Last Place Karya Aulia Jonanda Harlis

LAST PLACE
Karya Aulia Jonanda Harlis

Dentingan piano mengalun dari sebuah piano bagus yang tentunya tak lupa diberi pertolongan oleh jari-jari lentik sang pemain piano. dengan piawai Lia, memainkan piano dan sambil bernyanyi kecil. suasana kelas telah sepi, jam sekolah telah berahir semenjak 2 jam tadi. hanya tinggal Lia seorang diruang musik ini, dan beberapa siswa yang sedang berlatih basket di lapangan depan ruang seni. tak lama, Lia mendapati telfonnya berdering, dan belum sempat ia mengangkat, sambungannya telah terputus. 10 panggilan tak terjawab dari sahabatnya, Beauty. kesudahannya ia memutuskan untuk menelfon Uty.

"Hallo Ty, kena..." kata-kata Lia terhenti ketika ia mendengarkan teriakan dan tangisan dari Uty di ujung telpon.
"LO KEMANA AJA LIA? LUFI UDAH PERGI! DIA NINGGALIN KITA! SELAMANYA!"

Mendengar teriakan itu, Lia linglung.

"Eh maksud kau apaan sih ty? kalo ngmng pelan-pelan dong. indera pendengaran saya juga masih waras ka.."

Kata-kata Lia dipotong lagi olh Uty

"Lufi udah pergi, ninggalin kita, selamanya. ia udah damai di sisi Allah" kali ini Uty menjelaskan dengan lebih singkat dan sedikit mengurangi emosinya, alasannya ialah ia tahu, Lia ialah orang yang sangat lemot.
"LUFIII!!!!" Lia pribadi tersungkur disamping mayat Lufi yang telah terbujur kaku dan sudah berlapis kain putih di seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya. Lia masih mampu melihat wajah cantik dan senyum manis Lufi. hanya saja, bibirnya yang merah merona berganti warna menjadi biru pucat. tapi wajahnya tampak lebih terlihat cantik dan bersinar.

Uty, Ira, dan sahabat Lia yang lainnya sontak pribadi memeluk Lia sambil ikut menangis.

"lufii, maafin aku. maaf saya gak mampu ada disamping kau ketika kau butuh bantuan. maafin saya fi, saya bukan sahabat yang baik untuk kamu. saya bener-bener orang jahat yang gak pantes kau anggap sebagai sahabat fi. saya jahaaaaat fi, saya jahaaat. maafin saya fii, saya sayang kau Lufiii. kenapa kau cepet banget ninggali saya fiii. saya masih butuh kau disi, Fi." Lia terus menangis dengan tersedu-sedu. kini, lengkap sudah. ia telah kehilangan sahabat terbaiknya.

Sejak kepergian sahabatnya itu, Lia menjadi lebih pendiam dan lebih sering menyendiri. menyerupai ketika ini, ia hanya duduk di taman sekolah dengan pandangan kosong ke arah lapangan yang sedang ada pertandingan basket antar kelas. tiba-tiba, Padli datang. ya, Padli.

"Hai. saya Padli" ia menyodorkan tangannta kepada Lia.
"Eh. hm.aku.. aku.. Lia."

Lia tak membalas uluran tangan Padli, dan terlihat menyerupai memaksakan senyum dan ingin segera pergi dari kawasan ini. Lia tidak sedang ini diganggu, oleh siapa pun juga. ketika Lia bangkit dari duduknya dan bersiap akan pergi, Padli menarik tangannya. dan pandangan mereka bertemu.

"Apaan sih? lepasin aku!" pinta Lia.
"Duduk dulu deh sini." pinta Padli kepada Lia dengan bunyi yang ramah dan terkesan lembut.

Lia kesudahannya mau tak mau mengikuti impian Padli untuk duduk disampingnya, dan menarik tangganya yang tadi sempat di pegang padli ke pangkuannya.

"Aku lihat akhir-akhir ini, kau jadi lebih diem dan menyendiri. malah kebanyakkan melamunnya. ada apa?"
"Oh, engga. saya gak papa"
"Biasanya, kau selalu berdua dengan temen kau yang pake beling mata itu. kok ia gak keliatan lagi sekarang  ya."
"Dia.. ia udah di surga sekarang." air mata Lia menetes. dan tanpa sadar ia mulai menangis.

Padli tak mengeluarkan kata-kata lagi. ia hanya diam, dan merasa sangat bersalah. dan bingung, galau apa yang harus ia lakukan ketika ada seorang perempuan sedang menangis di sisinya. kesudahannya ia hanya ia dan menunggu Lia berhenti menangis dengan sendirinya.

"Eh. maaf. kok saya nangis ya" Lia memaksakan senyum dan mencoba untuk menghapus air mata yang tersisa
"Iya, gpp kok. wajar kalo kau nangis. maaf ya, saya udah buat kau nangis." ucap Padli, ia merasa sangat bersalah.
"Iya udah gpp kok, ganti topik aja ya."

Akhirnya, semenjak hari itu Lia dan Padli semakin dekat, menjadi teman, sekaligus seorang kakak untuk Lia. kini, Lia sudah tak merasa sedih dan kesepian lagi. dan ia sudah benar-benar mengikhlaskan kepergian Lufi, itu juga karna pertolongan Padli. sudah banyak waktu yang mereka habiskan bersama, mengobrol, nonton, hunting, lunch, liburan, dan banyak hal menyenangkan lainnya.

"Lia, nanti saya tunngu ditaman ya. ada yang mau saya omongin ke kamu"
"Yaelah, ngomong sekarang aja Pad"
"Yah, kalo sekarang gak kejutan dong"

Last Place  Karya Aulia Jonanda Harlis

Siang menjelang sore, Lia mulai berkemas-kemas untuk menemui Padli di taman kawasan biasa mereka bertemu. ia sengaja berjalan kaki dari rumah, karna ia tahu, Padli ialah orang yang paling ngaret kalo diajak ketemuan. dengan berjalan santai, Lia  menyusuri jalan yang mulai rame.

Sesampainya di taman, ternyata benar dugaannya, Padli belum ada ditempat. dan ia segera memilih salah satu kawasan duduk yang ada dibawah pohon yang rindang dan teduh. Lia sudah membawa dua icecream ditangannya, yang sudah ia siapkan untuk makan berdua bersama Padli. 30 menit sudah berlalu, dan icecreamnya sudah hampir mencair. kesudahannya Lia memutuskan untuk memakan icecreamnya duluan. ia bosan. tak biasa Padli ngaret sampe 30menit. ini sudah keterlalulan. Lia akan menjitak dan mengelitiki Padli kalau ia hingga nanti.

2 jam Lia menunggu, dan tak ada tanda-tanda padli akan datang. jam sudah menawarkan pukul 5 sore. sudah waktunya Lia pulang. Lia pun segera meninggalkan kawasan duduk, berjalan sambil memakan icecream yang tidak jadi ia berikan pada Padli. dengan memasang muka kesal, ia berjalan cepat, karna takut kesorean sampe dirumah.

Keesokan harinya, ia mencari Padli ke kelas, dan ternyata Padli tidak masuk sekolah.

"Kemana anak itu, ngeselin banget!" Lia berdengus kesal, karna tak juga mampu bertemu dengan Padli.

1 minggu, tanpa kabar dari Padli. Lia sudah mencoba mendatangi rumahnya, tapi tak ada yang membukakan pintu. dan sekarang, ia gres saja pulang dari rumah Padli, dan kali ini rumah itu menyerupai tak berpenghuni.

2 bulan kemudia, ketika Lia sedang asik duduk dan membaca novel di teras rumahnya, tiba-tiba Ibu Padli datang menghapirinya.

"Assalamualaikum, Lia"
"Eh iya, walaikumsallam, bu" Lia kaget
"Ibu cuma mau kasih ini ke kamu, nak."
"Apa ini bu?"
"Buka saja nanti ya. yasudah, ibu pamit dulu. Assalamualaikum"
"Tapi bu... ini, eh iya walaikumsallam"

Lia pribadi berlari ke kamarnya dan segera membuka surat yang diberikan Ibu Padli tadi kepadanya.

Temui saya di sudut taman kawasan kita biasa bertemu ya Lia, sekarang.

Lia pun pribadi bergegas pergi ke kawasan yang Padli maksud, perasaannya sudah sangat gelisah. dan Lia hampir menangis ditengah perjalanan.

Sesampainya di tempat, tak ada siapapun disana. diujung taman, sangat sepi. tiba-tiba ada seorang bapak yang sedang lewat.

"Hmm maaf pak, apa benar ini yang dimaksud dengan ujung taman?"
"Iya nak, benar, ini ujung dari taman ini. ada yang mampu saya bantu, nak?"
"Apa bapak melihat sahabat saya, ia cowok, tinggi, putih, terus pake topi"
"Ohiya, saya tahu. ia berpesan, kalau ada seorang perempuan muda yang cantik dan berlesung pipi ia menyuruh saya untuk memberitahu anda bahwa ia ada disana"

Lia melihat apa yang ditunjuk oleh bapak tadi, dan pribadi bergegas berjalan kesana, menuju sebuah pohon yang sangat rindang. ketika ia sampai, ternyata pohon itu sedang melindungi sebuah.. sebuah gundukan tanah yang tertancap nisan yang bertuliskan nama seseorang yang ia cari selama satu bulan ini. Lia pribadi terduduk lesu, dan menangis sambil memeluk nisan itu

"PADLII!!" Lia berteriak. tak sanggup lagi rasanya kalau ia harus kehilangan orang yang ia sayangi.

Didepan nisan, ada sepucuk surat. Lia membacanya

Hai Lia, kau apakabar? saya harap kau  baik-baik saja ya. sudah, jangan menangis sayang. saya disini baik-baik saja kok, jangan khawatirkan saya ya. dan kali ini, saya gak ngaret kan datangnya, malah kau yang ngaret. tapi gpp kok, saya gak akan jitak dan kelitikkin kamu. ohiya, saya minta maaf ya kalo selama ini saya salah sama kamu, saya juga ngilang berhari-hari tanpa kasi kabar ke kamu, terus saya juga pergi tanpa pamit ke kamu. maaf ya Lia,  bukannya saya gak mau, tapi saya takut buat kau nangis, dan susah buat ngikhlasin aku. saya gak mau liat kau nangis, saya gak mau liat kau sedih. saya pengen liat kau senyum, liat kau main piano, liat kau makan icecream, liat kau ketawa. maaf kalo dulu waktu saya masih hidup, saya gak mampu ada terus disaat kau butuh aku. maaf kalo saya bukan temat yang baik untuk kamu. semenjak kita pertama kali saya lihat kamu, saya sudah jatuh hati sama kau Lia. saya sayang kamu. saya cinta kau Lia. tak akan ada yang mampu menggantikan kau di hati aku. maaf saya gres menyampaikannya sekarang sama kau ya Lia. sudah jangan nangis, dan jangan ngerasa kehilangan. karna saya disisimu selalu lia. saya akan menjadi udara yang segar untuk kau hirup setiap detik, saya akan menjadi angin senja yang bertiup lembut untukmu, dan saya akan selalu menjadi melodi merdu yang selalu kau dengar ketika kau bermain piano. saya tidak pergi, sayang. saya ada, disisi dan dihatimu. selamanya.

Air mata Lia pun semakin deras berjatuhan. ingin rasanya ia memeluk Padli untuk yang terakhir kalinya. ingin rasanya ia melihat wajah Padli untuk terakhir kalinya. kini, tak ada lagi seseorang yang menjadi sahabat terbaikknya, tak ada lagi sosok kakak yang menasehatinya, tak ada lagi sosok lelaki yang menyayangi dan mencintainya. ia tak tau lagi harus berlari kemana dikala hatinya membutuhkan senderan untuk menangis, kemana lagi ia harus mencari jikala ia sedang ketakutan. ia tak memiliki siapa-siapa lagi disini. kalau ada pilihan, ia memilh untuk ikut bersama Padli, daripada harus hidup sendiri, disini.

Hari sudah menjelang sore, langit mulai berwarna jingga. dan ketika ia berdiri, dan bersiap meninggalkan kawasan itu, tiba-tiba angin bertiup lembut menggoyangkan daun pohon yang rindang, dan menerbangkan rambut-rambutnya. ia menarik nafas panjang dan ketika itulah ia yakin kalau ia tak sendiri. ia percaya, Padli ada disisinya ketika ini.

Profil Penulis:
Aulia Jonanda Harlis. Lahir pada tanggal 24 Agustus 1997. facebook: Aulia Jonanda Harlis

Previous
Next Post »