Halo Karya Vinka Aprilla

HALO
Karya Vinka Aprilla

Kembali kuraih tangkai bunga itu, kuhirup walau tak lagi berbau. Kutatapi foto-foto yang berantakan di lantai, tak sengaja jatuh dari tempatnya.

Hari itu saya sedang bangun menunggu bus di halte depan sekolah, menyerupai biasa, susana halte penuh sesak. Aku tak begitu memerhatikan orang-orang di sekelilingku, tiba-tiba sebuah tangan menggenggam tanganku, begitu dingin. Aku menoleh pada seorang lelaki yang entah semenjak kapan bangun di sampingku. Karena kaget kutarik tanganku dan berjalan menjauhinya.

Esoknya ada sebuah foto yang tergeletak di atas meja kawasan dudukku, foto saya yang sedang digandeng tangannya oleh laki-laki yang kutemui kemarin di halte. Kutarik nafas dalam-dalam, sedikit kesal alasannya saya tak mengenal lelaki itu. 

Sebuah motor angsa butut terparkir di depan pagar rumahku, entah milik siapa. Aku berjalan mendekati motor itu dan nampak lelaki yang kemarin kutemui di halte.

“Hai!” sapanya bersemangat, tak kujawab apapun. “Haloha!” katanya lagi, saya masih diam.
“Aku Anton.”
“Aku nggak peduli,” kataku tak tertarik sama sekali.
“Kamu Felina kan? Umurnya tujuh belas tahun dua ahad lagi, anak dari pasangan Hermawan Sutjipto dengan ibu Ananda. Punya satu anjing cihuahua dengan nama Gesch...”
“Cukup-cukup, kau tahu darimana?” tanyaku bingung.
“Aku kan distributor rahasia, tugasku memang cari-cari info kayak gituan.” Katanya seolah-olah itu memang pekerjaannya.
“Dasar aneh.” Kataku tak memedulikannya dan berjalan masuk ke rumah.

Dengan segelas air jeruk nipis dan kudapan manis bolu buatan mama, saya duduk di depan meja belajar, berusaha fokus dengan buku matematika di depanku. “Kriiinggggg....kringgggg....” bunyi telepon genggamku berbunyi, dan kuraih dengan malas.

“Hallo!” bunyi dari seberang sambungan telepon begitu bersemangat.
“Hallo, kau masih disana kan?” katanya lagi.
“Mau kau apa sih telepon malam-malam begini?!” kataku kesal.
“Aku yakin kau sedang berguru matematika tapi nggak ngerti, terus kau pusing deh. Makanya saya telepon kamu, saya cuma mau menghibur kau supaya nggak pusing.”
“Aku makin pusing ditelepon sama kamu.” Kata-kataku terang dan tajam.
“Oke, kalau begitu selamat belajar, jangan lupa minum obat dan lambaikan tangan ke kamera kalau sudah nggak kuat, oh iya jangan lupa hubungi nomor ini bila sakit Anda berlanjut.”
Entah kenapa saya tertawa mendengar perkataannya. “Jangan ketawa, sana belajar.” Ucap lelaki itu lagi.
“Iya.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon. Aku gres bertemu dengannya dua kali, tapi ia menyerupai sudah tak asing bagiku, walau kadang tingkahnya aneh, tapi kali ini ia berhasil membuatku tertawa.

Halo  Karya Vinka Aprilla

Aku keluar dari kelas begitu menyelesaikan ujian matematikaku, rasanya kepalaku sakit sekali.

“Hai!” Anton duduk disebelahku dengan dua gelas minuman dingin. “Pasti sakit Anda berlanjut, tapi Anda tidak menelepon nomor yang sudah saya berikan.” Kata Anton, saya tersenyum, beliau tertawa.
“Apaan sih, saya mampu kok ngerjain ujiannya.”
“Nih minum dulu, kelihatan capek banget gres ngerjain soal gitu doang.” Kembali saya tersenyum dan meraih gelas yang disodorkannya. Moccacino, kesukaanku.
“Tahu darimana saya suka moccacino?” tanyaku penasaran.
“Aku kan distributor rahasia, masak kau lupa?”
“Oh iya maaf tadi saya lupa.”
“Aku ke kelas dulu ya, ada misi yang lain.” Aku mengangguk dan ia segera melesat pergi.

Sampai dirumah, kutemukan lagi sebuah foto yang diselipkan di bawah pintu kamarku, foto dikala saya dan Anton sedang duduk berdua tadi siang di sekolah. Aku tersenyum, ah saya jadi rindu padanya. 

Setiap hari saya selalu mendapat sebuah foto yang di kirimkan dengan aneka macam cara, kadang terselip di vas bunga di teras rumah, kadang sudah ada di kantin kawasan saya biasa membeli moccacino atau diberikan pribadi pada adikku dirumah. Dia selalu punya cara sendiri untuk membuat saya tertawa, beliau berbeda dari semua laki-laki yang pernah saya temui.

“Hallo, disini mata-mata dengan siapa saya bicara?” katanya dikala meneleponku sore itu.
“Kayaknya harapan kau benar-benar ingin jadi mata-mata ya?” kataku.
“Felina, pasti kau sedang duduk-duduk sambil memandangi semua foto yang saya kasih ke kau setiap hari.” 

Aku kaget mendengar bunyi Anton, saya memang sedang duduk di sebuah bangku sambil memandangi semua foto yang diberikannya padaku. “Ih kau sok tahu, saya lagi berguru kok!” kataku berbohong.
“Masak sih? Tapi saya lihat kau lagi ngeliatin foto kita sambil senyum-senyum.” Aku celingukan memastikan bahwa saya benar-benar sendiri di kamar. “Hahaha, saya bercanda kok. Maaf ya kalau saya ganggu kau belajar.”
“Aku senang diganggu sama kamu, Anton.” Kataku tak sadar.
“Apa? kau bilang apa?” 
“Enggak kok, udah ya saya mau berguru lagi.” Kututup sambungan telepon, entah semenjak kapan tapi kurasakan darahku berdesir dan jantungku berdegup kencang, ah Anton, kau selalu berhasil membuat saya senang.

Tiga hari lagi hari ulang tahunku yang ke-17. Mama bilang saya boleh mengadakan pesta dan mengundang teman-teman sekolahku, katanya juga akan ada hadiah spesial dari papa dan mama. 
“Ini, datang ya.” Kuulurkan sebuah kartu seruan padanya.
Anton meraih kartu itu bersemangat, menyerupai biasanya. “Aku pasti datang.” Katanya mantap.

Teman-temanku terlihat telah berkumpul, mama membuka program dengan doa. Acara dilanjutkan dengan tiup lilin dan potong kue, saya masih belum melihat Anton. Tiba saatnya kejutan yang dijanjikan mama, mataku ditutup dan dikala diminta membuka mata, saya menemui seroang lelaki yang bangun di hadapanku dengan bunga berwarna merah, tapi lelaki itu bukan Anton.

Ia yaitu Frans, sahabat masa kecilku dikala masih tinggal di Surabaya. Aku tahu kekerabatan orangtua kami pun sudah sangat dekat, dan maksud mama menghadiahkan Frans malam ini yaitu untuk menjodohkan kami berdua. Aku kesal, saya tak ingin Frans ada disini, dulu memang kami sangat bersahabat tapi hanya sebagai sahabat, saya tak ingin hubunganku lebih dari itu dengannya. Aku tak mencintainya, bahkan sudah lupa kapan terakhir kali bertemu dengannya.

Kupaksa tetap tersenyum di depan semua orang, walau bahwasanya saya ingin menangis. Sampai program selesai tak juga kulihat Anton ada di kawasan ini, entahlah mungkin ia lupa. Teman-temanku mulai berpulangan, tinggal aku, Frans, mama, papa, dan orangtua Frans. Mama menjamu kami semua di rumah dan mengobrol banyak hal dengan Frans dan orangtuanya. Tak satupun kata-kata mereka yang kudengar, saya hanya mendengar kata-kata Anton, menyerupai melihat wajahnya, senyumnya, gaya bicaranya, ah saya benar-benar meindukannya.

“Maaf, saya izin ke belakang sebentar.” Kataku pamit diri, saya berjalan ke luar rumah dan duduk di bangku di teras. Pintu pagar yang sedari tadi rapat kini telah terbuka, agak ragu saya berjalan kearah pagar.

Di balik pagar Anton bangun dengan balon yang digenggamnya di tangan. Ia memakai kaos kebesaran dengan celana jeans usang. Kaosnya penuh dengan goresan pena dari spidol.

Aku sayang kau Felina, Hallo, Selamat ulang tahun, maaf saya terlambat, Felina kau cantik. Dan masih banyak lagi. Aku menutup mulutku dan sebuah air mata jatuh tanpa mampu ku tahan. Ia tersenyum dan berbalik, di punggungnya terdapat goresan pena kapital besar-besar, bunyinya :
FELINA, KAMU MAU NGGAK JADI PACAR AKU?

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Anton, andai kau tahu kurang dari dua jam yang lalu saya gres saja di jodohkan dengan lelaki yang tak pernah kusuka. Mengapa kau harus datang terlambat? Aku berjalan mendekatinya, kupeluk ia erat, dan menangis dalam pelukannya.

“Aku minta maaf Anton, tapi saya nggak bisa.” Kataku dengan penuh penyesalan. Ia melepas pelukanku, kulihat sudut matanya telah basah, namun ia tetap tersenyum.
“Aku sudah tahu, saya bukan datang terlambat. Sebelum acaranya dimulai pun saya sudah berada disini, saya tahu perihal perjodohanmu. Maaf saya telah mengganggumu Felina.” Ia melepas ikatan balon di kedua tangannya, membiarkan balon itu terbang ke langit, segera ia mengenakan jaket untuk menutupi kaosnya. Ia kembali memandangku dan mencium kepalaku lalu mengusapnya. Air mataku makin tak tertahankan begitu melihat ia berjalan pergi.

Kini lebih dari delapan bulan semenjak kejadian ulang tahun itu, saya kehilangan jejak Anton. Setelah lulus SMA, saya tak mendapat kabar pasti kemana ia melanjutkan hidupnya, tak ada yang mampu memberitahuku, bahkan teman-teman terdekatnya. Hampir tak ada hari yang kulalui tanpa mengingat semua tentangnya. Aku benar-benar rindu caranya yang selalu mengucapkan hallo setiap kali kau bertemu. Aku rindu tebakannya perihal apa yang sedang saya lakukan, saya rindu dikirimi foto setiap hari, dan saya rindu ia mengatakan bahwa dirinya yaitu distributor rahasia.

Anton andai kau tahu bahwa tak ada sebuah foto pun yang hilang atau kubuang, semuanya kusimpan rapi dalam kotak merah jambu. Kamu dimana sekarang? Aku rindu kamu. Anton biar kuberi tahu padamu, kau tetap akan jadi kenangan paling mengagumkan bagi hidupku tak akan ada yang mampu mengganti atau menghapus kau dalam memori otakku. Anton kembalilah, saya ingin bertemu kamu.

Profil Penulis:
Penulis yang lahir di Bandung 16 tahun yang lalu ini memiliki nama Vinka Aprilla Patricia, biasa dipanggil Vinka. Anak bungsu dari empat bersaudara ini kini bersekolah di SMAN 16 Bandung, dikelas dua. Ia mulai suka menulis semenjak berumur 10 tahun hingga sekarang, pernah juga mendapat beberapa penghargaan atas karyanya, seperti, Juara Favorit LMCR-ROHTO 2013, Top 50 Lomba Mengarang CHC Kategori SMP Tupperware 2014 dan Top 50 Lomba Mengarang CHC Kategori SMA Tupperware 2015, kontributor Lomba Menulis Cerpen Oase Pustaka 2015, kontributor Lomba Menulis Cerpen tema Disabilitas oleh Hmj Plb Fip Unesa 2015. 
Ia mampu di temui di FB dan Instagram : vinkaprilla, serta email vinkaprilla@gmail.com. 

Previous
Next Post »