MELIHAT DENGAN NADA
Karya Maya Yuniarto
Sebuah mobil terlihat sedang memasuki halaman sebuah rumah dengan nuansa yang serba cokelat dikelilingi pohon-pohon yang rindang di ujung jalan. Setelah terparkir, seorang gadis
dan seorang laki-laki paruh baya keluar dari mobil itu. Gadis itu berjalan lebih dulu di ikuti laki-laki paruh baya itu dari belakang. Beberapa langkah dia berjalan, dia di sambut oleh seorang pegawai di rumahnya dengan sedikit menundukan kepala dan tersenyum ramah padanya. Namun dia tak merespon pegawai di sampingnya itu. Dia masih terus berjalan menuju pintu samping yang langsung ke ruangan tengah rumahnya.
Di tengah langkah kakinya menuju pintu ruang tengah, Jina mendengar alunan nada yang rupawan yang dimainkan dengan piano. Jina rasa yang memainkan piano di sana adalah salah satu murid dari ayahnya. Semakin lama alunan nada itu mulai kacau, namun kembali indah lagi di dengar saat Jina memasuki ruang tengah. Jina duduk di kursi yang menjadi perbatasan ruang tengah sampai alunan lagu itu pun berhenti.
Melihat dengan Nada Karya Maya Yuniarto |
,” ,
Seorang laki-laki sedang memainkan sebuah lagu dengan piano yang di awasi oleh guru lesnya itu. Dio memang sudah bisa bermain piano, namun dia masih saja mencari guru les piano. Alasannya agar dia bisa keluar rumah dan tak bosan terus di kurung di rumahnya. Dan hari ini Dio menemukan tempat les yang cocok, sejuk dan… damai. Saat Dio sedang memainkan lagu dengan pianonya, dia melihat seorang gadis dari luar jendela kaca berjalan melintas di hadapannya. Matanya terus memandangi gadis itu, sampai membuat alunan pianonya menjadi melantur.
BLAKK… Ketahuan Dio melantur bermain piano, guru lesnya memukul pinggir piano itu dengan sebilah kayu di tangannya yang hampir mengenai tangan Dio dan kini tersadar kembali fokus pada permainannya. Sesekali Dio melirik gadis itu yang kini duduk membelakangi ruang tengah ini saat gurunya lengah.
Cukup. Dio mengakhiri lagunya dan berkemas pergi meninggalkan tempat itu. Lesnya telah selesai. Dio berjalan menuju pintu ruang tengah, di saat yang sama gadis itu pun ikut berdiri dan mulai berjalan berlawanan arah dengan Dio. Saat berpapasan dengan gadis itu, Dio tengah meminum obat hariannya yang langsung dimasukkan ke dalam mulutnya. Namun gadis itu tak merespon, tatapannnya tetap lurus ke depan. Dio berpikir gadis itu sangat dingin dan tak tahu sopan santun.
Setelah gadis itu berlalu, Dio merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Lalu dia mendekati ayahnya yang berada di pintu samping.
“Ayah… Apa Ayah mengenal gadis itu?” Tanya Dio penuh dengan rasa penasaran.
“Sssttt… Sudahlah.” Ayahnya tak menjelaskan apapun dan hanya meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. Kemudian mendorong badan Dio keluar dari ruangan itu.
Keesokan harinya, Dio kembali datang ke tempat les pianonya bersama dengan ayahnya. Saat memasuki halaman rumah, dia di sambut dengan seorang pegawai di rumah tersebut, pegawai yang sama saat menyambut gadis kemarin. Dio pun membalas salam pegawai itu dan tersenyum padanya.
Saat memasuki ruang tengah dimana Dio berlatih piano, dia melihat gadis yang kemarin sedang di marahi oleh guru lesnya. Gadis itu menangis, lalu menjatuhkan sebuah kaleng yang berisi butiran-butiran seperti permen berwarna-warni dan berserakan di lantai. Gadis itu tergeletak di lantai sambil tangannya meraba-raba mencari permen-permen tadi.
Dio baru sadar bahwa gadis itu sepertinya tak dapat melihat.
“Ayah… Apa gadis itu buta?” Tanya Dio sambil menarik lengan ayahnya dengan tangan kiri dan tangan kanannya di lambaikan di depan matanya.
Beberapa menit, saat guru lesnya pergi meninggalkan gadis itu yang masih mencari permen yang berserakan di lantai, Dio menghampirinya dan membantu memungut permen-permen tadi ke dalam kaleng juga membantu gadis itu duduk menghadap piano.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Dio pada gadis itu, lalu duduk di sampingnya.
“Ya, aku tidak apa-apa. Terima kasih.” Jawab gadis itu sambil tersenyum manis.
“Seperti ini caranya.” Dio mulai memainkan alunan nada dengan piano dan mengajari gadis itu.
Dio melihat guru lesnya mendekati ruangan tengah ini. Dengan sigap dia langsung bersembunyi di belakang piano itu.
Gurunya yang mendekati ruangan itu kembali pergi karena ponselnya yang berdering. Merasa sudah aman Dio keluar dari tempat persembunyiannya dan duduk di samping gadis itu lagi, lalu melanjutkan permainan mereka.
Namun di tengah permainannya, Dio merasa dadanya sesak. Dia memegangi dadanya dan meringis kesakitan menahan suara agar gadis itu tak tahu bahwa Dio menderita penyakit jantung. ‘Kenapa sakitku harus kambuh di saat seperti ini!?’ Ucapnya dalam batin. Lalu Dio mengeluarkan obatnya dan meminumnya.
“Ada apa? Kau kenapa?” Tanya gadis di sampingnya.
“Mm… tidak. Kau mau permen?” Jawab Dio yang berpura-pura baik-baik saja dan langsung mengambil sebutir permen yang ada dalam kaleng. “Aaa… “ tambahnya yang mengisya-ratkan gadis itu untuk membuka mulutnya, lalu menyuapkan permen itu dalam mulut gadis itu.
Saat ini Dio mengajak gadis itu keluar dari dalam rumah menuju taman samping rumah tempat Dio berlatih piano. Dio memeriksa di sekeliling taman tersebut. Aman dan tak ada gurunya. Dio melambaikan tangan ke belakang pada gadis itu untuk mendekat. Dio tak sadar bahwa isyaratnya tadi tak akan di ketahui oleh gadis itu. Bodoh. Lalu dia menarik tangan gadis itu menuju tempat duduk yang terbuat dari kayu menghadap taman.
Mereka saling bercerita perihal diri mereka masing-masing.
‘Ternyata nama gadis itu Jina.’ Batin Dio. ‘Kenapa aku merasa bahagia bersamanya? Apa aku telah jatuh cinta pada dia? Ku ingin waktuku lebih lama lagi bersama.’ Tambahnya lagi berbatin.
Gadis itu telah tahu nama Dio dari ayahnya, guru les Dio.
Jina ingin tahu bagaimana wajah Dio. Dio pun mengijinkan wajahnya dipegang oleh Jina. Tangan Dio pun ikut memegangi tangan Jina yang meraba wajahnya, lalu mengarahkan ke dada kirinya.
Sakit. Rasa sakit itu muncul lagi dan dalam situasi seperti ini. Saat hendak mengambil obatnnya, tiba-tiba ayahnya datang dan menariknya untuk pergi dari situ. Dio berusaha mengelak dan menjatuhkan obatnya, namun tenaganya tak mampu untuk melawan tarikan ayahnya yang di bantu oleh pengawalnya. Dan tak sadarkan diri.
Jina tak tahu apa yang terjadi hanya dapat berlutut mencari obat yang di jatuhkan Dio dengan melelehkan air mata.
Beberapa hari Dio berada di rumah sakit, kini dia meminta ijin pada ayahnya untuk menemui Jina untuk terakhir kali sebelum ajal menjemputnya. Dia sadar waktunya tak lama lagi untuk hidup.
“Ayah… bisakah Ayah mengijinkanku menemui Jina untuk terakhir kali? Kumohon Ayah…” pintanya dengan penuh harap bisa bertemu lagi walau sekali.
“Baiklah. Untuk yang terakhir Ayah akan menghantarmu ke rumahnya.” Jawab ayahnya yang tak kuasa melihat kondisi anaknya yang semakin parah.
Dio sampai di rumah Jina, namun ayah Jina tak mengijinkan Dio untuk bertemu langsung dengan Jina. Lalu Dio memutuskan untuk menyampaikan perasaannya dengan bermain piano. Dia memainkan alunan nada yang sama saat mengajari Jina bermain piano. Namun belum selesai lagu itu, Dio sudah tak mampu bertahan dan tak sadarkan diri. Kemudian ayahnya langsung membopong badan Dio keluar meninggalkan ruman itu.
Ayah Jina tahu bahwa kini Jina sedang bahagia. Tak mau mengecewakan anaknya itu, ayah Jina melanjutkan lagu tersebut sampai akhir.
,” ,
Sudah beberapa hari setalah kejadian ditaman itu Dio belum kembali lagi bermain piano di rumahnya. Dan kini permen-permen itu pun sudah habis. Jina mengkhawaritkannya dan… merindukannya. Dia selalu memegangi obat Dio yang terjatuh waktu itu, berharap Dio dapat kembali lagi. Di tengah lamunannya, dia mendengar alunan nada dari piano. Alunan nada yang sama seperti pertama kali Dio bermain piano di tempatnya. Jina mengingat arti alunan nada itu ‘I love your this… Your that… and Your everything…’ setidaknya seperti itulah yang Dio katakan. Air matanya mulai melelah menjadi anakan sungai. Jina terharu mendengar lagu itu yang berada di kamanya. Namun tiba-tiba lagu itu berhenti. ‘Kenapa berhenti? Apa itu hanya khayalanku saja?!’ batin Jina. Tidak, itu bukan khayalan. Lagu itu kembali dimainkan dan kini yang berarti ‘I love you’. Jina tesenyum bahagia, akhirnya Dio datang dan bermain piano lagi.
Kini Jina telah menjalankan operasi matanya. Kata ayahnya seseorang telah mau mendonorkan mata untuknya. Jina bahagia dapat melihat lagi, dia sangat berterima kasih pada orang itu.
“Kini kudapat melihat lagi. Namun tak bisa melihatmu. Kemana kau pergi? Kau telah mengajariku banyak hal, melakukan apapun dengan perasaan. Dan sekarang kubisa bermain piano, karenamu. Kau tahu, aku merindukanmu. Hanya bermain piano kudapat merasakan kehadiranmu di sampingku, melihatmu dengan nada-nada yang pernah dulu kita mainkan. Ku berharap kita dapat bertemu lagi, melihat wajahmu secara langsung. Bisakah kita bertemu lagi? Kini ku rasa bahwa ku… mencintaimu. You are my first love."
Profil Penulis:
Namaku Maya Yuniarto
sekolah di SMK N 1 Pemalang
hobinya dance dan menulis