Dualisme Dalam Dunia Pendidikan


Pendidikan akan terus bergerak maju seiring dengan pergerakan masa. Semakin maju suatu masa maka secara normatif, pendidikan harus berada digaris paling depan untuk menyongsong kemajuan itu.

Namun terkadang terjadi crash atau ketimpangan dalam alur perjalanan suatu masa. Saat kemajuan teknologi semakin membara, disisi lain "kualitas" pendidikan justru makin membeku dan pada hasilnya kualitas tinggi dalam pendidikan hanya menjadi isapan jempol semata.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal hampir setiap tahunnya di daerah manapun di penggalan dunia ini, sarjana-sarjana intelektual tak pernah ada habisnya di cetak, tak terkecuali di bumi pertiwi yang kita cintai ini, Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah, alasannya analisa yang harus dilakukan tentunya memerlukan data-data yang akurat dan relevan. Tetapi sebagai insan yang dikaruniai logika dan pikiran, bahkan hanya dengan sebuah renungan pun kita bisa menjawab dan menemukan alasan yang pas dan sesuai.




Kualitas pendidikan tak bisa mengimbangi kemajuan teknologi alasannya adanya dualisme dalam dunia pendidikan. Dua hal yang seharusnya berjalan beriringan malah dipisahkan, berjalan dalam lorong-lorong kegelapan, padahal keduanya akan bersinar binar jikalau disatukan, menjadi jalan pembuka bagi kebangkitan dunia ilmu pengetahuan.

Baiklah jangan terlalu berlebihan, tetapi gotong royong memang menyerupai itulah adanya. Dualisme tersebut yakni pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.

Inilah yang mengakibatkan sarjana-sarjana intelektual tadi tak bisa mengimbangi kemajuan zaman. Alih-alih intelektual berdasi malah jadi intelektual basi, yang katanya politikus senang memberi padahal hanya tikus-tikus parit yang kelaparan. Ironis memang, ya memang ironis. Untuk apa ada pendidikan hingga setinggi eiffel tetapi pada hasilnya hanya melahirkan manusia-manusia rendah dan payah.

Pendidikan kognitif memang penting. Ya, siapa yang bilang itu tidak penting. Tanpa pendidikan kognitif bahkan anda takkan pernah paham apa yang saya tulis ini, jangankan paham, membaca saja mungkin tidak akan bisa, Tanpa pendidikan kognitif anda takkan pernah mengenal goresan pena maupun angka. Singkatnya saya katakan tanpa pendidikan kognitf anda bodoh. Wong gimana gak terbelakang mosok mbaca karo nulis aja ora bisa. Piye toh!!

Lantas bagaimana anda memperoleh pendidikan kognitif? Ya dengan bersekolah. Bersekolahlah mulai dari tingkat dasar hingga dengan tingkat tuhan maka anda akan mafhum apa itu pendidikan kognitif.

Tetapi sayang beribu sayang label pendidikan di masa kini yang katanya masa digital ini mengalami penurunan pangkat atau bahasa semantiknya hiponim.  Jika anda mengatakan hantu, orang pasti akan bertanya hantu apa? Pocong kah, Kuntilanak kah, Genderuwo kah, atau Tuyul? Orang akan eksklusif mafhum jikalau kemudian anda mengatakan itu pocong. Tak perlu diperjelas lagi bahwa pocong itu hantu, iya kan? Siapa yang tidak sepakat bahwa pocong yakni hantu maka berarti beliau siap berteman dengan pocong....hehehe




Begitupun dengan pendidikan. Jika anda mengatakan pendidikan, orang seharusnya bertanya, pendidikan apa? Pendidikan kognitif kah, pendidikan abjad kah, atau pendidikan spiritual?

Tetapi, menyerupai yang saya sebutkan tadi, "sayang beribu sayang", ketika kata pendidikan disebutkan maka itu berarti pendidikan kognitif, titik. Sementara pendidikan abjad dan pendidikan spiritual, jangankan dianaktirikan, malah dibuang entah kemana.

Inilah yang saya sebut penurunan pangkat. Orang tak lagi mengenal pendidikan karakter. Yang mereka tahu, pendidikan yakni ketika seseorang menuntut ilmu dari kursi dasar hingga kursi sarjana (pendidikan kognitif), Udah cukup.

Padahal, keduanya harus diseimbangkan bukan didualismekan. Sebuah kata kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu cacat. Barangkali menyerupai itu, bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan abjad yakni buta. Hasilnya, alasannya buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan tetapi dengan lambat. Sebaliknya, pendidikan abjad tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain.

Untuk itu, keduanya harus dijalankan dan dimaksimalkan dengan seimbang. Sudahlah, hingga kapan kita akan menunggu gebrakan dari pemerintah, biarkan saja mungkin mereka lelah dengan rutinitas yang begitu sibuk. Mulailah membangun pendidikan abjad bagi anak anda (Jika anda sudah berkeluarga). Karena saya masih berstatus sebagai anak, maka sebagai penulis pun saya akan terus berusaha membangun pendidikan abjad ini.

Saya rasa penelitian Harvard yang menyebutkan bahwa 20% keberhasilan seseorang ditentukan oleh kepintaran (kognitif) dan sisanya oleh karakter, merupakan bukti empiris yang bisa dijadikan pedoman dalam meniti karir dan kesuksesan.

Kepekaan terhadap teman, tanggung jawab, kejujuran, dan dedikasi yakni wujud dari pendidikan karakter. Dan itu tidak akan anda dapatkan dalam kursi sekolah manapun. Karena sejatinya pendidikan abjad yakni pelajaran bagaimana anda menjalani kehidupan.

Demikianlah alasannya saya tak sanggup lagi merenung, takutnya renungan yang terlalu dalam akan membuka tabir kebiadaban pendidikan ketika ini tak terkecuali di negeri tercinta, Indonesia.




Pesan saya, Sudahlah jangan memaksakan dualisme dalam dunia pendidikan. Jangan hingga pendidikan abjad dilupakan, sementara pendidikan kognitif dipaksakan. Begitulah kira-kira, sekian wassalam.
Previous
Next Post »