Isi dan Kosong, Pencarian Terhenti pada Desember Karya Bazilie

ISI DAN KOSONG, PENCARIAN TERHENTI PADA DESEMBER
Karya Bazilie

Kota ini sedang dilanda mendung. Cahaya mentari merayap malu-malu. Jalanan kota menyerupai biasanya, ramai. Aku berjalan menuju jalan surya kencana, ramai. Kehidupan di kota ini sudah menyala. Aku pergi mencari minuman di minimarket. Aku membeli minuman ringan, dingin. Seteguk, dua teguk, tiga teguk, saya menyalakan rokok. Asap menembul dari mulutku. Ah, kesendirian.

Aku tidak tahu mau apa dan kemana. Aku duduk di depan toko. Melihat kendaraan yang saling bergegas. Kendaraan-kendaraan itu berpapasan tanpa bertegur sapa, mungkin alasannya terlalu banyak kata yang akan keluar, mereka jadi malas. Aku lalu melupakannya.

Awan perlahan berpindah dari langit kota ini, matahari bersinar dengan terik. Suara adzan berkumandang, kehidupan masih berjalan. Dan saya berjalan lagi menuju masjid. Bukan untuk menghadap tuhan, saya hanya ingin membasuh muka. Di depan masjid, kakiku melangkah ke daerah wudhu, saya membasuh muka, airnya dingin. Aku keluar kompleks masjid, menuju jalan raya.

Satu, dua, dan detik terus berputar tanpa henti. Seperti itulah kehidupan meninggalkanku. Aku sendirian di tengah kota, dan saya tidak ingin ada yang perduli. Rasa kasihan hanya untuk orang yang kalah, sedang saya yakni pemenang. Tapi hari ini saya merasa kosong. Aku tinggalkan semua rutinitas untuk hari ini. Hanya ingin tahu, mengapa saya merasa kosong.

Aku berjalan menuju ah, entah. Aku hanya ingin berjalan. Awan mendung kembali lagi, kali ini warnanya lebih gelap mungkin akan turun hujan. Suara bising di jalan ini membuatku muak. Aku berlari mencari gang sempit. Aku menemukannya, saya memasuki gang itu. Rumah berdempetan, wangi basi dari selokan membuat saya mual. Aku terus berlari. Aku hingga di ujung gang. Ujung gang itu yakni lapangan luas.?“ahhhhhhhhhhhhhhhhhh”?aku mengacak-ngacak rambut aku, saya memukul-mukul tanah. “ahhhhhhhhhhhhhhhhhh”?orang-orang yang lewat berhenti, memperhatikanku. Aku berhenti teriak, dan berjalan lagi. Aku berhenti di depan mini market. Membeli minuman ringan. Menyalakan rokok. Asap menyembul dari mulutku.

Hujan pun turun dengan derasnya. Air mengalir dari langit. Tak ada petir, tak ada gemericik air, tak ada daun tertiup angin. Hanya basah. Dunia sunyi.

Detik waktu kembali saya rasakan, jam menggema di kepalaku. Aku berada diantara sunyi hujan dan dentang jam. Angin berhembus menerpa mukaku, saya merokok lagi, asap berhembus lagi. Aku merasa kosong.

Kekosongan yang saya rasakan bagai Kehidupan yang menyambut hujan di siang hari, sedang saya menyerupai tanah yang tidak memiliki pengetahuan perihal langit, kemudian saya dipaksa menghirup udara yang menyesakkan yang membuat paru-paru pengap. Aku tersedak oleh udara yang memuakkan, saya menangis, tapi saya harus tetap bernafas demi watak kesopanan pada hidup yang tak pernah saya inginkan. Kaprikornus sekali lagi, saya menghirup udara yang pengap itu. Aku memilah udara, oksigen, karbondioksida, karbonmonoksida, ammonia, darah dan nanah.

****

Hari beranjak petang, matahari karam dan langit malam mewujud di angkasa. Orang-orang kembali bergegas pergi. Sisa hujan basahi jalan. Bau hujan penuhi udara.

Aku pulang ke rumah dan menjerang air kemudian membuat kopi. Aku duduk di halaman dan merokok lagi. Asap berhembus kesekian kali. Tetangga yang sebelah menyapaku dengan senyum. Aku balas senyumnya. Sudah.

Ada perempuan menghampiri rumahku. Bibirnya tipis, senyumnya manis. Memakai kemeja dan celana berwarna biru laut. Dia berhenti di depan pagar.

“Sedang mencari siapa?” 
“Kamu”?
”Aku?”

Aku galau dan berusaha mengingat wajah perempuan itu. Rambutnya lurus, wajahnya bundar dengan panjang hidung yang sama dengan pipinya. Seingatku, saya tidak pernah bertemu dengan perempuan itu.

Aku kemudian menghampirinya dan menyilahkan ia masuk. Tapi ia hanya terpaku di luar pagar rumahku.

“ada apa?”? ia tersenyum dan menggelengkan kepala. Kemudian mundu setara teratur, laru berbalik dan pergi.

Aku tidak tahu apa maksudnya. Mungkin hanya wanita usi yang mau mengganggu. Aku beranjak menuju berandaku lagi. Merokok lagi.

Tik tok tik tok, bunyi jam dinding bergema di kepalaku. Tik tok tik tok, saya meniupkan asap rokokku. Asap rokokku menggumpal diudara, menyerupai balon, ia terus membesar, saya menyerupai tersihir, tak mampu beranjak dari kursiku. Asap rokok itu membesar dan pecah. Sejenak, saya melihat sekeliling mula-mula gelap, kemudian abu-abu dan cahaya yang menyilaukan membuat mataku sakit. Saat kubuka mataku, saya melihat gadis itu, ia tersenyum jahat. Aku tersedot, memasuki lorong yang mengarah ke sudut matanya. Saat saya hampir menyentuh mata perempuan itu, ia menghilang.

Aku berada di stasiun yang ramai. Orang-orang tertunduk. Kereta datang tanpa suara. Orang-orang masuk tanpa kata. Dunia membisu. Stasiun itu lenggang.

Aku duduk di dingklik peron stasiun. Apakah ini nyata? Apakah benda-benda disekitarku ada? Aku tak tahu, tapi semuanya terasa begitu terperinci ketika ini. Tak mampu kumengerti bagaimana mungkin ini nyata, padahal tadi saya sedang berada di beranda rumahku. Kusentuh bangku, ada dingklik itu yakni materi, mampu kuraba dan kurasakan dengan sentuhanku. Tapi, tidak mkungkin saya mampu berpindah dengan begitu cepatnya, lagi pula sepengetahuanku, dunia tidak pernah sesepi ini. 

Tok tok tok tok tok, bunyi langkah mengalihkan pandangnku. Perempuan itu! Ia duduk di sebelahku. Mengulurkan tangannya. 

“Desember”?Ia memperkenalkan suaranya. 

Aku menyambut uluran tangannya. Desember. 

“Desember. Apa itu namamu?”?Ia hanya mengangguk.?

Kereta kedua datang. Hitam dan putih. Pintu terbuka. Tapi bukan insan yang kulihat. Hanya kabut yang tebal dan tubuhku mencicipi hambar yang berhembus diantara kami dan membawa rasa menyerupai sepi yang teramat jauh.?Ah ya, sepi ini sangat dingin. Menjalar keseluruh tubuhku. Mataku merasakah hangat. Aku mencicipi air yang turun dari kedua mataku. Air mata apa ini? perlahan, air mata itu mengalir menuju dadaku, ah saya terisi kembali. Aku merasa hening sekarang. Kekosongan yang sedari tadi saya rasakan menghilang.

Isi dan Kosong, Pencarian Terhenti pada Desember Karya Bazilie

“Pulang”?ia berkata lagi.?membuyarkan rasa nyaman yang saya rasakan. Sial, perempuan ini mengganggu hatiku yang sedang diobati.
“Hatimu dibawa pulang. Kemarin ada yang mencuri hatimu. Pencuri itu sudah tertangkap. Sekarang hatimu dijadikan barang bukti. Pengadilannya yakni tempatmu untuk pulang”?aku bingung. Apa yang ia maksud.?
“Pulang ke mana? Aku sudah pulang. Tubuhku ada di rumah”?Ia menggeleng. Dan berdiri. Lalu masuk ke kereta dengan kabut itu. Aku mengejarnya. Kakiku berlari tapi saya tidak beranjak. Pintu tertutup. Kereta pergi. Aku tak kemana-mana.

Aku menerima kembali kesadaranku. Pikiranku berhenti pergi. Pulang? Bukankah saya sudah pulang? Aku sudah di rumah. Kusentuh wajahku. Masih ada. Tang tadi bukan mimpi, tapi juga mungkin bukan kenyataan. Aku merasa hatiku kosong kembali. Pulang kemana? 

*****

KRL Jakarta-Bogor penuh sesak menyerupai biasa. Jam pulang kantor. Ah ya, memang begini-begini saja, tak ada yang berubah. Pun dengan hatiku yang kosong sejak hari itu. Taka da yang berubah. Kosong layaknya rumah yang ditinggalkan pemiliknya, hambar dan tak membuatmu nyaman. 

Semenjak hari itu saya kehilangan semangatku untuk mencapai puncak. Wanita pun saya jadi malas mencarinya, bahkan untuk sekedar bertemu dengan orang-orang. Aku lebih senang menyendiri, menikmati kekosonganku bersama sebatang roko, kadang ditemani secangkir kopi atau minuman ringan. Aku ingin hati ini merasaterisi kembali.

Pulang. Kata yang aneh, hanya satu petunjuk itu saja yang saya tahu. Tapi pulang kemana? Aku mengunjungi makam kedua orang tuaku, menziarahi mereka, tapi tetap saja saya menemukan kekosongan itu dalam diriku. Aku pun pernah, mengunjungi sebuah pesantren dan berdiam di sana. Aku mengikuti semua ritual ibadah. Shalat, puasa, dzikir dan semua tetek bengeknya, memang saya jadi lebih paham perihal agamaku tapi tetap saja, percuma menurutku, otakku terisi tapi hatiku diliputi oleh rasa gelisah ini. Pernah saya bertanya kepada guruku disana. Dia bilang

“yang membuatmu sakit ketika tidak diberi yakni alasannya engkau belum memahami pesan tersirat ALLAH didalamnya.”

Malah saya tambah tak mengerti apa maksudnya. Aku lalu meninggalkan pesantren itu. Sekarang, beginilah saya bergerak sekedar untuk makan. Hidup untuk makan. Asal perutku terisi dan saya mampu membeli tembakau. 

Perlahan gerimis turun dengan malu-malu, kota hujan ini sekarang menjadi sejuk. Setidaknya begitulah apa yang tubuhku rasakan. Aku menaiki angkutan umum yang tidak penuh, hanya saya saja dan dua orang renta yang sudah dimakan waktu, sopir dan penumpang yang saya tak tahu kemana tujuannya.

“Wanita itu! Kiri bang!” setelah membayar saya pribadi turun dan menerjang hujan. 

Aku menemukan dia, wanita yang pernah kutemui dalam lamunanku. Ya, saya yakin saya melihat perempuan itu. Kemana ia sekarang? Ah, apa mungkin hanya hayalanku lagi? Sial! Persetan dengan wanita aneh itu!.

Aku melangkah pergi menjauhi keramaian, kakiku melangkah menyusuri jalan setapak yang penuh bebatuan. Bebatuan? Sebentar, sial, kulihat sekeliling. Dunia yang hitam-putih itu kembali. Gedung-gedung, kendaraan, dan orang-orang menghilang, digantikan pohon pinus yang tegak menjulang. Dimana aku? Sejenak, warna kembali lagi. Coklat, hijau, orange, ah ya. Setidaknya saya yakin mataku tidak buta warna. 

Dengan waspada saya menyusuri jalan setapak, wanita itu lagi, ia berada dihadapanku sekarang, ia memiringkan kepalanya dan tersenyum.

“Desember?” 
“Iya, bagaimana dengan hatimu? Sudah ketemu?”
“Hatiku masih ada di sini” saya menunjuk kea rah dadaku.
“ini, pakai gelang ini yah.” 

Dia menunjukkan gelang dari tali yang dipilin. Aku yang tidak mengerti mengambilnya. Kukenakan pada tangan kananku. Aku tak perduli dengan logika, apa saja akan kulakukan biar saya kembali garang menjalani takdir. Ah, ada rasa hangat yang menjalar ke dalam tubuhku. Hangat yang saya rindukan. Perlahan, air mataku menetes. Aku mencicipi kehatan yang menyerupai belaian tangan yang sangat lembut. Aku mencicipi kehangatan itu membelai hatiku, masuk ke dalam. Ah ya, saya mencicipi lubang di hatiku, tangan itu menyentuhnya, memeluknya. Ah ya, saya merasa lengkap. Rasa ini menyerupai ketika saya berada di peron stasiun hari itu.

“Gelang apa ini?”
“Itu milikmu, jangan biarkan dicuri lagi yah.”
“Kamu siapa.”
“Desember”

Ia tersenyum, dan tubuhku telah kembali ke jalan yang diselimuti hujan. Desember yah? Yah, saya akan mengingat bulan desember.

Profil Penulis:
saya insan yang di KTP agamanya Islam

Previous
Next Post »