Tujhe Jeena Hai Mere Bina Karya Wening Nur Mitayani

TUJHE JEENA HAI MERE BINA
Karya Wening Nur Mitayani

Abu yang ada di tanganku ini mengingatkanku padamu di siang hari penuh sedih di tanah India. Andaikan saja saya memperhatikanmu sedikit saja, rasa bersalah yang amat dalam takkan timbul semaunya sendiri di dalam dadaku ini. Kau tega meninggalkanku sendiri disini. Kalau tahu akan begini, saya pasti akan pergi menjauhi dirimu dari awal. Aku takkan percaya omong kosongmu yang membuatku takjub tetapi realitanya berkebalikan. Omong kosongmu itulah yang membuatku sedih dikala ini juga. Aku takkan mengikuti lagi saran dan perintahmu. Kalau bisa saya akan berdoa kepada Yang Mahakuasa biar saya tak mengenal dirimu dari awal, jika bisa saya akan meminta Yang Mahakuasa menghapus ingatanku denganmu.

***

Tengah malam di Dusun Trengganu, saya duduk bersimpuh di bawah sinar lampu penerangan sel surya sederhana di tengah-tengah lahan persawahan penduduk desa. Bapakku hanyalah seorang penggembala angsa musiman yang tak tentu kerjanya. Sedangkan Emak hanyalah seorang ibu rumah tangga ibarat ibu-ibu normal lainnya. Setiap malam Bapak harus mendaki bukit, menuruni lembah, dan berjalan pelan melewati pematang sawah untuk menerima keong-keong pakan angsa yang digembalakannya esok pagi. 

Aku selalu mencoba membantu Bapak semampu yang saya bisa. Hanya dengan berbekal sebuah botol minum dan penerangan senter, kami berdua beranjak pergi keluar rumah. Berjalan menuju bukit yang dikelilingi pekarangan lebat di kanan-kirinya tak jarang membuat orang-orang merinding ketakutan. Namun berbeda dengan Bapak, tengah malam begini masih saja berani melewati pekarangan tanpa ujung ini. Bulu kudukku selalu merinding ketika melewati pekarangan ini. Ditambah lagi bunyi burung gagak dan juga nyanyian jangkrik menambah ketakutan batin dalam diriku.

Sesekali saya terkagetkan oleh katak-katak yang tak sengaja saya injak. Namun lihatlah Bapak! Dirinya sangat hening bagai sedang berjalan di siang bolong ibarat biasa. Bukan hanya pekarangan, bukit setinggi 500 meter pun harus dilalui dengan susah payah. Melewati jalan stapak berlumpur kerap kali membuatku terpeleset. Sawah penduduk ada di balik bukit ini dengan sistem terasering. Terasering alasannya desa kami kekurangan lahan untuk pertanian, karena hampir seluruh episode desa yang luas ini ditutupi oleh pekarangan dan juga perkebunan.

Bila sudah hingga di puncak, pemandangan hijau akan terlihat sangat luas seluas samudra. Dari sinilah pekerjaan dimulai. Turun ke pematang-pematang sawah dan mencari keong-keong liar hama tanaman padi. Dengan begini, Bapak akan mendapat dua upah dalam satu pekerjaan. Yang pertama dari para petani, dan yang kedua dari para peternak bebek. 

Satu per satu keong kuambil dan kumasukkan di jaring keong buatan Bapak. “Aah!!” teriakku kesakitan menginjak cangkang keong. Bapak eksklusif berlari ke arahku dan eksklusif mengangkatku ke pematang sawah. Perlahan Bapak melepaskan cangkang keong di kakiku dengan cara menariknya. “Hati-hati.” Ucap Bapak yang biasanya hirau taacuh padaku. “Kau duduklah di bawah lampu sini!” ucap Bapak menuntunku ke bawah sinar lampu penerangan dari sel surya sederhana. 

Aku duduk bersimpuh bersimbah darah di episode telapak kakiku. Aku yang mencicipi ngilu dan juga pegal, tak berani sekali pun untuk melihat telapak kakiku. Yang terperinci sakit rasanya. Aku duduk termenung melihat indahnya bulan dan juga gemerlapnya bintang-bintang. Ternyata dari atas bukit membuat kita semakin akrab dengan langit. Rasanya saya bisa menyentuh awan-awan berbentuk harumanis yang terbang tertiup angin. 

Bapak menghentikan kerjanya dan eksklusif menggendongku untuk turun ke bawah melewati pematang-pematang sawah. Di perjalanan pulang, sepatah kata pun tak pernah diucapkan oleh kami berdua. Sampailah kami di pekarangan yang membuatku ketakutan itu. Aku memejamkan mataku berharap dikala kubuka saya sudah hingga di rumah. Seketika saya merasa Bapak menurunkanku ke tanah. Bapak menduga saya tidur, jadi merebahkan tubuhku di tanah dengan pahanya sebagai bantal kepalaku.

Aku yang penasaran mengapa Bapak menurukanku, usil berpura-pura tidur. Aku membuka sedikit mataku hingga benar-benar bisa melihat apa yang dilakukan Bapak. Bapak berkali-kali mengelus pergelangan kakinya, ia terlihat kesakitan. Sampai kesannya saya eksklusif mengakhiri sandiwara dan panik. “Bapak kenapa?” tanyaku kebingungan. “Maaf kau jadi bangun.” Ucap Bapak. “Malin tidak tidur, Bapak. Ada apa? Bapak kegigit kucing?” tanyaku. “Tak usahlah kau pikirkan Bapak. Pulanglah dulu nanti Bapak menyusul.” Ucapnya. 

Saking bingungnya saya eksklusif berlari ke arah pos ronda dan meminta sumbangan bapak-bapak jaga untuk menolong Bapak. Berbondong-bondong mereka pergi ke arah Bapak dan mengangkat Bapak ke rumah. Mamak yang kaget eksklusif memanggil bidan setempat. Ternyata Bapak terpatok ular berbisa dan harus segera dibawa ke rumah sakit kota. Semuanya bingung, hari ini sudah tengah malam, jarak ke rumah sakit kota juga harus menaiki perahu selama dua jam dulu gres menaiki bus setelahnya. Mana ada kendaraan di malam-malam begini. Bapak semakin kesakitan, ia memintaku untuk mengambil seonggok surat yang disimpannya di kolong meja kamarnya.

“Bapak tak punya apa-apa untuk diberi, tapi tolong jaga radio peninggalan kakekmu yang ada di laci ini. Jadilah anak yang baik, jika bisa jangan terus kau susahkan Emakmu. Maaf merepotkanmu. "

Aku yang masih kecil, tak mengerti apa maksudnya. Aku kembali ke Bapak dengan membawa radio peninggalan kakek. Deru bunyi tangis terdengar dari ruangan Bapak tadi. Aku eksklusif berlari masuk dan terlihat badan Bapak telah ditutup dengan kain jarit. Aku eksklusif mendekat ke Bapak “Bapak, kenapa Bapak tutup muka dengan kain jarit?” ucapku mencoba membuka kain yang menutupi kepalanya. Emak menghalau tanganku dan menarikku ke pelukannya. Emak menangis tersedu hingga ingusnya jatuh di bajuku.

Aku mencoba melepas tangan Emak dan kembali ke Bapak. “Bapak, Malin janji! Malin bersedia jaga radio ini dan takkan susahkan Mamak lagi. Sekarang Bapak buka jaritnya! Nanti tak bisa bernapas!”

***

Tujhe Jeena Hai Mere Bina  Karya Wening Nur Mitayani

Itulah kejadian 14 tahun silam yang membuat teman-teman, keluarga, bahkan masyarakat bertanya-tanya mengapa saya selalu membawa radio setiap saya pergi entah ke sekolah, minimarket, surau, ataupun tempat-tempat umum lainnya. Mereka selalu bertanya “Kenapa selalu bawa radio?” dan selalu pula saya jawab “Ceritanya panjang.” Kalau diingat-ingat lagi kejadian dikala umurku gres sekitaran 4 tahun itu membuatku gemas sendiri karena kepolosanku. Bahkan saya gres mengetahui jika Bapak yang saya sayangi di dunia ini telah pergi di kemudian harinya ketika saya tak pernah lagi melihat Bapak di rumah. 

Bahkan dikala itu rasa sedih tak saya ekspresikan sama sekali. Sudahlah, ketetapan Yang Mahakuasa telah terjadi kita hanya perlu mengikhlaskan. Tak terasa sudah 14 tahun saya bersama radio bau tanah ini. Mereka- mereka bilang jika saya terobsesi dengan yang namanya radio. Tapi jika mereka mengetahui kisahku yang sebenarnya, mereka pasti tak akan berani bilang begitu. Kujamin mereka pasti bakal iba melihatku. 

Namaku Malin Paayega, seorang anak kelas 3 SMA yang selalu membawa radio peninggalan Bapak kemana-mana. Tak ketinggalan juga saya selalu merawat dan mendengarkan berita-berita juga kisah-kisah menarik dari radio. Mungkin kalian eksklusif berkesimpulan jika saya yaitu penyuka radio. Itu salah! Benar juga sih, tapi hal yang paling saya sukai bukanlah radio melainkan puisi. Bagiku puisi yaitu pengungkapan hati seseorang yang sangat relevan. Dengan puisi kita bebas mengeluarkan pendapat isi hati kita berupa kritik, saran, sindiran, ataupun lainnya dengan mudah dan tak ada siapapun yang akan menyangkal atau menyalahkan kita terhadap puisi yang kita buat.

“Tujhe dekha toh yeh jaana sanam, pyar hota hai deewana sanam, ab yahan se kahaan jaayein hum. Oi! Anak radio! Pinjamlah radio kau untuk putar kaset India yang gres saya beli!” ucap Ranta, sahabatku semenjak SMP bernyanyi sambil berlari dari kejauhan dan eksklusif melompat duduk memegang pundakku. “Jangan kau ikutan panggil saya anak radio! Tak lah! Belilah radio sendiri!” jawabku kesal. “Jangan macam itu, kita kan sahabat! Pinjamkan sebentar lah!” pintanya memelas. “Ini!” ucapku menunjukkan radionya. “Terima kasih banyak lah!” ucapnya.
“Nanananana…” Ranta bersenandung sembari memasang kasetnya di radio.  Setiap ada anak ini serasa membuyarkan segala ketenangan, apalagi nyanyian lagu Indianya itu. Ditambah dengan suaranya yang pecah dengan dayuan-dayuannya yang sangat-sangat tidak pas. Membuat telingaku panas saja, menyebalkan. Jujur saya sangat membenci musik dari lahir, entah mengapa tapi saya tak suka. Sastra puisi dan seni bernyanyi yaitu sebuah hal yang sangat jauh bedanya apalagi jika disandingkan. Aku jadi teringat di dikala guru menyuruhku membaca puisi dari lirik lagu “Garuda Pancasila”

Garuda / Pancasila //
Akulah pendukungmu //
Patriot proklamasi //
Sedia / berkorban untukmu //

Aku yakin, lirik-lirik selanjutnya pasti akan dinyanyikan oleh siapa pun juga. 

Pancasila dasar Negara,
rakyat adil makmur sentosa,
pribadi bangsaku,
ayo maju, maju,
ayo maju, maju,
ayo maju, maju.

Benar kan?

“Ae mere hum safar, Ek zara intezaar 
Sun sadaayein de rahi hai manzil pyaar ki
Jisko duaaon mein maanga, tu hai wohi rehnuma
Tere bina mushkil hai ek bhi kadam chalna
Bin tere kahaan hai manzil pyaar ki

Na hum bewafa hain, na pyaar hai kam darmiyaan
Par apni taqdeerein hain bikul hi judaa
Phir keise milegi manzil pyaar ki

Lagu Ranta telah terdengar. Alunan musiknya sangatlah enak didengar sih. Tapi saya masih terheran. Memangnya ia tahu apa artinya? “Ran.. Lagu barunya Shahru Khan?Memang kau tahu apa makna lagu tu?”. “Hah? Aku? Ya tahu lah. Jangan kira saya ini asal ambil ya!” ucapnya memutar lagi lagunya. Lagunya terdengar sekali lagi

“Ae mere hum safar. Ek zara intezaar
“Wahai kekasihku, tunggulah sebentar.”
“Sun sadaayein de rahi hai manzil pyaar ki
“Dengarlah bunyi panggilan yang terdengar dari kawasan tujuan cinta.”
“Jisko duaaon mein maanga, tu hai wohi rehnuma
“Dia yang kupikirkan dalam tiap doaku, yaitu dirimu pemanduku”
“Tere bina mushkil hai ek bhi kadam chalna
“Tanpamu akan sulit kuberjalan walau selangkah.”
“Bin tere kahaan hai manzil pyaar ki
“Tanpamu entah dimana kawasan tujuan cintaku”
“Na hum bewafa hain, na pyaar hai kam darmiyaan
“Bukan karena saya tak setia, bukan pula karena kurangnya cinta antara kita”
“Par apni taqdeerein hain bikul hi judaa
“Namun karena takdir kita berdua yang sungguh berbeda”
“Phir keise milegi manzil pyaar ki
“Lalu bagaimana cara kita mencapai tujuan cinta?” ucapnya menunjukkan arti dari lagunya.
“Lah kok cinta-cintaan?” ucapku terheran. “Kamu tahu anaknya Pak Kades?” Tanya Ranta. “Desi?” tanyaku balik. “Iya, saya mau nyanyiin lagu ini buat ia la.” Ucapnya. “Dasar! Gak usah mikir kejauhan! Seleramu jangan tinggi-tinggi!! Kalau dah jatuh sakit kau!” ucapku mengacak-ngacak rambutnya. “Apa sih! Biarin! Tapi jangan salah! Aku ini suka puisi. Dan lagu India itu maknyanya mendalam macam puisi.” Ucapnya menghalau tanganku.

Puisi yah? Tapi jika dipikir-pikir Ranta benar. Bahasa lagu semacam puisi, hanya bedanya puisi itu dinyanyikan hingga timbullah yang dinamakan lagu itu. Aku jadi penasaran dengan lagu-lagu India lainnya.

Bel sekolah berbunyi, saya eksklusif masuk ke kelas. Bu Indri mengadakan ulangan dadakan membuat cerpen yang terbagi atas dua orang dalam satu kelompok. Kebetulan saya bersama dengan Ranta.

“Mau buat cerpen yang gimana?” Tanya Ranta. “Gimana yah?”Ucapku bingung. “Gimana jika ada dua orang sahabat mencari beasiswa di India lalu ketemu artis-artis India??” sarannya. “Apaan tuh! Nggak! Nggak!!” ucapku menolak keras. “Terus gimana?” Tanyanya balik. “Em.. Yang Indo ajalah!” jawabku. “Kamu tahu ceritanya ‘Tari dan Burung Belibis’ ?” tanyanya padaku. “Enggak emang gimana?.” Tanyaku, 
“Jadi itu ada anak baik namanya Tari, bapaknya kepatok ular, terus Tari ketemu sama Burung Belibis yang kena jebakan pemburu. Sama Tari diselametin, ternyata Belibisnya bisa ngomong dan ngasih tahu cara buat nyembuhin bapaknya Tari.” Jawabnya. “Gimana jika Tarinya dibikin durhaka aja? Terus ia sadar jika ia butuh bapaknya.” saranku. “Boleh, Tari minta makan karena di rumah gak ada makanan. Bapaknya pergi ke pekarangan belakang rumah untuk mencari makan dan disitu bapaknya kepatok ular.” Ujarnya. 

Aku merasa ia sengaja melaksanakan ini, tanpa pikir panjang saya eksklusif menarik kerah baju Ranta dan marah “Apa maksudmu?! Nyindir saya begitu??”. Ranta terlihat sedikit kaget dan melawanku. Tanpa kusadari saya sabung dengannya. Siswa dan guru mencoba melerai kami hingga kesannya saya berada di BK. Disini saya bersalah, saya eksklusif memukulnya tanpa pikir panjang. Tapi ia juga memukulku balik, salahnya sendiri jika hingga mimisan begitu. Aku tak peduli lagi padanya.

Aku duduk termenung di samping pot bunga depan ruangan BK. Guru memberikanku sanksi memanggil Emak kesini. Aku tak tahu akan bagaimana jadinya jika Emak datang kesini. Dia pasti akan menjewerku dan menghukumku lagi. “Kau kenapa memukulku?,” terdengar bunyi Ranta dari samping. Aku menengok ke arahnya dan hanya terdiam. “Maaf saya memukulmu balik, saya tak terima dipukul tanpa alasan olehmu!” sambungnya. Aku hanya terdiam. “Kau kenapa sih?” tanyanya kebingungan.

Aku pergi beranjak dari kawasan itu, gres selangkah berjalan Emak sudah ada di depan mataku. Emak terlihat marah dan eksklusif menjewer telingaku hingga ke ruang BK. “Awas kau!” ucapnya melototiku. Aku hanya bisa termangu takut.

Ranta menarikku ke depan gerbang sekolah. Aku menghalau tangannya. “Kau kenapa sih?” Tanya Ranta kebingungan. “Kau pasti sengaja kan?” ucapku kesal. “Sengaja apanya?” tanyanya kebingungan. “Soal dongeng Bapak terpatok ular! Kau menyindirku kan?” tanyaku kesal. “Apa maksudmu? Aku tak paham?.” Ujarnya. “Kau tahu kan Bapakku mati gara-gara terpatok ular, dan semua itu salahku karena saya terkena cangkang keong? Sama saja karena salah Tari Bapak jadi meninggal?” ucapku marah. “A..Apa?! Bapakmu mati terpatok ular? Mana kutahu jika Bapak kau mati begitu.” Ucapnya kebingungan. Aku sadar, ini salahku. Aku terlalu emosi dengan apa yang Ranta katakan. “Oh maafkan saya Ranta, saya terlalu emosi.” Ucapku minta maaf. “Sudahlah, yuk saya aka tunjukan sesuatu.”

Ranta mengajakku ke atas pohon waru di depan sekolah. Dia menunjuk ke arah Desi dan teman-temannya “Oh Desi, cantikmu bagai sinar rembulan. Pesonamu seindah mentari pagi, redup tapi menyinari. Inginku ajak kau pergi ke Taj Mahal, menjalin kasih bagai Raja Shah Jahan dan juga Mumtaz Mahal.” Aku hanya tertawa mendengar puisinya itu “Hahaha, Shah Jahan? Mumtaz Mahal? Bukannya Jodha dan Akbar yah?”. “Kau korban sinetron, taklah begitu. Jangan percaya dengan isu radio dan juga televisi. Sinetron itu sudah dirubah biar jadi bagus. Yang benar yaitu Raja Shah Jahan dan istri ketiganya, Mumtaz Mahal.” Ucapnya tegas. “Iya kah? Aku tak pernah dengar nama itu sebelumnya” ucapku ragu. “Mumtaz Mahal, Taj Mahal. Nah itu asal kata nama ‘Taj Mahal’, bangunan eksotik yang dikagumi oleh seluruh umat manusia.” Ucapnya terlihat mengkhayati kalimatnya itu.

“Kau juga harus pergi ke India!” ucapnya tiba-tiba. “India? Untuk apa?” tanyaku bingung. “India yaitu negeri seribu sejarah. Dari dinasti Magadha pemerintahan Ashoka Samrat hingga Kerajaan Mughal yang dipimpin Raja Shah Jahan, meninggalkan beribu-ribu peninggalan luar biasa. Dari Taj Mahal hingga kerajaan-kerajaan lainnya. Taj Mahal yaitu dambaan setiap manusia.” Ucapnya dengan dalamnya hati.

Aku berfikir sejenak. Benar kata Ranta, Taj Mahal yaitu dambaan seluruh umat manusia. Siapa yang tak mau berkunjung kesana? Karenanya saya jadi lebih tahu wacana India. Padahal yang kutahu Dinasti Mughal itu dipimpin oleh Jallaludin Akbar dengan istrinya yang berjulukan Jodha dari tayangan televisi di balai desa. Itulah pertelevisian. Semua hal bisa dikuirangi dan dilebihkan, diberi bumbu biar penonton lebih nikmat dalam menyaksikan.

Dari lagu India yang memiliki makna bagaikan puisi yang sangat menyentuh dan juga sejarah dengan seribu peninggalan membuatku semakin ingin tahu saja ibarat apa bergotong-royong India itu. “Aku ingin ke India!” ucapku spontan dengan tegas. Ranta melihatku menahan tawa. “Kenapa? Kau juga mau ke India kan? Ayo sama-sama!!” ucapku semangat. 

“Ayo!!” Dia mengajakku pergi. Melewati pekarangan tanpa ujung, kawasan kenangan pahitku kecil dulu, menaiki jalan stapak menuju puncak bukit dan menuruni pematang sawah menuju sebuah desa yang lebih besar. Ranta mengambil dua buah formulir di instansi kantor bea siswa ke luar negeri.

Aku dan Ranta mengikuti tes bea siswa, Tinggal menunggu hasilnya bagaimana. Aku berpamitan pada Emak untuk meminta doa restu ke India. Begitu juga Ranta kepada orang tuanya. Alahasil saya dapat pergi ke India, namun tidak dengan Ranta. Dia tidak lulus tes kesehatan karena buta warna katanya.

***

Aku benar-benar pergi sendirian. Dengan membawa cita-cita besar dari Ranta, Emak dan juga desa kecilku. Ranta berpesan padaku, begini katanya “Kau pergilah ke menara yang ada di Taj Mahal setiap sore, em sekitar pukul empat. Di atasnya terdapat satelit gelombang Indonesia. Kalau kau berdiri disitu, radiomu akan terkena gelombang satelit sehingga akan tehubung dengan susukan Indonesia. Aku akan ke stasiun radio untuk mengabarimu. Kau juga harus tetap disitu ya! Dengarkan aku!”. Entah benar atau tidak jika gelombang satelit dapat tersambung dengan radioku. Tapi memang pernah dengar jika satelit Indonesia dipasang sempurna di atas tanah India. 

Sesampainya di India akau eksklusif pergi menuju sekolahku dan mengisi daftar formulir penerima didik. Pemandu mengajakku untuk berjalan ke Taj Mahal. Aku menaiki menara yang terletak di samping Taj Mahal dan menyalakan radioku disana. Benar saja, radionya berhasil terhubung ke banyak sekali susukan radio di Indonesia. Ternyata bisa yah. 

Aku kembali menuju asrama dan eksklusif dihidangkan dengan peran yang sangat banyak. Dari bersih-bersih kamar hingga mengikuti seminar-seminar tata cara bea siswa. Hari berganti malam saya lelah dan eksklusif tidur di asrama. Aku lupa untuk pergi ke menara Taj Mahal. Aku eksklusif tidur saja.

Hari-hariku disini sangatlah melelahkan. Mungkin inilah kesusahan jika kita hidup dengan ranah pendidikan berbasis bea siswa. Kalau disini sore, maka di Indonesia pasti sedang siang hari. Aku tak sempat pergi ke menara Taj Mahal hingga berminggu-minggu lamanya. Mungkin saja akan selamanya saya takkan pernah bisa 

Kegiatanku sebagai mahasiswa jurusan marketing di India membuatku semakin sibuk dengan aktivitas-aktivitas kampus. Aku benar-benar tak sempat pergi ke menara Taj Mahal, apalagi hanya sekedar melihat dan menikmati keindahan dari pesona Taj Mahal. Lagi-lagi saya sibuk dengan kampusku. Aku tak pernah sempat datang ke Taj Mahal.

Ditambah lagi ada anak perempuan berjulukan Agni yang sangat akrab denganku. Setiap waktu kosong pasti akan kuhabiskan dengannya untuk berjalan-jalan keluar. Kali ini ia mengajakku jalan lagi. Dengan senang saya tak mungkin menolaknya. Namun saya kasihan dengan Ranta yang selalu menungguku di siaran radio. Mungkin menurutnya saya selalu datang dan mendengarkan siaran radionya.

Kali ini saya meminta Agni biar berjalan-jalan ke Taj Mahal, tak lupa kubawa radio peninggalan kakek. 

***

Aku menyetel radioku dan memutar di stasiun yang dimaksud. “Ada seorang sahabat dari beberapa bulan yang lalu selalu setia datang dan mengabarkan sahabatnya. Kali ini ia akan curhat lagi nih wacana sahabatnya guys! Dengarkan ya!” ucap pembawa siaran.

“Hai Malin! Gimana kabarnya di India? Kamu tetap mendengarkan siaranku kan? Aku sedikit batuk, jadi suaraku terbata-bata ibarat ini.” Suara dari radio yang terdengar serak. 

Aku merasa bersalah padanya, saya bahkan tak pernah memutar radioku selama ini. “Malin? Kau dengar saya kan? Kapan kau akan pulang? Ambil foto-foto Taj Mahal sebagai kenang-kenangan untukku ya!” ucapnya semakin lemas. Sedang khidmatnya saya mendengarkan, Agni marah padaku karena saya tak bicara dengannya dari tadi. 

“Oke… Itulah curhatan dari seorang sahabat untuk yang ada di India sana. Sekarang inilah request lagu darinya untuk sahabatnya di India.” 

# Apne roothein paaraye roothein
   Yaare roothein na
   Khwabe thotein wade thotein dil ye thoteina

Agni menarikku turun ke bawah. Sinyal radio mendadak hilang. Lagu yang dikirimnya serasa sedikit familiar. Ah saya ingat! Itu yaitu lagu soundtrack Lonceng Cinta, sinema televisi kesukaan ibuku di balai desa. Pernah sekali saya cari artinya, yakni seorang sahabat yang meminta pada Tuhannya biar persahabatannya kembali baik dan tidak terjadi problem pada temannya.

Aku kembali ke asrama. Aku mendapat surat dari Indonesia, dari Emak yang berisi jika Malin sedang sakit. Emak memintaku untuk pulang ke Indonesia jika bisa. Namun melihat kondisiku yang ibarat ini, tidak memungkinkan saya untuk pulang. Ditambah lagi saya tak punya uang untuk pulang. Aku tetap disini, paling hanya sakit biasa. Soalnya tadi hanya suaranya serak sepertinya hanya demam biasa.

Aku menjalani hari-hariku dengan biasa, selalu menghabiskan waktuku dengan Agni jika ada jam yang kosong. Dan hanya berdiam diri di kamar asrama. Sebenarnya saya bingung, saya sahabat yang jahat tidak yah? Seharusnya saya selalu datang ke menara sesuai yang dimintanya. Namun aku? Tak pernah sekalipun datang ke menara Taj Mahal. Aku sangat merasa bersalah, apa sebaiknya saya datang kesana sekarang juga? Aku eksklusif membawa radio peninggalan kakekku dan berlari ke menara sesuai perjanjian, di sore hari India. 

Entah mengapa kali ini saya sangat memperhatikan detil bangunan Taj Mahal. Taj Mahal, bangunan megah berkubah yang menyejukkan hati para pelihatnya. Aku eksklusif berlari menuju menara, menyalakan radioku dan eksklusif memasang telingaku dengan seksama. 

"Selamat datang di radiocurhat.fm kali ini dengan bintang tamu yang sama. Ranta kumara Ranta, haha. Ranta namanya yang sangat merindukan temannya di India. Sudah lama dari awal ia curhat disini kondisinya semakin mengenaskan. Semoga bisa lekas sembuh dan cepat bertemu dengan temanmu ya!'' terdengar bunyi penyiar memulai.
"Aamiin, bukan teman! Tapi sahabat." terdengar lirih bunyi Ranta yang serak.
"Ya Ranta, kali ini mau apa?" 
"Aku akan menyanyikan sebuah lagu untuk sahabatku."
"Oke, waktu dan kawasan 100% untukmu, silahkan."

Suara alunan gitar yang dipetiknya berbunyi "Malin, kau mendengarku bukan? Jangan sedih ya, kuharap kau tak terganggu dengan curhatan-curhatan membosankan wacana penyakitku. Lagu Bhula Dena, Lupakan aku." ucapnya diiringi petikan gitar.

"Bhula dena mujhe, hai alvida tujhe, tujhe jeena haii mere bina. Lupakanlah aku, Saatnya mengucapkan selamat tinggal, kau harus hidup tanpa aku." ucapnya bernyanyi India dilanjutkan versi Indonesia dengan bunyi serak menakutkan.
"Safar yeh tera, yeh raasta tera, tujhe jeena hai mere bina. Ho teri saari shoharatein hai yeh duaa. Tujhi pe saari rehmatein hai yeh duaa. Tujhe jeena hai mere bina. Bhula dena mujhe, hai alvida tujhe. Tujhe jeena hai mere bina." sambungnya.

Alunan dari petikan gitarnya membuat seolah air mata keluar dari mataku. "Tu hi hai kinara tera, tu hi to saahara tera. Tu hi hai kaarana kalka, tu hi to faasana kal ka, khud pe yaqeen tu karna. Banna tu apna khuda..." suaranya semakin serak.

"Fiza ki shaam hoon main, tu hai nayi subah, tujhe jeena hai mere bina. Tujhe jeena hai mere bina." alunan gitarnya mulai melambat dan suaranya juga semakin lemah.

Instrumen lagunya terdengar sangat menyedihkan. Apa maksud penyakit? Dia sakit apa? Bukannya hanya panas biasa? Atau jangan-jangan DB?

"Khilengi Jahaan... bahaarein sabhi, mujhe tu waahan, paayega. Rahengi jahan, humaari wafa, mujhe tu wahaan.. paayega. Milunga main iss tarah waada raha. Rahunga sang main sada, waada raha. Tujhe jeena hai mere bina. Bhula deena mujhe, hai alvida tujhee tujhe jeena hai mere bina." hanya terdengar alunan gitar setelahnya. 
"Malin Paayega, Malin disana? Sahabatku, saya kangen batang hidungmu. Ini yaitu perjalananmu ini yaitu jalanmu. Kau harus hidup tanpa aku. Semua ketenaran menjadi milikmu, itulah doaku. Semua anugerah untukmu, itulah doaku. Kau harus hidup tanpa aku. Lupakan aku, selamat tinggal untukmu, Kau harus hidup tanpa aku." sambungnya diiringi petikan alunan gitar. Aku bertanya-tanya apa maksudnya ia berkata begitu?
"Kau yaitu pantai dirimu sendiri, kau dukung dirimu sendiri. Kau yaitu irama esok hari, percayalah pada dirimu sendiri. Jadilah Yang Mahakuasa untuk dirimu sendiri." sambungnya terdengar serak dan sangat lemah.
"Aku ibarat malam, kau ibarat pagi. Bukannya saya tak ingin selalu bersamamu. Namun takdir kita berbeda Malin, kau harus hidup tanpa aku. Tujhe jeena hai mere bina. Tapi jangan khawatir, dimana animo semi mekar, kau akan menemukanku disana, wahai Paayega. Aku gres tahu, kata Emak kau ia beri nama kau Paayega alasannya sinetron India, Aashiqui 2 haha. uhuk..uhuk.." sambungnya memetik gitarnya kembali, terdengar bunyi batuk. 
"Rantaa!! Rantaa!!' panggilku spontan.
"Uhuk.. Jangan khawatirkan saya Malin, dimana kepercayaan itu ada, kau akan menemukanku disana. Aku akan menemuimu dengan cara itu. Aku berjanji! Aku akan selalu bersamamu, saya janji. Kau harus hidup tanpa aku. Tujhe jeena hai mere bina. Lupakan aku, kau harus hidup tanpa aku. Maaf telah meninggalkanmu sendiri. uhuk UHUK.." bunyi batuknya semakin keras.
"Ran! Ranta!! Kau tak apa kan? Ranta!!!". Seketika sambungan radio tiba-tiba terputus. Radio peninggalan Bapak seketika jatuh, tubuhku juga jatuh bersimpuh.
"Maaliinn!!" ucap seseorang memelukku dari belakang. Tidak lain ialah Emak. 
"Emak? Emak disini?" ucapku kebingungan. Aku menengok ke belakang, ternyata ada Emak Ranta dan juga kakak perempuannya. "Dimana Ranta?" tanyaku bersemangat.

Emak memelukku dan terus-terusan menangis hingga ingusnya lagi-lagi melekat di bajuku. Aku jadi teringat 14 tahun yang lalu, di dikala Emak melaksanakan hal yang sama padaku. "Mak? Ranta mana Mak?" ucapku semakin keras. Emak mengangkat tubuhku untuk berdiri. Mereka mengajakku ke Sungai Gangga. Aku masih kebingungan akan apa yang mereka lakukan padaku, apakah ini surprise dari Ranta?

Kakak Ranta memberikanku bungkusan yang telah dibalut kain merah. Emak dan Emak Ranta menangis tak kuasa. Aku kebingungan dan bertanya "Ini apa?". "Buka dan lihat sendiri." jawab kakak perempuan Ranta itu. Ragu kubuka bungkusan itu, abu?? Apa maksudnya?

"Itu Ranta, Malin." ucap kakaknya. Seketika tubuhku jatuh, benarkah ini Ranta? Abu ini? Ranta. Mustahil."Ranta meminta biar kau yang menghanyutkan abunya di tanah India ini." ucap Emak memelukku. Air mataku serasa kering, saking marah atau pun sedihnya saya tak tahu air mataku tak mau keluar.

Aku berjalan ke tengah sungai dan menaburkan abunya di Sungai Gangga yang suci ini. Tangis tak menyertaiku, sama ibarat kejadian 14 tahun silam. Aku tak bisa mengekspresikan perasaanku. Aku masih tak percaya jika ini yaitu Ranta sahabatku. 

Emak menceritakanku segalanya. Emak merasa kecewa saya tak pulang ke Indonesia. Sebenarnya surat yang dikirimkan Emak yaitu surat 3 bulan yang lalu, namun gres hingga kemarin karena Emak tidak punya cukup uang untuk membayar. Masalah penyakit Ranta, ia terkena kanker darah. Sudah lama, dikala sabung denganku dan ia mimisan itu yaitu salah satu tandanya. Namun saya tak pernah menyadari itu. Ranta yang tak lolos kesehatan bukan karena buta warna, melainkan karena penyakit kankernya itu.

Emak menduga saya sudah tahu semua itu. Karena Ranta selalu curhat wacana penyakitnya padaku lewat radio. Namun sayangnya saya tak pernah menyempatkan diri untuk mendengarkan siarannya. Aku sangat menyesal, sahabat macam apa saya ini. 

Dan mengenai siaran itu, yaitu siaran dua hari yang lalu, sempurna 13 September 2013 Ranta menghembuskan nafas terakhir. Satelit di India gres dapat membelokkan sinyal yang diterima oleh Indonesia setelah 2 hari 1 malam lamanya. Sebenarnya siaran dilangsungkan pukul 12.00 WITA. Disalurkan ke India pukul itu juga, dan disebarkan oleh satelit India di waktu yang bersamaan. Emak tak tahu sebabnya, mengapa Ranta memintaku untuk mendengarkan gelombang sinyal yang dipantulkan samar oleh satelit Indonesia lagi setelah 2 hari 1 malam, tepatnya sekitar sore satelit India menangkap samar lagi sinyal yang sudah pernah disebarkannya itu. Itulah mengapa siaran terkadang agak kurang terperinci dan terputus sendiri.

Dia kurang ajar, telah membuatku sendirian disini. Maafkan saya Ranta, andai saya kesana dikala itu. Aku pasti akan bisa melihat tampangmu untuk terakhir kalinya. Demi namamu, saya berusaha untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya di tanah India ini. Tujhe Jeena Hai Mere Bina, saya pasti akan bisa hidup tanpamu. Meskipun sulit, saya akan mencobanya. Aku akan menunggu dimana animo semi mekar, dan kau telah berjanji akan menemuiku disana.

Profil Penulis:
Terima kasih buat Kak Gyan Pramesty yang udah nerbitin cerpenku 3 tahun yang lalu, dikala gres masuk kelas 1 SMP :D Kaget, ternyata diterbitin juga, bahasanya hancur banget:vv Gak nyangka pernah bikin cerpen disini. Aku jadi pengin bikin lagi, jika berkenan tolong diterbitkan lagi ya Kak:DD. Namaku Wening Nur Mitayani, temen biasa manggil Wen atau pun Ning, umur 14 tahun lahir 9 Mei 2002, siswa di SMPN 1 Cilacap, kelas 3 lagi cari sekolah galau mau dimana, hehe. Akun facebook https://web.facebook.com/wening.nurmitayani, ig : @wening_en.em

Previous
Next Post »