Impian Pantai Kelapa Karya Winda Ratriana

IMPIAN PANTAI KELAPA
Karya Winda Ratriana

“Tik.. Tik.. Tik..” Bunyi tetesan air yang tiada hentinya menghujam lapangan sekolahku di sore itu tanpa menampakkan birunya lukisan langit sedikitpun. Di teras kelas sambil sedikit terdiam saya memandang ke arah tetesan air itu berasal, berandai seakan saya mampu menghentikan langit yang menangis itu supaya saya mampu pulang sekolah tanpa harus berair – basahan.
“Hayooo… Dara nglamun mulu ngapain sih? Hujan ga usah kau tungguin juga reda sendiri kog ntar. Tenang aja lah, kan gres jam segini” Tiba - tiba ada bunyi yang mengagetkanku dari belakang. Memang bunyi itu Nampak ia sengaja untuk menggangguku yang sedang melamun. Fia, sobat sekelasku semenjak 2 tahun lalu. Dia membuatku seolah semoga tidak bosan menuggu hujan reda. Sementara di dalam kelas ada dua sobat lain yang sedang asyik bersenda gurau seolah tak peduli di luar hujan lebat menahannya untuk tetap ada di sana. Fia bermaksud untuk mengajakku masuk ke dalam kelas untuk bergabung dengannya dan dua sobat lain. 
“Daripada nglamun di sini, hujan malah takut ntar kau liatin mulu. Masuk yuk, ada Roy loh di dalam” Fia sedikit membujukku.
“Serius? Yaudah masuk yuk” Aku pribadi masuk ke dalam kelas mendahului Fia yang tadinya berusaha membujukku dan bergabung dengan dua temanku yang tak lain itu ialah Roy dan Anes. 

Roy ialah temanku semenjak saya duduk di dingklik SMA dua tahun lalu. Tapi kami tidak pernah satu kelas. Kami bersahabat pun gres ahad – ahad ini semenjak kita menjadi keluarga satu organisasi di salah satu ekstrakurikuler. Sejak satu tahun yang lalu saya memang pernah mengaguminya dikala ia mengalunkan lagu cantik di malam pesta unggun bangga di sekolahku. Entah apa yang membuatku kagum padanya, dikala mengalunkan lagu itu tidak hanya masuk dalam pendengaran namun masuk ke dalam hati. Tak henti saya memandanginya dikala itu. Mataku seolah menolak untuk berkedip. Sedikit berlebihan memang, tapi begitulah adanya. Sampai sekarang saya  hanya menyimpan rasa kagum ini dan menganggapnya sebagai sobat saja. Tanpa diketahuinya dan temanku yang lain. Kecuali Fia.

Sudah sejam lebih kita berempat ngrumpi di dalam kelas sambil bergurau menghilangkan rasa penat menunggu hujan reda.

“Noh liat, langit udah biru lagi tuh. Eh kita jadi jalan kan?” Tanya Fia kepada Roy dan Anes.
“Jadi lah. Rugi kalo ga jadi, udah nunggu hujan berjam – jam masa kaga jadi?” Jawab Anes.
“Kalian berdua. Trus aku?” Roy kebingungan.
“Kog susah – susah, Dara kan ada. Ya nggak? Dara mau kan gabung sama kita? Ntar saya sama Anes, kau sama Roy.”
“Yaudah daripada di rumah nganggur, saya ngikut aja.”

Hari itu saya yang tadinya belum pernah jalan bareng sama Roy, gara - gara kedua temanku itu mau tidak mau saya harus ngikut Roy dari berangkat hingga pulang. Aku melihat di sepanjang jalan senja telah memaparkan keindahannya yang membuat semua orang nyaman tiada tara ketika memandangnya. Menandakan hari sudah mulai petang. Fia dan Anes sudah kembali ke rumahnya, sementara saya harus mengantar Roy hingga gerbang masuk sekolahku.

“Makasih ya Dara, hati – hati di jalan” Ucap Roy padaku.
“Iya Roy.”        
“Oh iya, besok ada program jalan bareng anak – anak ke pantai untuk merayakan pelantikan kita itu kau ikut kan?”
“Iya saya ikut.”
“Besok saya jemput boleh ya? Tadi kan saya udah boleh numpang sama kamu, ntar ganti saya barengin kau hingga sekolah.”
“Gimana ya, sebetulnya ga usah. Tapi kalo kau mau datang silahkan.”

Impian Pantai Kelapa Karya Winda Ratriana

Keesokan harinya, Roy menjemputku ibarat yang ia katakan petang lalu. Aku yang sedang asyik menata jilbab sambil berbenah diri segera meninggalkan depan beling dan menggendong ranselku untuk menemui Roy yang agaknya sudah menungguku dan siap berangkat.

“Bu, Dara berangkat dulu ya?” Pamitku pada ibuku sembari mencium tangannya.
“Iya Ra, jaga diri baik – baik ya..” Sambil mengecup keningku.

Di sepanjang jalan saya dengan Roy bersenda gurau dan makin bersahabat dari sebelumnya. Tak terasa tiga bus sudah Nampak menunggu kami di depan sekolah. Kami segera memarkirkan sepeda motor dan naik ke dalam bus. Kebetulan saya dengan Roy ternyata satu bus. Begitu pula dengan Fia dan Anes. 

Kami begitu menikmati perjalanan. Ada yang selfie dengan gaya – gaya alaynya, ada yang bergurau dengan sobat sebayanya, dan ada juga yang menikmati keindahan di sepanjang jalan dibalik beling bus. Sedangkan saya menahan kantuk di samping Roy yang sedang asyik mendengarkan musik dengan headset.

“Getaran cinta kian terus membelenggu, kurasa ku tlah jatuh cinta di perkemahan ini…..” Menirukan alunan lagu yang sedang didengarkannya, Roy bernyanyi dengan bunyi sedikit lantang.
“Asik bener dari tadi, dengerin lagu apaan sih kamu” Tanyaku penasaran.
“Ada deh. Keren ni lagunya, mau degerin gak?” Sambil menunjukkan sebelah headsetnya kepadaku. 

Lagu itu mengingatkanku ihwal malam unggun waktu itu. Tapi sudahlah, lupakan. Nyamannya nyanyi lagu itu bareng sama Roy.

Tak terasa saya tertidur setelah Roy kasih sebelah headsetnya dan mendengarkan alunan lagu – lagu hingga hilang rasa kantuk alasannya tertidur pulas. Dan akhirnya, tak lama tujuan sudah ada di depan mata. Pak supir Nampak bangkit di depan pintu masuk untuk membeli tiket masuk. Setelah masing – masing mendapat tiket masuk, rombongan turun dari bus, dan….. Subhanallaah. Pemandangan cantik ciptaan-Nya telah di depan mata. Langit dan lautan seolah berhadapan saling memperlihatkan kilauan biru yang dimilikinya.

Ombak ialah alunan alam terindah yang bagiku membuatku sangat nyaman dan tenang. Aku bermaksud berjalan seorang diri mendekati pantai untuk menikmati keindahan alam favoritku itu. Namun tanpa kusadari ternyata saya tidaklah berjalan seorang diri. Roy membisu – membisu mengikutiku dari belakang dan membuatku sedikit kaget karenanya. Dia bangkit di sampingku sambil menirukanku memandang dan menikmati laut lepas.

“Jadi ini keindahan kesukaanmu?” 
“Iya, cantik kan?”

Roy tidak menjawab pertanyaanku. Seketika ia membisu lalu mengalihkan pandangan menatap kearahku. Aku mendadak terdiam terpaku. Aku harus apa? Jantungku berdetak tak beraturan. Tak sempat rasanya saya menghela nafas panjang. Mataku tak berkedip menatap ke arah seorang yang di sampingku. Terlintas di fikiranku bahwa makhluk yang ada di sampingku ialah seorang yang pernah ku kagumi selama 2 tahun terakhir tanpa disadari sedikitpun olehnya. Yang setiap harinya mecuri – curi pandangannya meski hanya dari jauh. Dan makhluk itu sekarang ada di dekatku, di depan mataku. Tanpa harus curi pandang lagi, dan tanpa harus kuminta, ia balas pandanganku. 

“Tapi yang di depanku ini lebih indah. Pada awalnya tidak terasa apa – apa. Ketika pertama saya jalan sama kamu, kemudian saya mulai merasa ketika saya selalu memikirkan ihwal kamu. Tapi saya sangat gugup, saya akui sekarang saya menyukaimu. Aku nyaman sama kau Ra.” Tiba – tiba lanturan itu keluar dari lisan Roy. Pandangannya seolah mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan padanya semenjak dulu. Di tepi pantai itu, di bawah langit senja yang seolah tak rela melepas siang untuk bertemu malam. Di dalam lubuk hati yang seolah tak ingin berucap. Kata – kataku seolah dirampas detak jantung yang makin menjadi. Roy merangkul tanganku yang dipenuhi keringat masbodoh berusaha menghela nafas panjang.

Aku galau entah harus bahagia atau takut. Bagaimana tidak bahagia mendengar dan melihat permata impianku berada pada genggaman. Dia mimpiku, anganku, dan khayalanku. Seolah tak percaya apa yang telah keluar dari mulutnya gres saja. Aku takut. Aku takut apabila ia tau apa yang ada dalam lubuk hatiku, saya akan kehilangan ia sebagai seorang teman. Sebagai seorang sahabat.

“Kamu, memang selalu cantik di mataku. Kamu, memang sudah ada di sini semenjak lama. Aku memang nyaman denganmu. Terimakasih Roy. Kamu mengizinkanku mengetahui apa yang ada dalam hatimu. Tapi, cukup kita saling tau bukan lebih. Kita ditakdirkan untuk menjadi seorang sahabat  yang kompak. Aku akan selalu ada jikalau kau butuh aku. Kita sepakati saja bahwa perasaan ini hanya alasannya terbiasa. Bukan alasannya cinta.” Aku berusaha menunjukkan lukisan senyum untuk Roy. Kurasa itu keputusan terbaik untukku begitupun dia. 
Roy Nampak terdiam tanpa berucap satu kata pun. Seolah berusaha untuk tidak mengalihkan pandangannya dariku. Dengan sedikit fake ia membalas senyumku, seolah tak terjadi apa – apa. Roy perlahan melepaskan genggamannya dari tanganku. Dia ganti dengan uluran jari kelingkingnya untukku. Kubalas pula dengan kelingkingku yang mungil untuk saling berjanji.

“Kita akan menjadi sahabat”

Tanpa disadari, kami telah bangkit ditepi pantai sudah lumayan lamanya. Dan tanpa menghiraukan apa yang ada di sekeliling. Kita kembali dengan rombongan, bertingkah sebagaimana biasanya dan seolah tidak terjadi apa – apa.

Sejak hari itu saya dengan Roy menjadi semakin akrab. Sering pulang bareng, berangkat bareng, dan jikalau ada waktu yang sedikit luang kita gunakan untuk jalan bareng. Dan tetap berada di bawah komitmen kita di pantai kelapa itu, kami akan tetap menjadi seorang sahabat.

Profil Penulis:
Nama Facebook : Winda Ratriana

Previous
Next Post »