Aku dan Sendiriku Karya Pindy Sukma Pertiwi

AKU DAN SENDIRIKU
Karya Pindy Sukma Pertiwi

Derik sepeda terdengar seolah menyerupai anak ayam sedang mencari induknya. Semakin curam jalan, bunyinya semakin keras seolah anak ayam menangis kehilangan induk. Sepedaku terus kukayuh tak peduli betapapun curamnya jalan lembah. Dinamika ritme hujan tak melumpuhkan kakiku untuk terus mengayuh. Tak peduli betapapun hujan deras sekalipun petir ada di hadapanku. Awalnya mataku hangat, setelah superhero kebanggaanku terjun dalam lubang, mataku bermetamorfosis panas. Kemudian basah tak tahan dengan desakan syaraf di otak. Hanya aku, yang telat merespon keadaan. 

Hujan dulunya menjadi kawan pujanggaku. Setiap kali air langit itu jatuh, kakiku  berlari di bawahnya. Seolah-olah menunggu coklat jatuh dari langit. Ketika tiba-tiba ada pelangi terbentuk, saya akan memuja hujan, telah ciptakan hariku amat elok gemilang. Pemuja hujan. Kini, rintiknya menyerupai jarum menusukku hingga ketulang. Nyeri amat dalam membuat hatiku berlubang. Sakit otak dan jiwaku karenanya. Superheroku sudah jauh, pergi ke dunia lain tanpa berpamitan. Aku belum sempat berterimakasih atas kasih, cinta, sayang, segala hal dalam hidupnya yang didedikasikan untukku. Papaku tersayang, selamat jalan. Semoga bertemu mama.

Segala sesuatu yang berafiliasi dengan papa tiba-tiba berjalan cepat di benakku. Tangisanku makin terdengar bersautan bersama bunyi petir. Pedalku berhenti dikala tiba di ujung jalan. Aku berteriak-teriak menyerupai orang gila, memaki-maki hujan, petir, air, angin, kabut, awan. Telak sekali saya dibuat sendirian sekarang. Tiada ayah tiada ibu. Bahkan hujan menyukaiku dikala sedang sendirian. 

“Reina!” saya tidak menoleh ketika namaku diteriakkan. Mataku mulai lelah dengan tubrukan air mata dan air langit. Biarkan saya memaki hujan kali ini saja. Biarkan saya menikmati ritme derasnya kali ini saja. Nanti, setelah ini, tak akan lagi kunikmati turun airnya. 

Andi duduk disampingku tanpa berkata apapun. Aku mulai terisak kembali setelah rangkulannya terasa di pundak. Di hadapannya, kini saya menangis untuk pertama kali. Biarkan saya menangis menyerupai bejana bocor kali ini saja. Hanya kali ini saja saya kan menangis di hadapannya. 

Sekolah memang tak mampu kuhindari. Sekolah, satu-satunya kawasan melupakan kesedihan dan menjadi orang lain. Masih bersyukur, teman-teman di sekitarku selalu memberiku canda tawa. Ian, insan laki-laki gendut itu men-dribble bola basket. Sok-sokan ia menggandakan tingkah Andi memasukan bola. Karena tak sampai, jatuh menyerupai kelereng. 

“Ndut! Cepetan berdiri! Jangan berjemur!” teriakku disela menertawakan Ian. 
“Apasih berisikkkk!” 

Aku dan Indah tertawa di sisi lapangan melihat tingkah Ian susah berdiri. Semoga kalian tidak akan meninggalkanku juga. 

Matahari mulai tertutup awan, udara terasa semakin masbodoh dan angin tak mau ketinggalan  bertambah kencang. Rambutku berkibar ketika terpaan angin mengalir. Andi meraih karet rambut di tangan kiriku, mengeluarkannya dari pergelangan, mengucirkan rambutku tanpa saya perintah. He always do that when my hair unconditionally flutter. Benarnya, kucirannya selalu lebih rapi dariku. 

“Jangan coba-coba njambak rambutku” kataku tajam. 
“Apasih suudzon terus” benar saja, ia menjambak rambutku cepat. Buru-buru saya kejar dengan segenggam amarah. Semarah apapun saya terhadap Andi, takkan pernah mampu kukeluarkan. 

Dia laki-laki kedua yang saya sayangi  setelah papa. Dia laki-laki kedua yang memergokiku menangis setelah papa. Dia laki-laki kedua yang mampu menghiburku setelah papa. Dia laki-laki kedua yang selalu ucapkan selamat malam setelah papa. Untuk dikala ini, saya tidak ingin menyerah. Dia laki-laki yang membuatku bertahan. 

Pak Ri menungguku seraya berjongkok memeriksa ban mobil. Ketika saya menuruni tangga, cairan merah kental turun sekenanya mengotori baju osisku. Ini apasih? Masak ada darah burung. 

Aku dan Sendiriku  Karya Pindy Sukma Pertiwi

“Mbaakkk!!! Hidungnya kenapaaa!!” teriak pak Ri mengagetkanku. Saat itu, saya tau. Suatu dikala nanti, dengan perlahan-lahan namun pasti, kesedihanku akan menumpuk. Darah dari hidungku terus keluar, saya mendongak untuk memastikan bahwa memang ada burung yang sekarat sedang bertengger di atap. Sungguh, saya ingin burung itu ada. Sedetik kemudian ketika saya sadar bahwa tak ada satupun burung, semua menjadi gelap. 

Setelah kejadian pagi hari itu, saya mulai jarang masuk sekolah. Aku mulai jarang bertemu pak Yanto yang selalu memintaku mengoreksi ulangan anak kelas satu. Aku mulai jarang keluar ruangan pertama kali ketika ulangan. Aku mulai jarang tertawa alasannya ialah tingkah Ian. Aku mulai jarang menutup mata Andi dari belakang. Yang pasti, saya mulai jarang keluar rumah selain rumah sakit. 

Suatu subuh, kepalaku sakit tak karuan. Tubuhku meringkuk di lantai kamar. Tak ada yang mampu kupikirkan. Seluruhnya terpusat jatuh curam tajam pada kepalaku. Saat kurasa nyerinya mulai mereda, another blood came from my nose. Kemudian saya jatuh, entah hitam atau putih, saya tiba di rumah sakit. 

Ketika Opa memberitahukan apa yang terjadi denganku, saya tidak terkejut. Aku memandang raut muka Opa, Oma, pak Ri, om Deva, Andi, mbok Jum, mereka menahan nafas. Mbok Jum dan pak Ri keluar, diikuti om Deva,  kemudian Oma dan Opa. Andi menahan air matanya, saya tau dari tangannya yang mengepal. I just stared at him for a minute. 

Saat itu, rasanya ingin menyerah. Tiada dayaku untuk memaki dunia. Tiada dayaku untuk menantang petir, hujan, awan, angin. Ketika air mata Andi balasannya jatuh, ia meraihku. Memelukku. Dia menangis menyerupai bayi. 

“Hei. I’m okay. Don’t cry like a puppy” 

Aku telah melupakan sekolahku. Atau tepatnya saya telah lupa sekolah. Aku lupa bagaimana panasnya lantai lapangan basket. Aku lupa riuh gaduhnya kantin pak Min. Aku lupa perihal perinta-perintah pak Yanto yang selalu membuatku geli. Aku lupa perihal dingklik mejaku. Apa saya mampu kembali? Aku ingin menyerah.

Tanganku menjadi kurus, tulang-tulangnya terlihat. Tubuhku menjadi kurus hitam alasannya ialah kemo dan radiasi. Tiba-tiba saya ingin ini semua cepat berakhir. Aku ingin bertemu mama dan papa. Aku ingin bersama mereka. 

Setelah selama enam bulan bolak-balik rumah sakit, kini mencapai klimaksnya. Pandanganku mulai pudar, buram, dan kabur. Terkadang mbok Jum terlihat menjadi dua. Ini sudah mencapai stadium akhir. Aku menangis ketika dokter memberitahuku kelajutan dari kisahku. Dengan badan daging bertulang ini, tidak mungkin kan saya mampu menghadapi dunia?  

Semangat dari teman-teman dan keluarga terasa tidak besar lengan berkuasa lagi. Sekarang saya hanya mampu berbaring, mencicipi darah mengalir masuk ke dalam tubuhku, jarum cairan infuse bertubi-tubi, jarum morfin yang berpindah-pindah. Aku muak dengan segala bentuk jarum dan darah. Aku muak berada di rumah sakit yang membuatku tercekik. Aku muak kisahku terlalu lama berakhir. Aku muak melihat opa dan oma menahan air mata mereka. Aku muak dengan segala permintaan semua orang supaya saya tetap kuat dan keep in life. Makara biarkan saya pergi, menemui papa dan mama alasannya ialah saya muak menjadi sendiri. 

Angin pantai terasa begitu kencang, lebih kencang dari yang kuperkirakan. Aku menutup mata, bayangan papa dan mama berkelebat dalam otakku, memainkan sebuah drama yang keren dan bahagia. Opa bangun memandangku di belakang garis pantai. Mungkin opa menyesal menyetujui permintaanku. Ia menyerupai siap berlari untukku kalau terjadi sesuatu. 

“I am sorry” kataku menatap Andi lurus. Di menatapku tajam, menyerupai tidak terima dengan permintaan maafku. 
“I’m sorry. Aku tidak mampu menjadi orang yang akan menemanimu seumur hidup. I’m sorry I can’t”  kataku lagi. Air mataku balasannya jatuh ketika mengatakan I can’t. 
“I’m sorry for making you sad” saya terisak lebih keras ketika Andi memelukku. Hatinya mungkin telah hancur. His only girl will dead. Beberapa hari lalu, ketika saya mimisan tak dapat melangkah, saya melihat Andi duduk di tangga belakang rumah. Ia memegangi kepalanya menyerupai sedang depresi. Ia berdiri, menendang udara dan berteriak. Kemudian menangis duduk kembali di tangga, meringkuk menyerupai ketika saya mencicipi sakit. 

Tangisanku terasa berbaur dengan udara yang perlahan-lahan menghilang. Aku melihat papa dan mama. Aku tidak akan sendiri lagi. 

Profil Penulis:
Twitter @Pindy20

Previous
Next Post »