya katakan. 

"Nih, mama tadi masakin makanan. Karna tahu kau lagi sendiri dirumah, mama lebihin ini buat kamu, mama gak mampu ngantar karna mesti nyiapin makanan lain" kata genta panjang lebar. 
Yaampun. Apa ia benar-benar genta? Atau ini cuma mimpi? 
"Ma..makasi ya gen" jawabku gemetar sambil mendapatkan kotak makanan yang disodorkannya. "Bilang makasi juga ya buat mama kamu" timpalku cepat sebelum kelupaan kata-kata alasannya yaitu kini pikiranku benar-benar kosong. 
"Oke. Sama-sama. Udah dulu ya" jawabnya singkat. 

Aku masih saja terpaku ditempat. Melihat punggung genta yang sudah berlalu. Tidak menyangka akan kejadian ini. Mungkin ini hanya suatu percakapan yang lumrah dan biasa-biasa saja. Namun bagiku tidak. Ini pertama kalinya genta berbicara denganku. Aku senang sekali. 

Keesokan paginya, dengan senandung-senandung pelan saya berlari kecil dari gerbang sekolah menuju kekelas. Aku memang tidak mampu menyembunyikan rasa senangku. Membayangkan bagaimana nantinya kalau bertemu genta. Tiba-tiba keberanian-ku sedikit muncul. Aku ingin mencoba menyapa genta dengan senyuman ketika berpapasan dengannya, ketika hal itu saya praktekan, genta malah menyerupai akal-akalan tidak melihatku. Apa maksudnya? Apa ia sengaja? Aku tidak mengerti dengan genta. Tidak hanya sekali genta menyerupai itu. Aku tidak tahan dengan sikap genta terhadapku. Aku menghampiri genta ketika genta hanya berlalu didepanku barusan. 

"Genta!" Panggilku dengan bunyi yang cukup lantang. Genta membalikan badannya dan menghampiriku. 
"Ada apa?" Tanya genta dengan muka masam. 

Aku lagi-lagi kecut. Entah kenapa kalau didepan genta saya merasa ciut. Mungkin karna saya menyukainya. Dan lagi, memang menyerupai inilah aku. Kikuk dan tidak percaya diri. 

"Anu.. Begini genta.." Tuh kan, saya gugup. 

Aduh kenapa sih ini, gotong royong apa yang mau kukatakan? Aku kembali ciut dan memutar otak mengganti topik yang ingin kubicarakan. Tiba-tiba saya ingat hari ini ada PR kimia, kenapa saya tidak tanya perihal itu saja dulu? Aku takut salah ambil langkah nantinya kalau kukatakan dengan perasaan emosi menyerupai ini. 

"Aku nggak begitu ngerti kimia". 
"Iya? Trus? Minta diajari?" Tanya genta. 
"Iya. Itu maksudku. Cuma satu soal kok" Balasku. 
"Soal yang mana?" Tanya genta mendekat kearahku. 
"Yang ini loh nomor 5, saya gak begitu ngerti" Jawabku sambil menyodorkan LKS kepada genta. 
"Iya, nanti saya pahami dulu, sekarang saya lagi lapar. Mau ikut makan gak?" Balas genta. 

A Little Heart's Mistake  Karya Mutiara Multama Ikhsani

Ya ampun. Apa genta selalu begini? Kenapa saya selalu sekaget ini ketika bertemu dengannya? Selalu saja sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi malah kejadian. 

"Boleh. Kebetulan banget, saya belum makan kok" Jawabku gelagapan. Usai pelajaran, genta menghampiriku. 
"Ini udah saya isi lengkap sama penjelasan" sambil menyodorkan LKS milikku. 
"Makasi ya gen" Ucapku. 
"Iya sama-sama" Balas genta lalu pergi meninggalkan kelas. 

Aku tidak mampu menyembunyikan senangku. Begitu punggung genta tidak nampak lagi, saya melompat-lompat kegirangan. Genta. Apa saya boleh menyukainya?

Sepulang sekolah, saya kaget tiba-tiba saya melihat Inara bangun didepan pagar rumahku. Inara yaitu sahabat SMP ku dulu yang juga merupakan tetanggaku. Dia yaitu sahabatku, dari SD kami sudah saling kenal walaupun tidak satu sekolah. Aku mengenal Inara ditempat kami sama-sama les bahasa inggris. Namun, ketika lulus SMP keluarga Inara pindah keluar kota. Sehingga kami tidak pernah bertemu lagi sejak itu. 

"Inara? Ini benar kau ina?" Ucapku dengan mata berbinar-binar. 
"Iyaaa! Aku kangen banget sama kamu" Teriak inara sembari memelukku erat. 
"Tapi saya disini cuma beberapa minggu, nenek lagi sakit, saya sementara ditugasin buat jaga nenek" Jelas inara. 

Nenek inara memang masih tinggal dikomplek ini. Namun karna pengasuh nenek sedang sakit, Inara lah yang beberapa ahad ini menjaga nenek. 

"Oh gitu. Yaaah Cuma beberapa ahad ya. Tapi gapapa. Kamu mampu kesini aja saya udah seneng" Balasku. Tiba-tiba wajah Inara nampak kaget. 
"Kina, i..itu genta kan?" Tanya inara gugup. 
"Iya. Kamu masih ingat Loh kau kenal genta?" Jawabku heran. 
"Aku belum sempat menjawab pernyataan cinta genta dulu" Balas Inara. 

Aku kaget. Sangat. Detik itu juga tubuhku melemah. Aku terpaku. Terkelu. Terbisu. Apa maksudnya? Sejak kapan genta menyukai Inara? Kenapa saya gres tahu? 

"Genta suka kau Inara? Kapan genta nembak kamu?" Tanyaku. 
"Waktu genta baru-baru pindah. Waktu kita kelas tiga SMP. Ingat gak waktu itu kita mencar ilmu bareng dirumah nenekku?" Jelas inara. 
"Iya saya ingat. Tapi saya gak pernah liat genta waktu itu. Aku malah pertama kali ketemu genta pas kau udah pindahan" Terangku. 
"Iya emang ia gak muncul. Waktu itu ia nembak saya pakai surat melalui temennya, Revel. Ingat Revel kan?" 
Aku mengangguk. 
"Waktu itu saya gak tahu siapa yang ngirim surat, saya malas baca, trus saya bilang ke si revel kalau saya udah suka sama orang lain. Nah, belakangan saya tau liat revel upload foto berdua Genta diakun media sosialnya dan nge tag nama Genta. Aku ketemu juga gres kali ini" Jelas Ina. 

Aku masih menyerapi kata-kata Inara barusan. Inara menceritakan kronologi kejadiannya setelah jadinya pamit pulang karna tidak mampu meninggalkan neneknya terlalu lama dirumah sendirian. Aku gres mengerti. Makara begitu. Apa ini jawabannya? Apa karna genta ditolak temanku Inara, ia jadi membenciku? Mungkin inilah jawabannya kenapa genta begitu. Aku lega sudah tahu jawabannya. Ternyata begitu. Tapi, kenapa mataku mulai memerah? Aku kan nantinya sudah tidak penasaran lagi kenapa genta memperlakukan saya begitu. Lalu kenapa? Kenapa hatiku kacau begini? Kenapa rasanya lebih baik saya tidak mengetahui semua ini? Setidak-tidaknya seumur hidup saya tidak akan penasaran lagi. Aku tidak akan bertanya-tanya lagi dan berusaha biar saya mampu mengakhiri rasa suka ini dengan tenang.

Pagi ini entah kenapa, saya kurang bersemangat. Ketika jalan dengan wajah lesu menuju kelas melalui koridor, saya mendapati Genta berjalan disampingku. Aku kaget. 

"Pagi, Kina" Ucap genta dengan senyuman. Loh? Genta kenapa? Kesurupan jin apa pagi-pagi begini menyapaku dengan senyuman begitu? 
"Pagi juga gen" Balasku salah tingkah. 
"Kenapa? Kok lesu gitu? Belum makan?" Tanyanya. Hah? Aku gak salah dengar? Ada apa sih? Selalu membuatku terkaget-kaget begini. 
"Haha. Enggak kok. Aku begadang semalam nonton TV" Jawabku. 
"Ooh gitu. Lain kali jangan begadang. Nanti gendut lho. Aku duluan ya" Balasnya enteng sambil berjalan duluan melampauiku. 

Haha saya gak salah dengar nih? Tuh kan. Gimana saya mampu dengan enteng mengakhirinya dengan tenang? Baru pagi-pagi begini saya sudah senang disapa begitu. Baru saja kedekatan ini berjalan lancar. Namun, saya tidak mampu begini. Inara bilang ia juga menyukai genta. Inara membaca surat genta sesudah kepindahannya ke Kalimantan ketika Inara hendak menata kamarnya, ia menemukan sebuah surat berwarna merah kemudian membacanya. Hari itu inara menyesal mengatakan ia menyukai orang lain. Namun ia segera melupakannya karna pikirnya ia tidak akan bertemu genta lagi. Saat ini, yang harus saya lakukan yaitu mendukung Inara.

Aku dan genta beberapa hari ini sudah ngobrol menyerupai layaknya sahabat sekelas sekaligus tetangga. Kami cukup bersahabat karna genta selalu mengajakku ngobrol setiap harinya. Mulai dari menghampiri mejaku, mengajak pulang bareng, dan lain-lain. Jujur saya senang mampu bersahabat dengan genta, namun bukan berarti saya lupa diri. Aku akan berusaha terus mengingat bahwa Genta hanya sahabat sekelas sekaligus tetangga dan juga orang yang menyukai temanku, Inara. Beberapa hari kemudian, saya iseng ingin menanyai genta perihal Inara, apa respon genta ketika saya bilang bahwa Inara sepulang sekolah ini akan menjemputku. 

"Genta" Panggilku ketika genta melahap nasi goreng dikantin bu Tita. 
"Eh Kina. Udah makan?" Ajaknya. 
"Iya. Aku udah pesen" Jawabku. 
"Genta kau masih ingat Inara gak?" Tanyaku. 
"Inara siapa? Kelas berapa? Anak SMA kita?" Balas genta sambil melahap nasi gorengnya. Loh? Kok ia tidak mengenal Inara? Apa ia lupa nama Inara? Iya. Mungkin ia lupa. 
"Inara sahabat saya waktu kelas 3 SMP. Aku sering main kerumah neneknya waktu itu. Setelah inara pindah, saya sama Revel sering main kesana. Kamu kan juga ikutan Revel waktu itu" Jawabku sembari mendapatkan nasi goreng dari bu Tita yang sudah tersedia dimeja. 
Genta tercekik dan terbatuk-batuk. Entah karna makannya cepat sekali, saya menyodorkan mineral kepadanya. "Hah? Itu nenek inara? Bukannya itu rumah nenek kamu?" Ekspresi genta tiba-tiba terlihat kaget. 
"Enggak kok, nenek ku udah meninggal. Siapa bilang itu rumah nenek ku?" Tanyaku heran. 
"Si rev.. Eh bukan sih. Dia juga gak bilang" Genta berpikir keras. Terlihat dari kerut keningnya sembari mengangkat alis. 
"Trus? Kenapa panik gitu?" Balasku heran. Genta menepuk jidatnya sendiri sembari mengatakan dengan pelan 
"Sial!" namun terdengar olehku. Sial? Apa maksudnya? 
"Kamu kenapa?" Tanyaku masih bingung. 
"Aku pergi dulu ya. Ada urusan." Genta terburu-buru berlari meninggalkan kantin. 

Apa genta sebegitu kangennya dengan Inara hingga lari terbirit-birit begitu? Mungkin saja iya. Suatu kebahagian tersendiri bagi genta karna sudah lama tidak bertemu dengan orang yang sudah lama disukainya.

Pada pelajaran berikutnya, genta tidak terlihat didalam kelas, tas nya juga sudah tidak ada didalam kelas. Aku mulai bingung. Ada apa dengan genta? Apa benar genta sekangen itu? Sepulangnya sekolah, saya berjalan dengan langkah gontai. Tiba-tiba saya melihat Inara berbicara dengan genta didepan pagar rumahku. Apa yang mereka bicarakan?Apa Inara sudah jadian dengan Genta? Langkahku makin melemah. Aku hanya akan terus berjalan dan menyapa inara, lalu masuk kedalam rumah, mandi, lalu tidur. Begitu rencanaku. Ketika saya mendekati mereka berdua, inara tersenyum kepadaku, 

"Hei, maaf ya saya tadi gak mampu jemput" Ucap inara. Biar kutebak, pasti mereka sudah jadian? 
"Gak papa, saya ngerti kok. Kalian lanjutin aja. Aku mau masuk dulu ya" Jawabku dengan senyum ramah sembari menyapa genta. 
"Hei gen, lanjutin aja. Aku masuk dulu ya" Belum sempat saya melangkah membuka pagar rumah, genta sudah menahan tanganku. Aku terang kaget. 
"Tunggu kina. Aku mau ngomong" Tahan genta. 
"Ada apa gen?" Tanyaku masih bingung. 
"Genta mau jelasin semuanya sama kamu. Aku juga udah salah paham. Nih saya kembaliin surat kamu" Timpal inara sambil menyodorkan sebuah amplop merah. 
"Maksudnya ini apa?" Tanyaku makin galau dengan keadaan ini. 
"Biar genta yang jelasin ya, saya balik dulu aja ah, gak enak gangguin kalian. Genta, maaf ya, trus makasih udah memperjelas semuanya lo. Kina, nanti certain kelanjutannya ya" Jawab ina dengan senyuman, lalu pergi meninggalkan saya dan genta. Sementara saya malah makin dibikin galau dengan semua ini, 
"Kina." Panggil genta pelan. 
"Ini maksudnya apa gen? Surat ini punya saya itu maksudnya apa?" Tanyaku. 
"Aku mau jelasin semuanya hingga akhir, kau jangan kaget ya. Kamu cuma perlu dengerin ini hingga akhir" Jawab genta lembut. Sejak kapan genta begini? Kesurupan jin baik mana anak ini? Aku hanya mengangguk. 
"Jadi gini, saya ngasih surat itu dulu buat kamu. Tapi saya gak berani. Aku kasih surat itu ke revel 3 tahun lalu. Aku salah paham. Aku kira itu rumah nenek kamu. Abis, kau bersahabat banget sama nenek inara waktu itu. Aku malah suruh revel buat ngasih surat itu ke cucu nenek. Aku pikir itu nenek kamu. Dan revel tentunya ngasih surat itu ke Inara tanpa tahu yang saya maksud itu yaitu kamu" Terang Genta panjang lebar. Aku terdiam. Aku kembali meresapi apa yang dikatakan genta. Makara yang dimaksud genta yaitu ketika itu genta hendak memberiku sebuah surat namun ia salah paham bahwa ternyata ia menerka saya yaitu cucunya nenek Inara? Sejak kapan ia menyukaiku? Lantas apa yang ia sukai dariku? Aku tidak mengerti. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini nyata. Bahwa ini bukanlah mimpi. 
"Kina? Say something dong." Timpal genta lagi. 
"Bentar. Kasi saya waktu buat nyerapin kata-kata kamu" Balasku. 
"Tapi, kenapa saya gen? Aku sementara belum kenal sama kau waktu itu bahkan kau belum pernah ketemu aku. Gimana bisa?" Tanyaku setelah sedikit demi sedikit paham situasi sekarang ini. 
"Hm.. Apa mesti saya jawab sekarang juga nih?" Balas Genta ragu. Aku tidak menjawab, membisu menunggu apa yang dikatakan genta selanjutnya. 
"Oke. Aku jawab. Jujur, waktu pertama kali pindah kesini saya sama mama kerumah kau untuk yang pertama kalinya. Aku liat kau lewat menuju dapur, lalu tersenyum kearah mamaku, kayanya kau gak terlalu merhatiin aku, makanya kau gak sadar saya ada disitu. Mungkin ini alasan konyol, alasan yang mungkin kau sulit pahami. Tapi ini emang benar adanya. Hari saya lihat kau untuk pertama kali, hari pas kau senyum buat mamaku, hari itu juga saya suka sama kamu. Suka sama senyum kamu. Wangi kamu. Aku masih ingat. Kedua kali saya ketemu kau waktu saya diajak revel main, hari itu kami lewat depan rumah nenek Inara yg awalnya saya sangka itu rumah nenek kamu. Sekilas saya liat kau lagi ngobrol sama neneknya Inara, kau keliatan sayang banget sama neneknya inara. Kamu masih sering ngunjungin kan? Aku jadi ingat nenekku yang udah meninggal. Waktu itu saya juga ikutin kau pulang, kau bersenandung pelan sambil berlari kecil pulang kerumah. Dan hari itu juga, saya sadar kalo saya suka kamu. Kamu orang yang penuh semangat lebih dari yang terlihat. Kamu lebih sering munculin sisi murung kamu. Tapi gotong royong dibalik itu kau yaitu eksklusif yang ceria dan terlihat nyenangin." Jawab Genta panjang lebar. 

Pipiku merah menyerupai kepiting rebus yang sudah masak. Aku terus mengingat setiap detail kejadian yang diceritakan genta. Ternyata genta sudah menyukaiku dari awal. Sebelum saya menyukainya. Sebelum saya mengenalnya.

"Lalu, kenapa selama ini kau jauhin saya begitu?" Tanyaku masih penasaran dengan perlakuan genta dulu. 
"Itu karna kau bilang kau menyukai orang lain. Ternyata Inara yang bilang gitu, yang saya nyangkanya kamu. Aku pikir dengan mengabaikan kamu, saya mampu lupain kamu. Lupain semuanya. Bahkan kau sama sekali gak terganggu dengan sekelas sama saya kan? Kamu biasa-biasa aja tuh. Sebenarnya saya kesal" Jelas Genta. 

Makara ini salah paham? Tiga tahun? Salah paham macam apa ini hingga begini lamanya. Kenapa gres tau sekarang? 

"Aku juga kesal liat kelakuan kau itu. Kamu anggap saya gak ada selama tiga tahun bikin saya bingung, kesal, jengkel dan marah" Timpalku. 
"Hahaha. Sekarang gimana? Masih marah gak?" Tanya genta dengan tampang nyebelin 
"Hayo gimana?" Tuh kan. Liat aja keisengannya. Kali ini pun Genta benar-benar membuatku kaget. Kaget sekaget-kagetnya. Mungkin seterusnya akan ada kekagetan lainnya yang diciptakan oleh genta. Sementara saya akan terus menunggu dengan debaran jantung yang tidak stabil, menunggu kekagetan apa selanjutnya yang dibuat genta. Namun saya bersyukur. Setidak-tidaknya kalau kami tidak salah paham menyerupai ini, perasaan kami tidak mungkin sedalam ini. Aku menyukainya. Mulai ketika ini, akan ku katakan dengan lantang, akan kusampaikan dengan percaya diri, dan akan kunyatakan dengan tegas, saya benar-benar menyukainya.

Profil Penulis:
Nama: Mutiara Multama Ikhsani
Nama facebook:  Mutiara Multama Ikhsani
Nama twitter: @mutiaramultama

Previous
Next Post »