PERASAAN
Karya Rika Santia Sunari
Aku hanya membisu dikala dia berjalan melewati dingklik ku. Dia selalu menyap teman-teman sekelas kecuali aku. Aku tak mengerti kenapa dia seolah membenciku, apa salahku?
Bel tanda masuk berbunyi, saya menutup novel teenfiction yang gres setengahnya saya baca. Bu Yati, guru sejarah memasuki kelas. Sebelum dimulainya pelajaran, ia selalu mengacak kawasan duduk kami. Aku kebagian duduk dikursi barisan kedua dari belakang bersama Angga. Kami saling sapa. Ku lirikkan mataku kebelakang, dia. Ternyata dia duduk dibelakangku.
Dihari berikutnya dia masih sama, mengacuhkanku. Aku tak ambil pusing dengan sikapnya yang hambar kepadaku. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya dari tiga bulan yang lalu dikala kami pertama masuk kelas ini.
Aku dan Vivi berjalan menuju kantin, sepanjang jalan kami asyik mengobrol. Vivi memanggil seseorang yang sedang berdiri didepan mading.
"Jun!!!"
Orang yang dipanggil Vivi menolehkan kepalanya. Vivi menarik tanganku semoga mengikutinya. Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Lagi-lagi dia tak menganggapku ada.
"Lagi ngapain, Jun?" Tanya Vivi.
"Oh, ini lagi liat kegiatan latihan bola."
Mereka berdua asyik mengobrol dan tak menganggap ada kehadiranku. Tanpa membuang waktu saya meninggalkan mereka berdua. Hatiku sakit tak dianggap menyerupai itu.
Sepanjang jam pelajaran pikiranku melayang kemana-mana. Aku terus memikirkan kenapa sikap dia begitu kepadaku. Apa mungkin dia tau perasaanku dan membuatnya benci alasannya ialah saya menyukainya? Entahlah.
Aku membereskan buku yang awut-awutan diatas meja padahal bel pulang belum berbunyi. Vivi menatapku galau seolah bertanya "kenapa beresin buku? Kan belum bel." Aku menunjuk jam dinding yang berada di depan kelas. Vivi tersenyum dan mengangguk mengerti, ia kemudian membereskan bukunya.
Suasana halte dikala ini terbilang cukup sepi padahal sekarang jam pulang kerja. Bus datang, saya segera naik dan memilih kawasan duduk yang masih kosong. Aku duduk di sayap kiri bersahabat kaca. Kurasakan kursi disebelahku diduduki seseorang. Betapa terkejutnya saya dikala mengetahui siapa orang tersebut.
Dia melirikku dengan ekor matanya. Aku memalingkan wajahku kearah beling mobil. Ku ambil earphon-ku dan memasangkannya. Aku harus mengabaikan dia.
Hari-hari berikutnya saya juga mengikuti sikapnya. Mencoba bersikap hirau dan tak peduli jikalau melihat dia. Setiap hari saya memang begitu, tapi sekarang saya menunjukkannya secara terang-terangan.
Saat bertemu dikantin, dilapang, dikala dia sedang ngobrol dengan Vivi bahkan dikala pulang sekolah saya selalu mengihndarinya dan menjaga jarak. Berpura-pura tidak melihatnya. Tapi benteng itu retak dikala pelajaran olahraga.
Ya, saya menjadi partnernya dikala pelajaran olahraga. Aku harus menghitung berapa banyak ia melaksanakan push-up dan berapa poin ia menyerpen bola voly.
Bukan itu saja, dikala pelajaran sejarah pun saya kebagian duduk sebangku dengannya.
"Kei, gue mau ngomong sesuatu."
Aku mengangkat sebelah alisku. "Ngomong apa, Vi?"
"Sebenernya gue—" Vivi menjeda ucapannya, "—gue suka ama Jun."
Aku menghentikan makanku dan menatap Vivi tak percaya. "Sejak kapan?" Tanyaku.
"Sejak MOS."
Aku tak membalas lagi ucapan Vivi dan pergi meninggalkannya. Aku tak menghiraukan Vivi yang memanggilku menyuruh kembali.
Hatiku sesak mengetahui perasaan sahabatku sendiri. Ternyata selama ini saya dan Vivi menyukai orang yang sama. Disini siapa yang harus menyerah saya atau Vivi? Aku bingung. Tapi ku putuskan saya saja yang harus mengalah, toh orang yang saya sukai tak pernah menganggapku ada.
Aku menutup buku diary ku. Hanya buku inilah yang menjadi sobat dan kawasan curhatku. Aku lebih memilih mengutarakan isi hatiku kepada benda tak bernyawa ini. Menurutku ini lebih aman daripada curhat pada orang. Bisa saja suatu dikala nanti mereka membocorkan ceritaku.
"Kei mau kemana?" Tanya Vivi.
"Perpus." Jawabku singkat tanpa melihat wajahnya.
Semenjak Vivi bercerita kalau dia menyukai Jun, saya selalu menghindarinya.
Diperpus saya bertemu dengan dia yang sedang membaca buku. Aku tak tau semenjak kapan dia suka keperpus biasanya dia selalu berada dilapang olahraga.
Hari demi hari berlalu. Hatiku makin mencicipi sakit melihat Vivi dan Jun makin mesra. Aku mencoba mengikhlaskan dan membuang jauh-jauh perasaanku tapi tak bisa.
Dikamar saya uring-uringan mencari buku diary ku. Entah bukunya hilang atau saya lupa menyimpannya dimana yang terperinci sekarang saya amat sangat panik.
Pagi ini Vivi senyum-senyum gak terperinci sambil menatapku. Aku menatap Vivi dengan ekspresi galau plus aneh.
Perasaan Karya Rika Santia Sunari |
"Kenapa?" Tanyaku.
Vivi hanya menggeleng tanpa berhenti tersenyum. Ia kemudian meninggalkan ku keluar kelas. "Dasar aneh." Ucapku pelan.
Jam istirahat ku gunakan untuk membaca novel diperpus. Disini lebih baik daripada harus bersama Vivi yang selalu nempel pada Jun.
Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Aku segera bangun dari dudukku. Mataku tak sengaja melihat buku bigbos bersampul coklat bergambar sebuah buku yang terbuka dan sebuah bulu ayam di atasnya. Aku panik mengetahui siapa orang yang sedang membaca buku pribadiku.
Itu buku diary ku.
Tanpa pikir panjang saya segera merebut buku diary ku dari Jun. Ku lihat ia terlonjak kaget dikala buku yang sedang dibacanya kurebut paksa. Aku segera berlari menjauh darinya.
Jun mengejarku sambil berteriak tunggu. Aku mempercepat lariku semoga jarak diantara kami semakin jauh. Ku lihat Jun hanya berjarak satu meter dibelakangku. Saat Jun hampir menangkap pergelangan tanganku, saya membelokkan tubuhku menuju toilet perempuan.
Aku bersembunyi di toilet paling ujung. Ku kunci pintunya dari dalam. Dengan bersembunyi disini saya pikir ini aman dan Jun tak mampu mengejarku. Tapi ini keputusan yang salah, saya ceroboh. Tak seharusnya saya mengunci diri dari dalam. Akibatnya saya tak mampu keluar. Bagaimana ini?
Aku mengusap wajahku dengan kasar, sial saya lupa membawa hp. Ku gedor-gedor dan berteriak kencang tapi percuma alasannya ialah sekarang dimulai. Aku menghembuskan nafasku pasrah. Ku sandarkan tubuhku pada pintu, saya membuka acak buku diary yang tadi di baca Jun. Aku tidak tau apa yang harus saya lakukan jikalau nanti bertemu dengan Jun. Aku malu.
Cklek!
Tubuhku terdorong kedepan alasannya ialah ada orang yang membuka pintu. Aku tersenyum bahagia melihat Vivi yang sedang menatapku khawatir.
"Kei, lo bikin gue khawatir tau gak. Ngapain sih lo pake ngumpet di wc segala."
Aku menggaruk tengkuk ku yang tak gatal dan tersenyum tak bersalah. Vivi menatapku sebal. Kami berdua pergi meninggalkan wc. Jantungku mulai berdetak cepat dikala akan memasuki kelas. Aku tak sanggup bertemu dengan Jun.
Bel pulang berbunyi, saya buru-buru keluar kelas setelah bu Sri keluar terlebih dahulu.
"Keina!"
Aku menoleh kebelakang melihat Vivi sedang berlari kearahku bersama Jun. Ini gawat. Aku segera berlari kencang menghindari mereka berdua. Para murid yang sedang berjalan menatapku heran alasannya ialah berlari kencang menyerupai maling yang ketahuan alasannya ialah mencuri jemuran.
Saat saya akan berbelok menuju gerbang belakang, tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutku dan membawaku ke belakang sekolah.
"Keina"
Aku bergidik ngeri mendengar orang itu menyebut namaku. Aku ingin sekali menjerit namun tak mampu alasannya ialah tangan orang ini masih membekapku. Siapa saja tolong aku.
"Aku juga mencintaimu"
Mataku membulat lebar, jantungku serasa berhenti berdetak. Suara ini, saya kenal bunyi ini dia adalah...
"JUN!!!"
Aku menjauhkan diriku dari Jun. Aku menatapnya tak percaya. Saat saya mengambil ancang-ancang untuk lari, Jun mencekal tanganku.
"Aku dari dulu juga suka sama kamu, Keina." Jun tersenyum setelah selesai mengucapkan itu.
"Dan saya bahagia alasannya ialah cintaku tak bertepuk sebelah tangan." Jun menghembuskan nafasnya pelan.
"Asal kau tau, saya bersikap hambar padamu alasannya ialah saya tak tau harus bagaimana jikalau didepanmu. Aku selalu gugup dan salah tingkah jikalau melihatmu." Lanjutnya.
"Eh?" Aku menatapnya tak percaya.
Seolah mengetahui apa yang akan saya tanyakan, dia tersenyum lembut dan kembali berbicara. "Untuk soal Vivi, dia itu sebetulnya sepupu ku."
"Eh?!" Aku terkejut mendengarnya. "Tapi—" belum sempat saya selesai bicara, Jun memotong ucapanku.
"Aku sengaja menyuruhnya, saya ingin tau apa kau cemburu atau enggak. Dan ternyata kau cemburu."
Ku rasakan pipiku memanas, saya menundukkan kepalaku semoga Jun tak melihat pipiku.
"Jadi?" Tanya Jun.
"Jadi?" Aku balik tanya alasannya ialah bingung.
Jun mencubit pipiku gemas. "Karena kita sama-sama suka, maka sekarang kita resmi jadian." Jun menatap wajahku dan tersenyum bahagia.
Aku menatapnya tajam. "AKU BENCI KAMU, JUN!!!"
Ku lihat Jun terkejut alasannya ialah perkataanku. Aku tertawa puas dalam hati.
"Tapi bohong." Ucapku kemudian.
Jun kembali memasang wajah ceria. Aku ikut tersenyum melihat wajahnya yang makin ganteng jikalau tersenyum.
Kami berdua berjalan meninggalkan halaman belakang sekolah dengan bergandengan tangan. Senyum bahagia terlihat sangat terperinci diwajah kami.
Aku bahagia alasannya ialah perasaan ini tak bertepuk sebelah tangan. Perasaan yang saya pendam selama ini kesannya terbalas.
I Love U Junior Bhagaskara
Profil Penulis:
Nama : Rika Santia Sunari
Ttl : Ciamis, 24 april 1999
Fb : Rika Aldebaran
Twitter : @Sunny_Aldebaran
Nama pena : sunnyrisya