Sarpan Berdiri di Persimpangan Karya Wildan 'Jayus' T. R

SARPAN BERDIRI DI PERSIMPANGAN
Karya Wildan 'Jayus' T. R

Bunyi srek-srek dan cit-cit sandal Sarpan selalu terdengar setiap ia melangkah menelusuri jalan setapak yang membelah tegalan. Krik-krik jangkrik dan sesekali bunyi burung hantu juga setia mengiringi. Celananya ia gulung beberapa kali sehingga luka bakar bekas kena knalpot di betis kanannya terlihat. Perilaku ini lumrah bagi masyarakat dukuh Darit dan masyarakat pada umumnya— biar celananya tak terkena ledok, maklum tadi sore diguyur hujan sedang. Beberapa tetes air masih tampak mesra bergelantungan di ujung dedaunan, bahkan basi harum tanah juga masih tercium di sepanjang jalan.
Jemari kurusnya tampak kesulitan menggenggam pegangan keranjang, beberapa kali ia sengaja berhenti sekadar membenarkan jemarinya. Bisa jadi karena keranjangnya terlampau berat karena berisi penuh buah-buahan atau jemarinya yang lemah. Lalu di kesekian pemberhentiannya, ia mempersilahkan keranjang dengan lentera untuk bertukar tempat. Tampak ia mengurut pergelangan tangan kanannya. Ada benjolan tepat di lajur jari tengah. Itu bekas jatuh dari sepeda yang membuat pergelangan ajun retak. Ia pun melanjutkan langkahnya setelah peluh di jidatnya diusap.

Malam ini Sarpan berniat melamar Sri, pujaan hati yang berumur enam tahun lebih muda darinya. Tekad itu sudah lama menjadi harapan lelaki yang gres saja diangkat menjadi guru honorer di SMA tak jauh dari dukuh Darit. Sri memang perempuan biasa, tak bawel dan nriman. Pernah Sarpan membelikan baju lebaran dari hasil kerja sambilan di warung kopi. Perempuan itu hanya tersenyum, lalu tanpa bawel ia pribadi memeluk Sarpan erat-erat. Mungkin kesederhanaan Sri yang membuatnya memiliki harapan yang kali ini segera ia wujudkan.

Sebenarnya mimpi ini tidak datang dari Sarpan seorang. Mimpi ini juga muncul dari pujaan hatinya. Disaksikan pohon kelapa, ikan wader, dan beberapa pelet, mereka bermimpi duduk bersama di pelaminan yang pada dikala itu kwade-nya ialah dudukan dari bambu di tepi empang.

Sarpan sendiri yang menemukan daerah itu. Dan di hari berikutnya semenjak ia temukan, lelaki kurus itu susah payah menggergaji beberapa bambu dan berbagi dudukan tepat di bawah pohon kelapa di tepi empang, sudut yang pas karena dari sana terlihat lanskap gunung lengkap dengan beberapa kuntul terbang—jika bertepatan dengan kegiatan terbang mereka—. Di hari keempat, Sarpan duduk di bawah pohon juwet menunggu kedatangan perempuannya pulang dari sekolah, menyuruhnya cepat-cepat ganti baju, lalu membawanya dengan sepeda kebo kesayangannya. Sarpan memamerkan daerah romantis yang susah payah ia bangun. Lagi-lagi Sri tanpa sepatah kata, hanya tersenyum, kedua matanya menatap Sarpan erat, jemari mungilnya menyeka peluh lelakinya, lalu kedua tangannya melingkar mesra di badan Sarpan.

Sampai pada persimpangan pertama, Sarpan berhenti sejenak dan mengendus ketiak kiri-kanan untuk memastikan wanginya tidak menguap sebelum sampai. Sarjana muda itu mengambil nafas panjang sambil memandang ke arah jalan setapak daerah ia akan tuju. Pandangannya jauh. Padahal tak ada apa-apa yang mampu dilihat. Gelap. Mungkin yang terlihat hanya kunang-kunang bercumbu berjamaah di bersahabat sawah. Ah, tidak mungkin ia akan berbalik. Prinsipnya; lebih baik pahit dan sakit daripada berbalik lalu kembali.

Memang, selain dikenal berprinsip, Sarpan juga dikenal sebagai lelaki yang ngeyel; bersikukuh kuliah dengan pemahaman kalau sarjana akan memiliki derajat yang lebih tinggi, setidaknya itu berlaku di dukuh Darit. Tamat SMA ia rela bekerja apa saja demi masuk perguruan tinggi tinggi. Pagi hingga siang menjaga kios di kantin sekolah bersama emaknya. Sore hari, motor angsa milik Lek Lestari dipinjam untuk berkeliling ke sekolah-sekolah; mencari apa saja yang mampu ditimbang lalu dijadikan uang. Apa saja; kertas, kardus, besi, kuningan, dan tembaga. Sampai-sampai pernah tepat tengah malam, travo lampu jalan di dukuh sebelah ia ambil dikala peronda terlena main gaple di pos kamling.

Lelaki kurus itu melanjutkan langkahnya, namun kepalanya agak tertunduk, menyerupai menyusuri setapak yang rahasia menyimpan ranjau di bawah genangan air.

“Mas Sarpan. Sampean mau kemana?”
“Eh Pak Jarwo. Mau ke Pak Mansur.”
“Walah. Pantesan, wangimu ndak karuan. Hati-hati, nanti rahasia ada yang ikut. Dan nanti kau kesurupan di tengah jalan.” Ah, gurauan Pak Jarwo itu-itu saja. Sarpan tertawa untuk mengiringi tawa seorang peternak wader. Itung-itung menghargai orang tua.

Sepanjang jalan kepalanya tetap menunduk. Kini krik-krik jangkrik dan sesekali bunyi burung hantu menjadi musik pengantar ke masa lalu. Ada yang dipikirkan Sarpan sepanjang jalan. Sikap ini pernah ia tunjukkan ketika merasa gagal menjadi pelindung bagi pujaan hatinya. Jika mengingat situasi kala itu, lelaki kurus ini sering melongo seakan meratapi kebodohannya. Sri pernah kesurupan pertama kali seumur hidupnya, lalu diikuti kesurupan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Sarpan hanya mampu membopong dan mencari orang berilmu untuk nambani.

Kejadian itu terus berputar di pikirannya. Sampai-sampai ia rela tanya kesana-kemari dan membeli buku panduan untuk nambani. Ia ingin menjadi lelaki yang berkhasiat bagi pujaannya, setiap dikala dan bagaimanapun kondisinya. Pernah satu hari Sarpan berhasil nambani Sri. Tidak menyerupai wong pinter yang komat-kamit, Sarpan mendekatkan bibirnya ke indera pendengaran kanan Sri. Ia hanya memanggil nama pujaan hatinya, lalu menuntunnya untuk membaca istighfar, bukan mantra yang biasa ia dengar dari lisan Mas Priyo. Tangan kanan Sarpan memegang lembut kepala Sri yang mencoba menolak, sedangkan tangan kirinya menahan badan pujaannya yang menggeliat kolam cacing menyebrang jalan beraspal di siang bolong. Butuh beberapa putaran detik jam biar Sri kembali sadar. Selepas itu, Sarpan cepat-cepat menyeka air matanya. Ia tak mau terlihat lemah di hadapan Sri.

Pada suatu senja, sebelum berangkat ke warung kopi, di daerah romantis mereka, Sarpan mencoba mengungkapkan kegelisahannya. Pohon kelapa, ikan wader, kali ini tidak ada pelet menyerupai penguping yang tak tabah menyimak.

Sarpan Berdiri di Persimpangan  Karya Wildan 'Jayus' T. R

“Dek, saya merasa tak pantas menjadi laki-lakimu. Aku tidak mampu berbuat banyak ketika…kau taulah maksudku.”
“Mas, saya tak butuh mas jadi wong pinter menyerupai Mas Priyo. Sekarang ini saya berada di tahap yang sulit. Aku harus mengakibatkan diriku kuat. Setelah ini, saya akan baik-baik saja menyerupai dulu. Tidak selamanya saya akan menyerupai ini. Percayalah.”
“Andai saya punya kelebihan menyerupai Mas Priyo, kau tak perlu susah-susah ke Mas Priyo untuk nambani. Aku juga menjadi tahu, sama sepertimu, mampu melihat yang sekarang tak mampu saya lihat.”

Sri hanya menatap lembut kedua mata Sarpan. Tangannya memeluk lengan kiri lelakinya, lalu ia rebahkan kepalanya ke pundak Sarpan. Kini mereka sama-sama memandang lanskap gunung, lengkap dengan beberapa burung kuntul terbang menyaingi layangan belum dewasa dukuh Darit di tepi empang yang airnya bergelombang tertiup angin senja.

“Mas…Kata Mas Priyo. Tidak akan mampu orang yang sama-sama mampu lihat begituan mampu hidup berdampingan. Mereka akan terus bertengkar karena selalu merasa benar. Mereka tidak saling melengkapi. Mas ada di sampingku sekarang, itu sudah mengakibatkan hidupku lengkap.”

Sarpan tak mampu berkata apa-apa lagi. Semua kegelisahannya hanya hingga di tenggorokan, selebihnya ia hanya mencicipi ketentraman dan semilir angin senja. Pohon kelapa, ikan wader, kali ini tidak ada pelet tak lagi menguping. Mereka ikut mencicipi semilir angin senja. Suara nyiur diterpa angin dan kecipak riak ulah wader menjadi musik pengiring keromantisan mereka.

Di persimpangan berikutnya, Sarpan kembali berhenti sejenak dan kembali mengendus ketiak kiri-kanan untuk memastikan wanginya tidak hilang sebelum sampai. Ia mulai mengangkat kepalanya lalu menatap ke langit. Berharap Yang di Atas juga mengabulkan impiannya. Sarpan percaya mimpinya akan segera terwujud karena Sanah, emaknya, sudah percaya kepada anak semata wayang atas keputusan untuk melamar Sri. Ia teringat aliran guru agama di sekolahnya dulu; restu ibu sama dengan restu Tuhan.

Meskipun secara logika, kalau dihitung-hitung; gaji guru honorer sangat pas-pasan untuk berkeluarga, paling banter hanya hingga asap tetap mengepul di dapur. Namun, mau bagaimana lagi, emak sudah tua, Sarpan takut di hari ketika ia sudah mapan dan pantas menikah, perempuan yang melahirkannya itu sudah tidak mampu lagi melihat dengan jelas. Ia takut emaknya tidak mampu melihat kebahagiaan anak laki-laki, menantu, apalagi cucunya kelak. Sanah sekarang kemana-mana juga harus dituntun. Makanya, Sarpan tidak mengajak emaknya untuk melamar Sri. Lalu bapaknya? Bapaknya sudah lama mati kena serangan jantung ketika melintasi rel kereta api. Kaprikornus mau-tidak mau, ia harus segera melamar dan berangkat sendiri.

Sarpan memeriksa apakah buah dalam keranjang masih utuh dan tampak segar. Ia juga menaikkan sumbu lentera biar terangnya terjaga. Kini srek-srek dan cit-cit kembali terdengar. Suaranya lebih cepat, nampaknya Sarpan sudah tidak tabah lagi. Sambil berjalan menelusuri jalan setapak, sesekali ia melihat jam tangannya sambil komat-kamit, bukan mantra, namun mencoba mengatakan apa yang harus ia katakan kepada Pak Mansur, calon mertuanya.

Kemeja Sarpan sudah berpeluh dan terlihat berair membentuk bundar tak tepat tepat di punggung. Bagian bawah celananya juga berair terkena cipratan air dari langkah kakinya. Di betis, terlihat beberapa cipratan tanah sudah mengering dan —yang pasti— luka bakar bekas kena knalpot. Jantungnya berdetak agak kencang, karena ia mempercepat langkahnya ditambah perasaan yang sedang campur-aduk.

Srek-srek dan cit-cit sandal Sarpan tak terdengar. Kedua matanya sudah mampu melihat rumah calon mertuanya. Lelaki itu berdiri tegak dan menyipitkan matanya ke arah rumah itu. Ia menyeka peluh yang membasahi wajahnya, lalu kembali mengendus ketiak kiri-kanan untuk memastikan wanginya tidak menguap di sepanjang jalan.

Persimpangan terakhir sudah ia lewati beberapa dikala yang lalu, namun bagi Sarpan masih ada persimpangan lagi. Persimpangan itu riuh, penuh hiruk pikuk dan suara-suara orang yang dikenal. Di keriuhan itu ia mendengar bunyi emak dan mendiang bapaknya. Kisah-kisah yang sudah dilalui untuk memantaskan dirinya menikahi putri Pak Mansur tiba-tiba ikut serta muncul, termasuk rasa ketidakpantasan menjadi lelaki Sri kalau mengingat masa-masa ketika pujaan hatinya itu kesurupan.

Krik-krik jangkrik dan bunyi burung hantu—kini kodok juga—terdengar membentuk komposisi yang rupawan dengan Sarpan sebagai konduktor dan lentera sebagai pengganti tongkat. Kunang-kunang yang tadinya bercumbu berjamaah di bersahabat sawah kini berada tepat di atas kepalanya. Sarpan tampak bersinar. Lalu srek-srek dan cit-cit terdengar bergantian menyerupai penanda satu metrum telah berakhir. Jangkrik, burung hantu, dan kodok memperlihatkan ruang untuk Sarpan bermain solo. Di metrum selanjutnya, setelah bunyi tok-tok-tok sebagai penanda, mereka kembali memainkan komposisi yang rupawan untuk Sarpan.

Keterangan        :        
Tegalan (bahasa Jawa)        =        Ladang
Ledok (bahasa Jawa)        =        Tanah yang basah
Nriman (bahasa Jawa)        =        Menerima apa adanya
Kwade (bahasa Jawa)        =        Tempat duduk untuk pengantin
Ngeyel (bahasa Jawa)        =        Berkeras hati
Lek (bahasa Jawa)        =        Paman
Travo        =        Kumparan dari tembaga
Mas (bahasa Jawa)        =        Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua
Sampean (bahasa Jawa)        =        Anda
Nambani (bahasa Jawa)        =        Menyembuhkan orang yang kesurupan

Malang, 6 November 2014

Profil Penulis:
Masih Mahasiswa Sastra Indonesia ketika menyelesaikan cerpen ini.

Previous
Next Post »